Transformasi Kota Sawahlunto yang Berbalut Optimisme

Pada awal tahun lalu, seorang guru yang saya hormati saat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi menghubungi mengenai rencana pengusulan Kota Sawahlunto untuk memperoleh penghargaan Lee Kuan Yeuw (LKY) World City Prize. Saat itu, saya diminta peran serta dengan mengirimkan artikel jurnal yang pernah saya tulis untuk diatribusikan. Saya melakukan korespondensi dengan seorang pegawai pemerintahan di kota tersebut. Ingatan saya pun melayang pada pengalaman hampir 5 tahun yang lampau ketika mengunjungi kota tersebut pertama kali dan ada keyakinan bahwa kota ini akan bertahan dalam perkembangan kekiniannya.

Kota yang mengalami surutnya perekonomian kota paska kejayaan pertambangan batubara meninggalkan kekayaan arsitektural dan struktur ruang kota yang unik. Kota Sawahlunto digunakan sebagai pusat pengumpulan dan hub transportasi batubara ke daerah lain di Indonesia. Sebagian bangunan masa kolonial masih berdiri dan dimanfaatkan sebagaimana fungsi awalnya, contoh Hotel Ombilin. Sebagian lainnya difungsikan sebagai museum bersama fungsi lainnya, contoh gedung Dinas Pariwisata Kota. Jalan-jalan dibangun menghubungkan guna lahan yang mempertimbangkan pemisahan permukiman Eropa, pribumi, dan pendatang Asia (terutama etnis Cina).

Terowongan yang terbentuk dari penggalian batubara dijadikan daya tarik wisata. Sejumlah cerita sedih para penambang yang bekerja dalam kondisi memprihatikan disampaikan petugas di areal tersebut dan dibuatkan monumen. Terowongan tambang sudah tidak digunakan lagi Karena deposit yang telah habis. Monumen dibangun mengingatkan kondisi penambang saat dikelola oleh seorang mandor bernama Mbah Soero. Apabila aktivitas pertambangan sudah tidak ada lagi di sekitar pusat kota, namun pertambangan terbuka masih berlangsung di pinggirannya dalam jumlah kecil. Bangunan silo yang menjulang tinggi membekas dalam ingatan dan mematrikan akan kekhasan kota ini sebagai kota tambang yang berjaya pada masanya. Aktivitas pertambangan yang terbatas dan transformasi menjadi kota wisata menjadikan kota ini tetap bertahan secara ekonomi.

Selain itu, kondisi demografis yang meningkat tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang mengimbanginya. Saat itu pun saya dengan berani menggunakan istilah involusi, dimana kekurangmampuan untuk tubuh secara ekonomi disertai oleh kompleksitas sosial masyarakat, termasuk munculnya sektor informal kota (termasuk pertambangan skala kecil). Istilah ini saya pinjam dari Terry McGee (1967). Namun, optimisme selalu nampak pada masyarakat dan pegawai pemerintahnya. Dan nyatanya, pariwisata bisa menjadi industri yang menopang kehidupan warganya.

Singkat kata, setahun berselang saya pun mencoba mencari informasi mengenai hasil perolehan LKY Award. Pos pada bulan April 2013 menyebutkan kota ini adalah salah satu nominator penghargaan yang sebetulnya sudah sangat membanggakan karena harus bersaing dengan kota-kota lain di dunia yang juga berkesempatan sama (lihat pada tautan berikut: http://www.sawahluntokota.go.id/berita/press-release/440-sawahlunto-masuk-nominasi-lee-kuan-yeuw-world-city-prize-2014.html ). Kota Bilbao (Spanyol) dan Kota New York (Amerika Serikat) memperoleh penghargaan ini pada Tahun 2010 dan 2012. Dengan ini saya yakin, kota ini masih menyimpan potensi yang dapat 'digali' untuk membangunkan kembali kejayaannya.

Foto menyusul :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar