Menengok "Halaman Tetangga" Kota Kuching

Perjalanan dari Biawak di perbatasan negara dengan Malaysia di Kabupaten Sambas menuju Kota Kuching ditempuh selama kurang lebih 2 jam. Tidak banyak pemandangan yang dapat saya nikmati karena saat itu hari sudah gelap. Namun yang paling menarik adalah apa yang saya rasakan dari derap roda kendaraan yang melewati jalan-jalan mulus sepanjang kurang lebih 100 km menuju Kota Kuching. Berbeda dengan perjalanan dari Sambas menuju Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Aruk, yang dapat dikatakan masih perlu peningkatan serius.

Kota Kuching merupakan salah satu dari 4 kota terbesar di Malaysia dari jumlah penduduk. Meskipun berperingkat demikian, kota ini bukanlah sebuah metropolis. Sebagai ibukota negara bagian Sarawak, Kota Kuching menjadi pusat administrasi dari sekitar 1,4 juta populasi di negara bagian tersebut. Kota Kuching bergantung pada sektor pariwisata dan pemerintahan, sementara wilayah hinterland-nya adalah kawasan pertambangan dan kehutanan yang sangat kaya. Besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh Sarawak jauh melampui atau mencapai lebih 20 kali lipat dari Provinsi Kalimantan Barat di negara tetangga yang berbatasan langsung!!! Berdekatan dengan Kota Kuching adalah Kota Samarahan yang merupakan pelabuhan penting di negara bagian tersebut. Sepanjang perjalanan antara Kota Kuching dan Kota Samarahan dapat dijumpai kawasan industri dan ritel besar yang menggerakkan perekonomian negara bagian Sarawak.

Dinamai sebagai Kota Kuching memiliki keterkaitan dengan penyebutan "kucing" dalam bahasa Indonesia yang merupakan binatang mamalia. Pada beberapa bagian kota ditempatkan patung kucing yang menegaskan hal tersebut. Namun, tidak banyak binatang mamalia mungil ini yang saya temui dipelihara dan dimiliki oleh warga kota. Dua versi sejarah yang dituliskan dalam wikipedia menyebutkan salah satunya keberadaan pohon buah mata kucing yang terletak di Bukit Mata Kucing http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kuching, sehingga penamaan kota mengikuti hal tersebut. Versi sejarah lainnya mengungkapkan nama sebenarnya adalah Sarawak yang berarti "serah awak" pada masa Majapahit dan menjadi wilayah yang diberikan kepada Majapahit dari pihak Kesultanan Brunei.

Dari perjalanan singkat ini, saya dapat sampaikan Kota Kuching memiliki magnet yang kuat dari aspek pariwisata. Kota yang berada di pinggiran Sungai Kuching ditata sedemikian rupa dan menjadi pusat aktivitas wisatawan, khususnya malam hari. Taman-taman kota dibangun secara ekstensif dan dilengkapi dengan patung kucing dengan berbagai pose dan warna untuk menegaskan identitas kota. Pemandangan dari ketinggian gedung parlemen Sarawak menunjukkan luasan area hijau yang terjaga dengan baik pada beberapa kawasan dan jalur jalan. Infrastruktur jalan dibangun dengan koneksi yang baik dengan wilayah sekitarnya. Tidak ada jalan yang berlubang dan fasilitas pejalan kaki yang dibangun untuk kenyamanan pada siang hari yang terik matahari sekalipun. Tidak mengherankan bahwa kota ini menjadi urutan atas destinasi wisata Malaysia.

Poin yang ingin saya sampaikan: Bagaimana kita menata "halaman rumah" sendiri agar menjadi lebih menarik dan memiliki nilai tambah yang tinggi? Dengan demikian, ia tidak sebagai halaman yang terbengkalai dan terkesan tidak terurus, sehingga penghuni rumah yang lebih sering berkunjung ke rumah tetangga, seperti yang dilakukan para TKI dan TKW yang saya temui di PPLB Aruk. Keberadaan kota tetangga kita dapat membuka mata atas masih senjangnya pembangunan di kawasan perbatasan kita.

Melihat rumput tetangga yang lebih hijau sesungguhnya menjadi cambuk bagi diri untuk berbuat lebih baik...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar