Pesisir Utara Bali yang Agak Terlupakan

Dalam kesempatan yang sangat langka, saya dapat kembali berpergian ke wilayah pesisir di Bali utara. Sebelumnya, saya melakukannya dengan teman-teman dari University of Florida pada pertengahan Tahun 2008, yang kebetulan saat itu, ingin berwisata di Bali setelah usai dengan proyek studi mereka. Apabila sebelumnya saya mengunjungi Desa Pemuteran yang terletak di barat laut dan sekitar 120 km dari Denpasar, kali ini saya berpeluangan untuk menyambangi satu lokasi pantai di Kecamatan Seririt.

Saat itu, saya sempat mencatatkan impresi pertama saya saat bertandang ke Desa Pemuteran. Saya sampaikan sebuah dugaan kepada mentor saya saat itu bahwa perkembangan kota-kota di pesisir Bali utara akan menyerupai untaian kota-kota kecil karena munculnya aktivitas wisata. Hal tersebut terjadi karena investasi pembangunan fasilitas pariwisata yang dilakukan, baik yang berasal dari domestik maupun asing, mampu mendorong tumbuhnya kawasan perkotaan. Fasilitas pariwisata ini adalah sejumlah resort di pinggir pantai yang menyediakan seluruh keperluan wisatawan secara mandiri. Di dalamnya terdapat paket tour, transportasi, dan kenyamanan (amenities) bagi wisatawan. Dalam pengamatan saya saat itu, sedikit adanya kaitan (linkage) aktivitas dengan lingkungan komunitas sekitar. Ritel mulai tumbuh, setidaknya menyediakan makanan dan keperluan harian yang terjangkau bagi wisatawan maupun pekerja wisata. Selebihnya, di luar resort adalah kantong-kantong permukiman nelayan, petani, dan peternak yang umumnya secara ekonomi masih tertinggal. Penyewaan sepeda motor oleh orang lokal adalah sebagian dari kaitan ke belakang (backward linkage) dari penikmatan atraksi wisata alam pantai.

Perjalanan saya saat ini nampaknya lebih realistis menanggapi kemungkinan yang berlangsung. Keindahan pantai di pesisir utara selama ini adalah kekayaan alam yang jarang diketahui. Barangkali hanya Lovina yang sudah banyak dikenal. Dengan pesatnya perkembangan investasi dan pembangunan pariwisata di Bali selatan, pesisir utara pun agak kurang tergarap. Alhasil, tidak banyak hasil yang dapat dipetik dari pariwisata. Tidak juga dengan menjamurnya resort wisata yang tumbuh di sepanjang pesisir. Umumnya, sedikit sekali dampak ikutan yang dibangkitkan dari keberadaan resort ini. Dan kekuatan untuk membangkitkan tumbuhnya kota-kota di pesisir tersebut sangatlah kecil.

Ketika saya mengunjungi pantai di Seririt kali ini, dapat saya amati kehidupan nelayan jauh dari perkembangan pariwisata di daerah tersebut. Mekipun telah muncul resort wisata di daerahnya, aktivitas sekitarnya sama sekali tidak terkait dengan pariwisata. Sebagian warga lokal tetap mempertahankan lahan untuk sumber daya produksi padi sawah dan kebun sebagai sumber penghasilan. Selain karena warisan orang tua, bertani adalah keterampilan dan pengetahuan yang dimililiki karena pendidikan yang terbatas.

Patut saya akui, potensi wisata di pesisir utara Bali sangatlah besar. Alamnya yang indah dan masih asri, serta kekayaan bawah lautnya juga menjanjikan. Hanya saja, pengelolaannya masih belum memiliki pijakan yang kuat untuk menjadikan seluruh kekayaan itu sebagai sumber kesejahteraan semua orang, bahkan menumbuhkan kawasan perkotaan, atau dalam istilah Prof. Soegiono Soetomo  yang pernah saya ajak diskusi pada akhir 2013 sebagai rurbanisasi.

Sabuk Hijau di Pesisir antara Sanur sampai Nusa Dua

Tiga kali dalam sebulan ini saya bepergian Bandung - Bali dan tiap waktu bersiap untuk mendarat di Bandara International Ngurah Rai, saya menyadari telah dibuat kagum dengan pemandangan sabuk hijau karena hamparan tanaman bakau. Delapan belas tahun yang lampau, bersama siswa-siswa dari sekolah lainnya saya ikut menanami salah satu bagian dari hutan bakau tersebut, sehingga kebanggaan semakin terasa.

Ditengah pesatnya pembangunan infrastruktur antara Sanur sampai Nusa Dua selama masa ini, masih bertahan hutan bakau sebagai RTH yang melindungi kelestarian ekologi pesisir selatan Bali. Fungsi ekologi pun beragam, seperti menjadi 'benteng' yang memperlambat terjadinya abrasi pantai, melindungi habitat pesisir dengan satwanya yang unik, mencegah instrusi air laut, dan menyerap polutan karbon yang bersumber dari transportasi dan aktivitas industri di sekitarnya. Salah satu fungsi yang juga tidak dapat dikesampingkan bagi wilayah yang berbatasan Samudera Hindia adalah melindungi permukiman di pesisir dari resiko kerusakan akibat bencana tsunami. Bakau berpotensi meredam terjangan gelombang tsunami sebagaimana digunakan di wilayah pesisir di Jepang.

Meliput pada area yang cukup luas, mencapai lebih 1.300 Ha hutan bakau tersebut menjadi kontributor RTH publik bagi Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Dengan target luasan RTH publik sebesar minimal 20%, nampaknya kedua daerah tersebut tidak akan kesulitan untuk mencapainya dalam jangka waktu rencana tata ruangnya Karena keberadaan hutan bakau tersebut.

Ketika hendak dibangun Jalan Tol Bali Mandara, ada kekhawatiran untaian pohon bakau sepanjang koridor tersebut dalam ancaman. Dalam kenyataannya, hanya sebagian kecil yang terpangkas karena pembangunan, terutama di pintu - pintu gerbang dan jalan pendekat. Kekhawatiran masih tetap timbul karena koridor sepanjang Sanur-Nusa Dua sangat baik dari aspek aksesibilitas. Dengan demikian, keinginan untuk alih fungsi sangat kuat. Dengan berada pada koridor yang menjadi tulang punggung ekonomi wilayah, keberadaan hutan bakau tersebut mengendalikan aktivitas yang membangkitkan pergerakan yang mengganggu fungsi Jalan By Pass Ngurah Rai sebagai arteri primer yang menghubungkan kota-kota di bagian Timur dan selatan Pulau.

Hutan bakau ini telah melindungi sebagian wilayah pesisir Bali dari kerusakan ekologis yang ditimbulkan oleh alam maupun manusia. Bahkan, ia  berpotensi sebagai daya tarik wisata dan diberikan sebutan Taman Hutan Raya Ngurah Rai. Hanya saja, proses menjadikannya tidak muncul secara tiba-tiba melainkan melalui penanaman kesadaran, aksi nyata, serta pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara konsekuen. Dengan demikian, tiap pengunjung Pulau Bali dapat menikmati salah satu kekayaan ekologis pulau ini.


Transformasi Kota Sawahlunto yang Berbalut Optimisme

Pada awal tahun lalu, seorang guru yang saya hormati saat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi menghubungi mengenai rencana pengusulan Kota Sawahlunto untuk memperoleh penghargaan Lee Kuan Yeuw (LKY) World City Prize. Saat itu, saya diminta peran serta dengan mengirimkan artikel jurnal yang pernah saya tulis untuk diatribusikan. Saya melakukan korespondensi dengan seorang pegawai pemerintahan di kota tersebut. Ingatan saya pun melayang pada pengalaman hampir 5 tahun yang lampau ketika mengunjungi kota tersebut pertama kali dan ada keyakinan bahwa kota ini akan bertahan dalam perkembangan kekiniannya.

Kota yang mengalami surutnya perekonomian kota paska kejayaan pertambangan batubara meninggalkan kekayaan arsitektural dan struktur ruang kota yang unik. Kota Sawahlunto digunakan sebagai pusat pengumpulan dan hub transportasi batubara ke daerah lain di Indonesia. Sebagian bangunan masa kolonial masih berdiri dan dimanfaatkan sebagaimana fungsi awalnya, contoh Hotel Ombilin. Sebagian lainnya difungsikan sebagai museum bersama fungsi lainnya, contoh gedung Dinas Pariwisata Kota. Jalan-jalan dibangun menghubungkan guna lahan yang mempertimbangkan pemisahan permukiman Eropa, pribumi, dan pendatang Asia (terutama etnis Cina).

Terowongan yang terbentuk dari penggalian batubara dijadikan daya tarik wisata. Sejumlah cerita sedih para penambang yang bekerja dalam kondisi memprihatikan disampaikan petugas di areal tersebut dan dibuatkan monumen. Terowongan tambang sudah tidak digunakan lagi Karena deposit yang telah habis. Monumen dibangun mengingatkan kondisi penambang saat dikelola oleh seorang mandor bernama Mbah Soero. Apabila aktivitas pertambangan sudah tidak ada lagi di sekitar pusat kota, namun pertambangan terbuka masih berlangsung di pinggirannya dalam jumlah kecil. Bangunan silo yang menjulang tinggi membekas dalam ingatan dan mematrikan akan kekhasan kota ini sebagai kota tambang yang berjaya pada masanya. Aktivitas pertambangan yang terbatas dan transformasi menjadi kota wisata menjadikan kota ini tetap bertahan secara ekonomi.

Selain itu, kondisi demografis yang meningkat tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang mengimbanginya. Saat itu pun saya dengan berani menggunakan istilah involusi, dimana kekurangmampuan untuk tubuh secara ekonomi disertai oleh kompleksitas sosial masyarakat, termasuk munculnya sektor informal kota (termasuk pertambangan skala kecil). Istilah ini saya pinjam dari Terry McGee (1967). Namun, optimisme selalu nampak pada masyarakat dan pegawai pemerintahnya. Dan nyatanya, pariwisata bisa menjadi industri yang menopang kehidupan warganya.

Singkat kata, setahun berselang saya pun mencoba mencari informasi mengenai hasil perolehan LKY Award. Pos pada bulan April 2013 menyebutkan kota ini adalah salah satu nominator penghargaan yang sebetulnya sudah sangat membanggakan karena harus bersaing dengan kota-kota lain di dunia yang juga berkesempatan sama (lihat pada tautan berikut: http://www.sawahluntokota.go.id/berita/press-release/440-sawahlunto-masuk-nominasi-lee-kuan-yeuw-world-city-prize-2014.html ). Kota Bilbao (Spanyol) dan Kota New York (Amerika Serikat) memperoleh penghargaan ini pada Tahun 2010 dan 2012. Dengan ini saya yakin, kota ini masih menyimpan potensi yang dapat 'digali' untuk membangunkan kembali kejayaannya.

Foto menyusul :)

Sawah, Alih Guna Lahan, dan Kearifan Lokal

Melihat bentangan sawah dalam perjalanan ke Seririt, Buleleng, membuat saya merenung pada lansekap sawah yang membentang luas sejauh pandang. Pemandangan ini tidak sering saya dapatkan. Bagi kebanyakan orang kota, beras dari lahan sawah ini adalah komoditas. Selama memiliki uang untuk membeli, beras dianggap selalu tersedia atau akan disediakan pemerintah. Apabila harga beras dianggap terlalu tinggi dan jumlahnya langka dengan berbagai sebab, umumnya solusi yang dipilih lebih bersifat jangka pendek, yaitu dengan menambah impor. Sebagai pemasok beras, kawasan perdesaan tidak diuntungkan dengan pandangan tersebut. Kebijakan umumnya akan diarahkan untuk mengendalikan harga, bukan melindungi produksi desa dan para petani. Sebagian solusi, termasuk mekanisme insentif (keringanan pajak, dll) melupakan kekayaan kearifan lokal yang kita punya.

Dengan kondisi beras sebagai bahan menu harian yang utama, masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap beras. Dengan produktivitas per satuan luasan lahan yang tidak berubah, kecenderungan tersebut tentu sangat mengkhawatirkan tidak hanya bagi orang kota dan orang desa.

Luas lahan sawah kita telah jauh menurun secara berkesinambungan dari tahun ke tahun. Lahan sawah yang beririgasi teknis, dialiri dengan air dari infrastruktur irigasi, pun tidak luput dari perubahan fungsi. Kehilangan sawah tipe ini menimbulkan investment loss yang tidak sedikit. Mencetak sawah baru dengan perubahan demografis dan kebutuhan pembangunan saat ini tentu sangat mahal, selain tidak praktis untuk dilakukan.

Dalam beberapa kebudayaan di Indonesia, beras dipandang dalam konteks 'kelimpahan' (ciri masyarakat agraris). Di sejumlah desa-desa di Bali, orang masih memberikan beras kepada mereka yang tengah menyiapkan ritual agama (bukan uang atau bingkisan sebagai kado). Di desa, beras juga ditukar dengan benda atau jasa lain (seperti balas jasa bagi yang membantu suatu pekerjaan) sebagaimana layaknya dalam ekonomi barter. Sejumlah material dalam ritual sangat bergantung terhadap ketersediaan beras. Dengan intensitas upacara yang relatif tinggi, beras bukan hanya sekedar komoditas, melainkan bagian dari unsur budaya (ritual, hubungan sosial, dan lain-lain). Perlindungan terhadap lahan sawah juga identik dengan penghormatan kepada Dewi Sri yang menyimbolkan kesuburan. Simbol ini yang dipertahankan dan diteruskan kepada generasi selanjutnya agar alih fungsi berlangsung dengan kehilangan makna atas fungsi lahan.

Berkurangnya luasan lahan berpengaruh terhadap produksi padi yang sangat berdampak bagi baik bagi masyarakat kota dan desa.  Kebijakan yang paling relevan saat ini adalah dengan mengendalikan alih fungsi lahan. Pengendalian tersebut dapat menerapkan pendekatan kultural, sehingga masyarakat bersedia mempertahankan lahan sawah produktifnya bukan karena proyeksi keuntungan ekonomi, melainkan social attachment (kelekatan sosial). Pengungkapan kembali dan aplikasi kearifan lokal (local wisdom) lebih mengena sebagi solusi konversi lahan sawah.

Pada sejumlah desa apanaga atau desa tradisional di Bali, pengendalian luas fungsi perumahan yang disebut dengan karang dilakukan. Karang tidak mudah berubah luasnya karena hanya diberikan kepada umumnya keturunan tertua laki-laki. Selebihnya, mengelola lahan terbatas yang ada yang disepakati oleh pemangku desa. Luas lahan sawah berfungsi sebagai penyangga atau RTH dan areal produktif. Memberikan peran pada lembaga lokal (disebut Desa Adat) untuk mengelola pola ruang lokal dapat menjadi salah satu solusi mengendalikan konversi lahan ini khususnya pada desa-desa di Bali.

Mengklaim Kembali Hak atas Ruang Publik: Lapangan Gasibu sebagai Model

Pagi pada hari pertama di Tahun 2014 saya sempatkan untuk mendatangi Lapangan Gasibu, ruang terbuka publik yang menjadi landmark Kota Bandung. Dugaan saya, pengunjung akan lebih sepi karena sebagian warga maupun wisatawan tengah beristirahat seusai merayakan pergantian tahun. Ternyata, tidak demikian keadaannya. Pengunjung tetap ramai dengan aktivitas yang ragam, antara lain: joging, rekreasi, bersantap pagi, maupun bertemu teman dan kolega. Dan di luar dugaan pula, kondisi lapangan relatif bersih dari sampah, meskipun menjadi salaj satu lokasi yang ramai dalam perayaan Tahun Baru. Melihat kondisi Lapangan Gasibu saat ini, tahun ini pun saya optimistis sebagai warga kota untuk mendapatkan kembali hak atas ruang bersama (publik).

Sebagai ruang terbuka publik, Lapangan Gasibu tergolong populer baik bagi warga lokal maupun wisatawan. Di seberang lapangan adalah Gedung Sate yang menjadi kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Sekitarnya lapangan adalah dua taman kota, yaitu Taman Surapati (utara) dan Taman Lansia (selatan), dari letaknya tersebut sehingga sangat ideal untuk aktivitas rekreasi. Bersama dengan Gedung Sate, Taman Surapati, dan Monumen Pancasila, Lapangan Gasibu membentuk aksis utara-selatan Kota Bandung.

Terakhir mengunjungi lapangan ini dua tahun yang lalu dan menyempatkan untuk mengambil gambar sekitar pada malam hari (lihat Pos pada September 2013). Terasa telah banyak perubahan yang dilakukan oleh pemerintah kota. Tidak ada lagi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di trotoar . PKL dikonsentrasikan di jalan yang bersebelahan dengan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat. Lintasan joging dengan dasar tanah berada dalam kondisi baik, meskipun hujan gerimis sempat membasahi Kota Bandung kemarin.

Di beberapa titik di sekitaran lintasan terdapat kebun bunga yang kala itu penuh dengan bunga yang tengah mekar. Sekelompok lebah beterbangan mengambil sari bunga, sebuah pemandangan yang mengesankan buat anak-anak.

Mengelilingi lintasan joging terdapat sejumlah bangku panjang. Sebagian pengunjung memanfaatkannya untuk duduk dan bercakap-cakap. Tangga naik menuju ke muka Jalan Surapati juga dapat digunakan untuk duduk dan trotoar pada bagian ini juga telah terbebas dari PKL. Untuk yang berkunjung dengan menggunakan sepeda, tersedia tempat parkir sepeda yang disediakan khusus. Parkir kendaraan berada di luar areal lapangan, sehingga parkir di dalam areal ini hanya diperuntukkan bagi sepeda. Penempatan yang demikian cukup mengurangi gangguan karena kebisingan dan emisi kendaraan.

Saya yakin, dengan visi kepemimpinan kota saat ini, warga akan mendapatkan kembali haknya atas ruang publik di kotanya sendiri. Lapangan Gasibu dapat menjadi model klaim ulang warga atas haknya melalui penataan ulang kawasan. dengan menempatkan pengalaman warga (people experience) sebagai sentral dari seluruh aktivitas perbaikan. Tidak ada lagi  dominasi sebagian pihak yang menentukan pemanfataannya, seperti perusahaan rokok, PKL, atau pemerintah kota sendiri...

Ragam aktivitas bagi warga kota dan wisatawan

Gedung Sate

Lintasan joging




















Step up menuju Jalan Surapati


















Bangku di pinggir lintasan joging

Tempat parkir sepeda