Menyusuri Lansekap Kultural Kota Singaraja

Kota Singaraja terletak di utara Pulau Bali. Perjalanan dari Bandara Internasional Ngurah Rai membutuhkan waktu setidaknya 4 jam melalui pegunungan yang membatasi bagian utara dan selatan pulau. Interaksi dengan daerah lain di Nusantara telah lama dimulai jauh melampui kota lainnya di Pulau Bali. Kota Singaraja adalah kota pertama yang dikuasai oleh kolonial Belanda sebelum pada awal abad ke-20, ekspedisi Belanda menyerang pesisir selatan dan menjadikan peran Kota Denpasar semakin sentral dalam perdagangan. Kota Singaraja juga pernah menjadi ibukota Provinsi Bali selama beberapa lama sebelum dipindahkan.

Interaksi yang telah berlangsung lama dengan daerah lain di Nusantara menjadikan kota ini terbentuk dengan lansekap multikultural yang lebih kaya dibandingkan kota-kota lainnya di Bali. Permukiman pun terkonsentrasi menurut etnis pada luas areal kota hanya 28 km2.

Pada kota ini terdapat Kampung Bugis, permukiman bagi orang dari etnis Bugis (Sulawesi Selatan) yang terletak di dekat pesisir pantai utara dan mendekati lokasi pelabuhan lama. Akses menuju permukiman ini adalah jalan lokal  dengan percabangannya berupa gang untuk mencapai rumah tinggal warga. Permukiman warga Bugis ini termasuk berkepadatan tinggi. Sebagian warga memeluk agama Islam yang memperlihatkan akulturasi budaya juga terjadi. Bangunan masjid mengisi ruang komunitas bersama dengan warga yang beragama Hindu.

Pada jalan utama kota, seperti Jalan Erlangga dan Imam Bonjol adalah lokasi pertokoan yang dihuni sebagian besar oleh etnis Cina. Pertokoan dibangun dengan bentuk rumah toko (ruko). Terdapat klenteng Lin Gwan Kiong yang bersebelahan dengan pelabuhan dan pertokoan yang mencirikan ragam kepercayaan yang dianut oleh warga Kota Singaraja.

Apabila kita menyusuri Jalan Imam Bonjol menuju ke utara kota, maka kita akan temukan Banjar Jawa, yang merupakan konsentrasi pemukim asal Jawa. Rumah warga yang menempati areal permukiman ini berada di jalan tersebut, namun agak mengarah ke timur menjauhi jalan utama.

Kampung Bali, konsentrasi pemukim etnis Bali, berada agak jauh dari pesisir. Corak halaman rumah yang dibatasi dengan pagar dan pintu masuk berupa angkul-angkul merepresentasikan identitas etnis warga yang menempati permukiman ini. Pada area ini terdapat sebagian besar fasilitas publik, seperti rumah sakit, sekolah, kantor pemerintahan, dan perbankan. Pura Jagatnatha yang merupakan pura terbesar di kota ini berlokasi di areal permukiman ini.

Orientasi permukiman mengarah pada jalan utama selatan -utara yang merupakan orientasi umum pada permukiman di wilayah utara Bali. Sepanjang jalan Gajah Mada menuju ke utara kota adalah kecenderungan urban sprawl meskipun hambatan fisik berupa perbukitan tetap menjadi faktor penentu.

Dengan proses interaksi sosial selama berabad-abad, kota kecil ini menyediakan ruang asimilasi dan akulturasi budaya bagi warganya. Tidak hanya dalam bahasa, melainkan juga kepercayaan, arsitektur bangunan, dan tradisi warga. Hal ini, yang sangat saya sayangkan, tidak dapat diamati dalam kunjungan singkat kali ini. Hanya sebagian yang tertangkap, seperti perpaduan antara angkul-angkul Bali atau pintu masuk pada sebuah mesjid pada gambar di bawah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar