Sawah, Alih Guna Lahan, dan Kearifan Lokal

Melihat bentangan sawah dalam perjalanan ke Seririt, Buleleng, membuat saya merenung pada lansekap sawah yang membentang luas sejauh pandang. Pemandangan ini tidak sering saya dapatkan. Bagi kebanyakan orang kota, beras dari lahan sawah ini adalah komoditas. Selama memiliki uang untuk membeli, beras dianggap selalu tersedia atau akan disediakan pemerintah. Apabila harga beras dianggap terlalu tinggi dan jumlahnya langka dengan berbagai sebab, umumnya solusi yang dipilih lebih bersifat jangka pendek, yaitu dengan menambah impor. Sebagai pemasok beras, kawasan perdesaan tidak diuntungkan dengan pandangan tersebut. Kebijakan umumnya akan diarahkan untuk mengendalikan harga, bukan melindungi produksi desa dan para petani. Sebagian solusi, termasuk mekanisme insentif (keringanan pajak, dll) melupakan kekayaan kearifan lokal yang kita punya.

Dengan kondisi beras sebagai bahan menu harian yang utama, masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap beras. Dengan produktivitas per satuan luasan lahan yang tidak berubah, kecenderungan tersebut tentu sangat mengkhawatirkan tidak hanya bagi orang kota dan orang desa.

Luas lahan sawah kita telah jauh menurun secara berkesinambungan dari tahun ke tahun. Lahan sawah yang beririgasi teknis, dialiri dengan air dari infrastruktur irigasi, pun tidak luput dari perubahan fungsi. Kehilangan sawah tipe ini menimbulkan investment loss yang tidak sedikit. Mencetak sawah baru dengan perubahan demografis dan kebutuhan pembangunan saat ini tentu sangat mahal, selain tidak praktis untuk dilakukan.

Dalam beberapa kebudayaan di Indonesia, beras dipandang dalam konteks 'kelimpahan' (ciri masyarakat agraris). Di sejumlah desa-desa di Bali, orang masih memberikan beras kepada mereka yang tengah menyiapkan ritual agama (bukan uang atau bingkisan sebagai kado). Di desa, beras juga ditukar dengan benda atau jasa lain (seperti balas jasa bagi yang membantu suatu pekerjaan) sebagaimana layaknya dalam ekonomi barter. Sejumlah material dalam ritual sangat bergantung terhadap ketersediaan beras. Dengan intensitas upacara yang relatif tinggi, beras bukan hanya sekedar komoditas, melainkan bagian dari unsur budaya (ritual, hubungan sosial, dan lain-lain). Perlindungan terhadap lahan sawah juga identik dengan penghormatan kepada Dewi Sri yang menyimbolkan kesuburan. Simbol ini yang dipertahankan dan diteruskan kepada generasi selanjutnya agar alih fungsi berlangsung dengan kehilangan makna atas fungsi lahan.

Berkurangnya luasan lahan berpengaruh terhadap produksi padi yang sangat berdampak bagi baik bagi masyarakat kota dan desa.  Kebijakan yang paling relevan saat ini adalah dengan mengendalikan alih fungsi lahan. Pengendalian tersebut dapat menerapkan pendekatan kultural, sehingga masyarakat bersedia mempertahankan lahan sawah produktifnya bukan karena proyeksi keuntungan ekonomi, melainkan social attachment (kelekatan sosial). Pengungkapan kembali dan aplikasi kearifan lokal (local wisdom) lebih mengena sebagi solusi konversi lahan sawah.

Pada sejumlah desa apanaga atau desa tradisional di Bali, pengendalian luas fungsi perumahan yang disebut dengan karang dilakukan. Karang tidak mudah berubah luasnya karena hanya diberikan kepada umumnya keturunan tertua laki-laki. Selebihnya, mengelola lahan terbatas yang ada yang disepakati oleh pemangku desa. Luas lahan sawah berfungsi sebagai penyangga atau RTH dan areal produktif. Memberikan peran pada lembaga lokal (disebut Desa Adat) untuk mengelola pola ruang lokal dapat menjadi salah satu solusi mengendalikan konversi lahan ini khususnya pada desa-desa di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar