Dua Zaman, Satu Sejarah

Jalan pada Masa Kolonial Belanda (Sumber: http://phesolo.files.wordpress.com (akses: 31 Maret 2014)
Pos ini saya pernah tuliskan dalam blog yang lain. Namun rasanya tidak salah untuk menyampaikan kembali karena relevansinya dengan kondisi saat ini. Tidak banyak perubahan dalam kebijakan pembangunan jalan atau lebih tepatnya transportasi selama ini yang mendekatkan pada persepsi bahwa kebijakan tersebut merupakan warisan yang telah diikuti sejak zaman kolonial. Saya tuliskan setelah membaca buku Rudolf Mrazek (2002) dengan judul "Engineers of Happy Land". Buku ini membuka wawasan saya mengenai perkembangan awal teknologi jalan di Indonesia. Keberadaan teknologi yang diimpor dari luar jelas memerlukan lebih dari sekitar kemampuan teknis para insiyur untuk mengadopsi, melainkan pula memahami konteks kebutuhan masyarakat.  

Jalan pada Awal Pertumbuhan Kendaraan Bermotor
Pembangunan jalan raya untuk memenuhi kebutuhan pergerakan karena semakin besarnya skala aktivitas ekonomi setelah zaman Revolusi Industri, nampaknya tidak dapat dielakkan pada awal abad ke-20. Tidak hanya di Eropa, melainkan juga di negara - negara yang teermasuk jajahannya, Hindia Belanda. Pembangunan jalan raya bersaingan dengan rel kereta api, yang pada saat itu sangat dibutuhkan untuk membawa komoditas yang sangat dibutuhkan dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan. Perkembangan teknologi otomotif menjadi pemicu pertumbuhan pembangunan jalan raya. Awalnya, kendaraan  bermesin ini menjadi salah satu "pembeda" antara bangsa Eropa yang mencerminkan kemajuan peradabannya, sementara pribumi menggunakan kereta yang ditarik dengan tenaga hewan yang menampilkan peradaban yang lebih terkebelakang.

Pada tahun 1939, terdapat 51.615 mobil di Hindia belanda. Sebagian besar berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Sebagian besar dimiliki oleh orang Eropa. Dengan demikian, jalan beraspal pun menjadi kebutuhan yang mendesak, disamping popularitas kereta api sebagai angkutan utama yang kian menurun. Penurunan popularitas tersebut terutama disebabkan oleh citra kereta api yang dianggap kian kurang mewakili kaum kolonial, serta disibukkannya pemerintah Hindia Belanda dengan pemberontakan terkait dengan asosiasi buruh kereta api.

Dinamika transportasi di Nusantara ini dimulai dan menunjukkan persoalan yang serius dari sisi kecelakaan lalu lintas. Pawa awal tahun 1928 dilaporkan terjadi sekitar 524 jumlah kecelakaan, dengan 24% disebabkan oleh mobil dan 17% oleh motor. Pengemudi yang terlibat dalam kecekaan sebagian besar adalah pribumi mencapai 83%. Statistik ini juga menunjukkan keterkaitan antara pemanfaatan jalan oleh pribumi yang sangat pesat, meskipun dengan teknologi transportasi yang masih sederhana.

Dengan dibangunnya jalan - jalan sampai dengan  pelosok, mengikuti jalan pembangunan jalan awal, seperti Jalan Pos Daendels, memperkuat dominasi asosiasi yang terkait dengan kendaraan bermotor. Kemunculan berawal pada Tahun 1913, dengan nama Magneet. Perkumpulan inilah yang menyampaikan kehidupan di jalan - jalan modern dan permasalahan yang terkait dengan rawannya jalan yang sudah dibangun oleh kecelakaan.

Salah satu penelitian mengenai kondisi jalan , dilakukan oleh Tillema, seorang anggota Dewan Kota di Semarang pada awal abad ke-20, menyampaikan berbagai kondisi jalan di Jawa saat itu. Ia mendeksripsikan jalan dalam berbagai sisi: kebersihan kota, kebutuhan pemeliharaan, dan teknologi pembangunan jalan. Tillema beranggapan jalan sebagai salah satu sumber penyakit yang memerlukan perhatian serius. Pada saat itu, jalan menjadi tempat membuang kotoran hewan penggerak kereta, delman, gerobak, maupun kotoran manusia. Dengan kondisi iklim tropis, kotoran tersebut menjadi debu yang mudah berpindah ke rumah - rumah di sepanjang jalan melalui udara.

Pemeliharaan jalan medapat perhatian yang besar. Usulannya, agar jalan yang kotor tersebut dilakukan penyemprotan, sehingga terbebas dari residu maupun debu. Alasan utamanya, jelas menjaga kesehatan lingkungan warga, bukan dalam konteks menjaga aset jalan agar dapat digunakan dalam jangka panjang. Tillema juga mengamati persoalan yang dihadapi dengan pemeliharaan yang demikian, tidak serta merta membebaskan mereka dari masalah. Tillema mengkritik material yang digunakan di Hindia Belanda untuk jalan yang pada umumnya berpori yang mudah disusupi air dan menghancurkan material tersebut dan bercampur dengan lumput. Gagasannya adalah jalan yang dilapisi papan kaku yang sudah banyak dimanfaatkan di Prancis kala itu.

Sebuah Cerita Moral
Masyarakat Hindia Belanda saat itu masih menggunakan teknologi perangkutan yang sangat sederhana. Dengan teknologi yang demikian, jalan yang dibuat hampir tidak memberikan dampak yang signifikan, kecuali pada tahap belakangan, dimana penguasaan pemanfaatan kendaraan bermotor oleh kaum pribumi mulai meningkat seiring dengan kebutuhan perdagangan. 

Kecelakaan yang terjadi pada masa tersebut, memang lebih banyak melibatkan pribumi dengan perbandingan hampir 1: 3 . Padahal, kendaraan bermotor sebagian besar adalah milik kaum Eropa. Pemanfaatan jalan tidak sebanding dengan berbagai komposisi antarmoda. Jalan yang dibangun untuk kendaraan cepat, juga digunakan untuk kendaraan lamban, sehingga konflik yang akibatkan perbedaan kecepatan menjadi persoalan. Selain itu, jalan membelah komunitas, sehingga tidak aman bagi penyeberang jalan yang sebagian besar adalah pribumi.

Kebutuhan"teknologi berkecepatan rendah" dan tuntutan atas "kapasitas yang besar" dalam kaitannya dengan fasilitasi aktivitas perdangangan oleh pribumi, jalan pada masa kolonial menunjukkan kesenjangan kebutuhan antarmasyarakat yang sangat lebar, terutama antara kaum Eropa dan kaum pribumi. Kaum Eropa lebih menggunakan jalanan untuk aktivitas leisure atau bersenang - senang, serta mengunjungi kerabat dan rekan kerja. Ketidaksiapan masyarakat sekitar untuk memahami jalan sebagai perkembangan yang tidak dapat dielakkan sebagai imbas perkembangan teknologi berujung kepada bahaya kecelakaan yang justru banyak menimpa golongan ini.

Situasi tersebut memberikan kita ilustrasi dan pertanyaan: benarkah jalan yang dibangun para perencana dan insiyur kita sudah memahami kondisi kemasyarakat saat ini? Ada beberapa contoh yang relevan, jalan di perkotaan yang tidak menyediakan fasilitas pejalan kaki, atau fasilitas pejalan kaki yang dibuat secara asal sehingga pejalan memanfaatkan badan jalan yang berbahaya bagi keselamatan. Contoh lainnya, pembangunan jalan tol dalam kota menunjukkan karakter ilegaliter yang semakin kuat. Jalan hanya ditujukan bagi "pergerakan" per se, bukan ruang yang memberikan pilihan untuk interaksi warga kota serta "mensubsidi" daya ekonomi sebagian besar masyarakat kota yang semestinya dapat diwadahi melalui wadah pergerakan masal, berupa Mass Rapid Transit (MRT) atau prioritisasi kendaraan angkut penumpang berkapasitas besar.


Saya dapat menyimpulkan, pemahaman moral sangat relevan bagi insiyur yang senantiasa bergelut dengan kalkulasi teknis, dalam menyelami: untuk siapa dia membangun jalan atau transportasi dan bagaimana seharusnya dibangun? Dengan demikian, kesalahan yang dilakukan pada masa kolonial tidak lagi terulang sampai saat ini. 


Investasi Pembangunan yang Terlupakan!

Peraih Nobel Profesor James Heckman dalam sepanjang karirnya meneliti mengenai peran investasi pada modal manusia menghasilkan kesimpulan bahwa investasi yang besar pada tahap awal perkembangan manusia (prasekolah) sangatlah penting. Investasi ini tidak hanya meliputi pendidikan formal, melainkan pula terhadap kesehatan anak dan lingkungannya. Studi oleh Prof. Heckman menghasilkan sebuah grafik yang memperlihatkan investasi pada anak-anak usia dini (pre-school) akan mendorong pengembalian investasi (rate of return) yang jauh lebih besar. Ketika investasi dilakukan pada usia setelahnya, pengembalian atas investasi tersebut justru semakin mengecil. Opportunity cost (Biaya kesempatan) apabila dibandingkan dengan tingkat pengembangan investasi pada program anak prasekolah pun jauh lebih besar, sehingga memberikan dukungan agar pemerintah menjalankan investasi secara serius pada tahap ini. Program investasi terhadap kelompok usia sekolah dan paskasekolah, menurut grafik, jelas tergolong terlambat.

Tingkat Pengembalian Investasi pada Modal Manusia (Sumber: diadaptasi darhttp://heckmanequation.org/content/resource/presenting-heckman-equation, akses: 16 Maret 2014; Sachs, 2014)


















Temuan oleh Prof. Heckman diamini dalam Perry Preschool Program di Amerika Serikat. Sebuah studi yang dilakukan dalam rangka menghitung keuntungan sosial dari program tersebut menunjukkan, fokus pada program akan mampu meningkatkan penghasilan para anak ketika telah bekerja menjadi USD 40,537 per tahun (dalam nilai present value). Program juga diestimasikan mampu menurunkan biaya kriminalitas yang dihitung dari biaya pengadilan dan pengurusan dampak sebesar  USD 94.065. Secara keseluruhan, Benefit-Cost Ratio (BCR) atau rasio keuntungan terhadap biaya mencapai 8,74 yang memperlihatkan keuntungan sosial yang mencapai 800 persen kali lipatnya dibandingkan atas biaya yang dikeluarkan. Seluruh perhitungan dibuat bagi individu.

Keuntungan dan Biaya Sosial dari Program Perry Preschool (Sumber: Jeffrey D. Sachs (2014) Chp. 8, The Age of Sustainable Development)



















Sejumlah penelitian terkait kesehatan anak, psikologi, dan pengaruh lingkungan terhadap kondisi mental memperlihatkan anak usia dini sangat rentan terganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Sampai dengan usia 0-6 tahun merupakan tahap krusial anak-anak mengembangkan kemampuan kognitif dan sosial. Dalam membantu perkembangan kognitif, anak-anak yang memiliki nutrisi yang cukup akan mampu mengembangkan olah mental lebih baik, sehingga lebih mampu menangkap stimulus dari lingkungannya. Memberikan pembelajaran dengan cara yang tepat menjadi lebih mudah dan membantu dalam penguasaan simbol (bahasa dan angka) dan logika sederhana lebih awal. Lingkungan fisik yang baik juga turut membantu dalam perkembangan kognitif yang terkait dengan kecerdasan spatial, visual, maupun daya ingat. Hal tersebut juga menurunkan tingkat tekanan dari lingkungan yang akan menganggu pengembangan dan operasionalisasinya. Tekanan mental (stress) yang besar hingga anak tidak mampu untuk menghadapinya jelas berpengaruh bagi pengembangan intelektual dan menganggu kesehatan. Dengan demikian investasi tidak hanya diarahkan pada pendidikan melainkan pada pula perbaikan kondisi lingkungan anak, baik sosial maupun fisik.

Sayang sekali, investasi pada anak usia dini masih belum menjadi perhatian pengambil keputusan, pengembang kebijakan, dan para pemimpin. Sebagai contoh sederhana, perbandingan anggaran publik yang dialokasikan untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan subsidi untuk susu yang merupakan nutrisi penting bagi perkembangan jasmani (terutama otak) anak-anak menunjukkan ketimpangan dalam investasi manusia. Begitu juga dengan komposisi alokasi anggaran pendidikan usia dini yang rendah dibandingkan dengan pendidikan sekolah. Karena dianggap "tindak begitu penting" pendidikan pada usia tersebut diserahkan kepada pihak swasta yang mengelolanya sebagai bisnis dan justru kian melebarkan kesenjangan akses antar anak dari golongan pendapatan yang berbeda.  

Perhatian terhadap lingkungan fisik yang menujang perkembangan anak juga belum menjadi perhatian bersama. Terjadinya segregasi taman kanak-kanak dan variasi kualitasnya yang lebar menyebabkan sebagian anak harus berada pada lingkungan sekolah yang jauh dari tempat tinggal. Tidak jarang anak-anak ini menempuh kemacetan ketika mencapai tempat dimana isa bersekolah. Walaupun berdekatan dengan rumah tinggal, infrastruktur jalan yang tidak dilengkapi jalur pejalan kaki yang menjamin keselamatan dan keamanan selama menuju sekolah maupun kembali ke rumah. Lingkungan tempat tinggal yang tidak menyediakan tempat bermain maupun taman bermain secara memadai dalam jumlah dan kualitasnya tidak mendorong stimulus kognitif dan jasmani yang dibutuhkan. Dengan demikian, investasi tidak terbatas pada kesempatan akses dan kualitas pendidikan anak, melainkan juga penataan lingkungan tinggal. Dua hal ini masih belum menjadi mainstream dalam program pembangunan kita.

Bahasa dan Pembangunan Ekonomi: Adakah Hubungan Keduanya?

Peta kelompok etno-liguistik (Ethno - Linguistic Groups Map) merpresentasikan perbedaan etnis negara-negara di dunia. Peta ini juga mengindikasikan perbedaan bahasa yang digunakan oleh tiap etnis. Tiap tipe bahasa tertentu dicirikan oleh warna yang berbeda dari yang lainnya. Semakin beragamnya warna yang terdapat dalam sebuah wilayah, maka perbedaan bahasa dan etnis semakin besar. Fenomena ini disebut sebagai ethno-liquistic fractionalization. Sebagai contoh, Afrika Tropis cenderung memiliki keragaman etnis dan juga bahasa yang digunakan.

Peta Kelompok Etno-Linguistik (sumber: Jeffrey D. Sach, 2014; Chp 7: Social Inclusion, The Age of Sustainable Developmentt) 


Sebuah tesis dalam bidang pengembangan ekonomi mengemukakan mengenai pengaruh perbedaan ini terhadap kesenjangan ekonomi pada tiap kelompok etnis.  Hal ini disebabkan kecenderungan salah satu kelompok etnis yang mendominasi secara politik dan ekonomi. Sebagai upaya menggambarkan fenomena, hal ini tidak salah. Dengan memeriksa silang peta dengan data dari Bank Dunia, kesenjangan ditunjukkan oleh negara-negara dengan perbedaan etnis-bahasa yang tergolong tinggi.

Indonesia adalah negara dengan sejumlah etnis. Sensus Penduduk 2010 mengidentifikasi adanya 1.340 suku bangsa ( (BPS, 2010))Sebagian etnis memiliki bahasanya sendiri. Patut diakui para pendiri negara ini memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap kondisi bangsa yang multietnis dan konsekuensi yang dihasilkan. Melalui Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia dideklarasikan sebagai bahasa nasional dan negara yang akan berdiri saat itu. Kesepakatan para pemuda ini memberikan ruang persamaan kesempatan, baik politik, ekonomi, dan hak-hak budaya antara kelompok etnis. Sebagai negara yang besar, Indonesia tidak dapat dikelola oleh satu atau dua etnis yang mendominasi dalam segala hal. Dengan demikian, perpecahan dalam kelompok -kelompok maupun kesenjangan dalam ekonomi dapat dikelola dengan lebih baik. Tidak seperti beberapa negara di Asia Selatan dan Afrika Tropis yang dilanda kemiskinan ekstrim pada kelompok-kelompok tertentu.

Distribusi Pendapatan yang Dimiliki oleh 20% Kelompok Atas (sumber: http://data.worldbank.org/indicator/SI.DST.05TH.20/countries/1W?display=map)


Patut disadari bahwa bahasa yang satu adalah satu kunci dari pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih berkeadilan. Bahasa mempengaruhi peran dan hak warga negara, sehingga dapat diartikulasikan sama dalam hukum dan instrumen kebijakan lainnya.