Sawah di Tengah Kota: Mungkinkah?

Di antara himpitan areal industri dan perumahan, terdapat areal persawahan yang masih berproduksi dan bertahan. Aksesibilitas pada kawasan sekitarnya yang membaik dengan dibangunnya jalan dan pelayanan transportasi publik, telah meningkatkan harga lahan pada kawasan tersebut. Areal persawahan ini menjadi pecahan mozaik dalam ruang kota yang penuh dengan warna kuning (perumahan), jasa (merah muda), dan abu-abu (industri). Luasan dapat mencapai puluhan ribu hektar yang secara signifikan menentukan arah pengembangan guna lahan dan infrastruktur.

Fenomena ini menarik dari aspek keruangan. Model alokasi lahan Von Thunen yang dipelajari oleh para perencana kota dan wilayah meangasumsikan timbulnya efisiensi pasar lahan, dimana peruntukan lahan produksi komoditas dalam ruang dipengaruhi oleh tingkat produktivitas lahan. Komoditas dengan produksi tertinggi akan mengokupasi lahan dengan kondisi terbaik dan dengan harga tertinggi. Seiring dengan menjauhnya dari "pusat", lahan ditempati oleh aktivitas cocok tanam komoditas dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah. Dengan kondisi saat ini, produktivitas tinggi ditunjukkan oleh nilai tambah tertinggi atas produk dan jasa. Secara umum, teori ini menjelaskan mengenai properti di perkotaan mengambil alih lahan sawah dan membentuk urban sprawl (penyebaran perkotaan). Pertanyaannya: apakah urban farming mampu bersaing dengan komoditas lain, seperti ritel, industri, jasa, yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi?

Keberadaannya urban farming bisa jadi adalah fenomena sementara dalam pasar lahan di perkotaan. Model Von Thunen barangkali tepat dalam menjelaskan fenomena jangka panjang atas alokasi ruang yang lebih efisien. Dalam jangka pendek, harga lahan akan ditentukan oleh negosiasi antara pembeli dan penjual yang juga bergantung atas faktor emosional dan psikologis, seperti tidak mudah melepas tanah warisan leluhur. Keberadaan urban farming ini jdapat dianggap fenomena jangka pendek atau belum mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi.

Urban farming masih ada dan dikerjakan sebagai profesi oleh sebagian warga kota. Dengan tingkat keuntungan marjinal yang relatif dianggap memadai, maka  aktivitas ini akan tetap ada. Keberadaan infrastruktur perkotaan yang relatif baik dibandingkan di perdesaan menjadi salah satu faktor, seperti perbankan, transportasi, maupun pasar. Pemahaman atas keberadaan aktivitas ini menentukan arah pengembangan lahan, termasuk infrastruktur kota. Namun saat ini, pengaturannya masih belum jelas dan tegas.

Jalur Kereta Api yang Tergilas Pembangunan Jalan

Ketika Toll Trans Java sedang dibangun, sekian misi barangkali sudah terbayang akan segera diwujudkan oleh pemerintah. Pembangunannya akan dapat mendorong pewujudan Trans Asia dan ASEAN Highway sampai dengan Koridor Ekonomi Indonesia (KEI) dalam MP3EI. Disamping itu, keberadaan jalan ini akan menjadi tulang punggung perekonomian di Pulau Jawa. Trans Asia dan ASEAN Highway sudah muncul lebih dulu dengan rencana yang diisiasi oleh UNESCAP, komisi sosial ekonomi di bawah PBB untuk kawasanAsia Pasifik, pada tahun 1990-an. Sementara itu, KEI muncul belakangan pada tahun 2011. Seakan hal ini merupakan pertanda bahwa transportasi darat kita akan lebih berat didukung oleh jalan.

Jawa yang merupakan pulau dengan luas hanya seperenam luas seluruh daratan Indonesia, menampung hampir 60% penduduk Indonesia. Pulau yang juga menjadi basis pertanian pangan dan industri di Indonesia sejak dahulu, kini pun mulai kehilangan lahan produktif. Sejumlah pakar mengatakan bahwa kondisi ini adalah akibat pesatnya urbanisasi yang mendorong tumbuhnya kota-kota dan pembangunan transportasi yang mengandalkan pada kendaraan bermotor. Saat ini, panjang jalan di Jawa dan Sumatera mencapai 2 kali lipat panjang jalan di Sulawesi dan 3 kali lipatnya dari Kalimantan. Kondisi ini menegaskan pembangunan jalan mengikuti perkembangan ekonomi yang memang sangat pesat di Pulai Sumatera dan Jawa.

Secara perlahan, jaringan rel kereta yang terbangun sejak zaman kolonial Belanda mulai dilupakan keberadaannya. Pada awal abad ke-21, perjalanan antara Jakarta - Bandung sudah tidak mengandalkan kereta lagi, tetapi kendaraan minibus dengan kapasitas sampai 10 orang per trip melalui tol Cipularang. Jalan mendatangkan keuntungan privat yang luar biasa besar, misalnya: tarif perjalanan lebih murah, lebih nyaman dilengkapi AC dan tempat duduk eksklusif, point to point advantage, dan lain-lain. Dari sudut pandang penyediaan infrastruktur, jalan bisa lebih mahal karena terdapat perhitungan atas pemeliharaan aset, frekuensi kecelakaan, dan beban kemacetan di kota-kota yang terhubungkan.

Saat ini, jaringan rel yang ada tetap mengingatkan tentang basis perkembangan kota-kota di Jawa yang lebih dahulu diwadahi oleh rangkaian lokomotif dan gerbong yang melalui. Jaringan rel yang membelah kota-kota menjadi counter culture dari perilaku bertransportasi yang lebih mengandalkan jalan (road base). Bisa juga terjadi karena keterpaksaan atau istilahnya dalam bidang transportasi "captive users" atau dapat menjadi pilihan yang rasional. Pengalaman saya ketika menjelajahi Bandung-Yogya-Solo-Surabaya dalam semalam: dibandingkan menghabiskan uang dan waktu dengan menggunakan mobil untuk menempuh jarak hampir 1.000 km, saya lebih memilih untuk menikmati dan merasakan sensasi derap roda gerbong sepanjang jalur kereta api yang sudah tertanam lebih 100 tahun lampau.

  

Subak sebagai Warisan Dunia Menghadapi Perubahan

Hubungan orang Bali dengan alam, terutama air sebagai elemen kehidupan sangatlah erat. Upaya pengelolaan air di daratan menciptakan sistem sosial yang sudah sangat dikenal di seluruh dunia dengan nama Subak. Subak lebih dari sebuah organisasi lintas komunitas yang mengelola air untuk kepentingan masyarakat petani yang dilalui oleh sungai, anak sungai, maupun bagi mereka yang mengambil air dari tubuh perairan untuk berbagai keperluan. Subak dibentuk sejak pemerintahan oleh raja-raja lokal, namun organisasi dan praktek atas sistem sosialnya yang sudah berabad-abad masih tetap bertahan.

Ketika tata guna lahan berubah, kawasan perkotaan tumbuh, struktur ekonomi mengalami transformasi dan kelembagaan baru muncul, pola interaksi orang Bali dengan perairan turut mengalami perubahan. Inovasi sistem sosial yang merupakan kekayaan budaya lokal berhadapan dengan kekuatan ekonomi global melalui industri pariwisata. Saat ini, konversi lahan berlangsung ekstensif yang mengubah desa-desa menjadi kawasan perkotaan, seperti Sanur, Kuta, Ubud, dan lainnya. Masuknya investasi dalam berbagai industri di luar pertanian menstrukturkan ulang ekonomi lokal yang kini bercorak tersier (jasa pariwisata). Kelembagaan pelayanan oleh pemerintah menggantikan pelayanan oleh komunitas, seperti administrasi penduduk dan pengaturan ruang komunal. 

Seiring dengan perubahan tersebut, peran Subak dan penghargaan masyarakat atas air sebagai sumber kehidupan dan akar budaya lokal mulai berkurang.  Subak tidak memiliki kewenangan untuk mengendalikan konversi lahan warga. Secara rasional, masyarakat menginginkan kelengkapan infrastruktur publik, seperti jalan yang mengubah lansekap lahan pertanian dengan tujuan mendatangkan keuntungan finansial usaha. Pelayanan atas air minum maupun irigasi diambil oleh pemerintah daerah, sehingga pengelolaan dialihkan sebagian kepada birokrasi dan pemerintahan.

Ketika Subak ditetapkan sebagai World Heritage Sites (lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_World_Heritage_Sites_in_Indonesia) pada 29 Juni 2012, saya beranggapan masih adanya persoalan eksistensi sistem sosial ini. Subak adalah aset yang bersifat intangible karena bukan sebagai area yang bisa dideliniasikan secara mudah, tetapi merupakan sistem dan praktek sosial yang dikerjakan secara berkelanjutan oleh komunitas. Hampir seluruh praktek tersebut tidak terdokumentasikan, melainkan atas inisiatif komunitas. Subak bukan pula pengelolaan suatu kawasan tertentu seperti daerah aliran sungai (DAS) atau wilayah sungai. Subak juga tidak memiliki kewenangan dalam mengendalikan konversi lahan di wilayah operasionalnya, terutama untuk mencegah terputusnya saluran, bendung, dan lain-lain. Dengan kecenderungan peralihan guna lahan,  dengan sendirinya organisasi dan sistem kerja menjadi hilang karena tidak diterapkan.

Ketika rekan saya yang memang menggeluguti bidang sumber daya air menyampaikan kegembiraannya atas ditetapkannya Subak sebagai World Heritage Sites  saya lebih melihatnya sebagai usaha yang lebih keras lagi untuk mengelola kembali hubungan manusia dan alam kita lebih harmonis. Kelembagaan yang ada bukan muncul di ruang kosong, melainkan diterapkan dan dihayati dalam jangka waktu yang panjang, sehingga berkembang dan menjadi lebih kompleks. Ketika alih guna lahan masih terjadi atas kemauan masyarakat yang melihatnya sebagai keuntungan ekonomi, maka dapat dipastikan secara perlahan Subak pun hilang.

Suatu sistem sosial harus dapat dipahami lebih dari praktek keseharian atau wujud fisik yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Ritual pembersihan diri dengan media air yang dilakukan saban harinya di Pura Tirta Empul di Tampaksiring, Bali, sesungguhnya adalah keinginan hakiki dalam diri kita untuk berdekatan dengan Sang Hyang Widhi dan lingkungan alam. Dibalik segala sesuatu yang mewujud ke dalam tradisi, perilaku, adat istiadat, terdapat filosofi yang mendasarinya. Hal ini pula yang membentuk Subak sebagai suatu sistem sosial seperti yang dikenal saat ini.

Area suci untuk membersihkan diri secara rohani dan jasmani
di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar

Gemerlap Waterfront Kota Kuching pada Malam Hari

Deretan bangunan tinggi yang berpendar cahaya lampu di sepanjang Sungai Kuching pada malam hari menjadi pemandangan menarik di tepian Kota Kuching. Diantara sumber cahaya tersebut adalah billboard yang terpasang tinggi dan menempel bangunan yang merupakan hotel. Berpadu dengan dengan ketenangan riak Sungai Kuching, kawasan koridor tersebut menciptakan daya tarik bagi pengunjung Kota Kuching. Justru pada malam hari jumlah kunjungan semakin bertambah. Suasana semarak dapat dinikmati sampai dengan pukul 12 malam pada tiap malanya dan pukul 2 malam pada saat akhir pekan.

Sepanjang sungai adalah pedestrian walk yang menyisir tepian sungai yang dibatasi dengan pagar. Beberapa spot di sepanjang koridor diisi dengan para penjual makanan yang beroperasi pada malam hari. Lampu pada tepian sungai diatur pencahayaannya agar tidak terlalu menganggu suasana tenang yang tercipta. Mereka yang ingin menyusuri sungai dapat mengikuti tour yang disediakan atau menyewa perahu sendiri. Pengunjung juga dapat bersepeda dan melakukan berbagai aktivitas outdoor secara leluasa di sepanjang tepian yang tertata. Kerumunan anak muda dapat dijumpai ketika hari semakin bertambah larut. Mereka bernyanyi dan bercengkerama satu sama lain.

Penataan kawasan tepian sungai dengan konsep waterfront city relatif jarang kita jumpai di kota-kota di Indonesia (koreksi apabila salah!). Sebagian, entah disadari atau tidak, telah dilakukan dengan sangat baik, seperti di Kota Palembang pada Sungai Musi.

Ketika saya berkunjung ke Banjarmasin, sangat sulit untuk mencari spot pada pinggir sungai yang dapat digunakan untuk berekreasi. Tiga hari sebelum saya menyambangi Kota Kuching, saya baru berkunjung dari Pontianak dan menyempatkan diri menikmati suasana pinggiran Sungai Kapuas. Kesimpulan saya, ada yang perlu dibenahi mulai dari mind set kita dalam berhubungan dengan tata air: penghargaan atas keberadaannya. Sungai adalah sumber daya yang tidak hanya sekedar "air", namun perpaduan ruang sosial dan daya tarik rekreasi yang dapat dijumpai di pinggiran Sungai Kuching.


Menengok "Halaman Tetangga" Kota Kuching

Perjalanan dari Biawak di perbatasan negara dengan Malaysia di Kabupaten Sambas menuju Kota Kuching ditempuh selama kurang lebih 2 jam. Tidak banyak pemandangan yang dapat saya nikmati karena saat itu hari sudah gelap. Namun yang paling menarik adalah apa yang saya rasakan dari derap roda kendaraan yang melewati jalan-jalan mulus sepanjang kurang lebih 100 km menuju Kota Kuching. Berbeda dengan perjalanan dari Sambas menuju Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Aruk, yang dapat dikatakan masih perlu peningkatan serius.

Kota Kuching merupakan salah satu dari 4 kota terbesar di Malaysia dari jumlah penduduk. Meskipun berperingkat demikian, kota ini bukanlah sebuah metropolis. Sebagai ibukota negara bagian Sarawak, Kota Kuching menjadi pusat administrasi dari sekitar 1,4 juta populasi di negara bagian tersebut. Kota Kuching bergantung pada sektor pariwisata dan pemerintahan, sementara wilayah hinterland-nya adalah kawasan pertambangan dan kehutanan yang sangat kaya. Besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh Sarawak jauh melampui atau mencapai lebih 20 kali lipat dari Provinsi Kalimantan Barat di negara tetangga yang berbatasan langsung!!! Berdekatan dengan Kota Kuching adalah Kota Samarahan yang merupakan pelabuhan penting di negara bagian tersebut. Sepanjang perjalanan antara Kota Kuching dan Kota Samarahan dapat dijumpai kawasan industri dan ritel besar yang menggerakkan perekonomian negara bagian Sarawak.

Dinamai sebagai Kota Kuching memiliki keterkaitan dengan penyebutan "kucing" dalam bahasa Indonesia yang merupakan binatang mamalia. Pada beberapa bagian kota ditempatkan patung kucing yang menegaskan hal tersebut. Namun, tidak banyak binatang mamalia mungil ini yang saya temui dipelihara dan dimiliki oleh warga kota. Dua versi sejarah yang dituliskan dalam wikipedia menyebutkan salah satunya keberadaan pohon buah mata kucing yang terletak di Bukit Mata Kucing http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kuching, sehingga penamaan kota mengikuti hal tersebut. Versi sejarah lainnya mengungkapkan nama sebenarnya adalah Sarawak yang berarti "serah awak" pada masa Majapahit dan menjadi wilayah yang diberikan kepada Majapahit dari pihak Kesultanan Brunei.

Dari perjalanan singkat ini, saya dapat sampaikan Kota Kuching memiliki magnet yang kuat dari aspek pariwisata. Kota yang berada di pinggiran Sungai Kuching ditata sedemikian rupa dan menjadi pusat aktivitas wisatawan, khususnya malam hari. Taman-taman kota dibangun secara ekstensif dan dilengkapi dengan patung kucing dengan berbagai pose dan warna untuk menegaskan identitas kota. Pemandangan dari ketinggian gedung parlemen Sarawak menunjukkan luasan area hijau yang terjaga dengan baik pada beberapa kawasan dan jalur jalan. Infrastruktur jalan dibangun dengan koneksi yang baik dengan wilayah sekitarnya. Tidak ada jalan yang berlubang dan fasilitas pejalan kaki yang dibangun untuk kenyamanan pada siang hari yang terik matahari sekalipun. Tidak mengherankan bahwa kota ini menjadi urutan atas destinasi wisata Malaysia.

Poin yang ingin saya sampaikan: Bagaimana kita menata "halaman rumah" sendiri agar menjadi lebih menarik dan memiliki nilai tambah yang tinggi? Dengan demikian, ia tidak sebagai halaman yang terbengkalai dan terkesan tidak terurus, sehingga penghuni rumah yang lebih sering berkunjung ke rumah tetangga, seperti yang dilakukan para TKI dan TKW yang saya temui di PPLB Aruk. Keberadaan kota tetangga kita dapat membuka mata atas masih senjangnya pembangunan di kawasan perbatasan kita.

Melihat rumput tetangga yang lebih hijau sesungguhnya menjadi cambuk bagi diri untuk berbuat lebih baik...


Sedikit Pandangan mengenai Gang dan Penataan Jaringan Jalan di Perkotaan


Jalan sempit pada permukiman komunitas atau disebut "gang" kerap absen dalam diskusi  mengenai penataan ruang maupun pengembangan jaringan jalan di perkotaan. "Gang" merupakan wujud fisik dari dari subkultur pembangunan perkotaan yang masih minor dalam intervensi. Gang dibangun oleh swadaya masyarakat mulai dari pengadaan lahan dan pembangunannya. Dengan dana pembangunan yang terbatas, gang tidak memiliki kelengkapan teknis sebagai sebuah jalan, seperti drainase. Begitu pula dengan ruang lalu lintas yang berbatasan langsung dengan lahan miliki pribadi (privat).

Eksistensi atas keberadaannya berada pada wilayah abu-abu antara pengendalian atau pembiaran. Kompleksitas timbul ketika sebagian warga kota tinggal di permukiman informal yang juga membutuhkan infrastruktur. Apabila jalan lingkungan perkotaan menandai alokasi ruang pada perumahan formal yang juga mengarahkan sistem jaringan air bersih, internet, atau listrik, maka gang merupakan wujud fisik yang sulit diprediksikan perkembangannya dan belum secara jelas mendapatkan kepastian layanan infrastruktur secara baik.

Sebagian besar gang di perkotaan memiliki koneksi yang baik dengan jaringan jalan sekunder (perkotaan). Namun secara hirarki tidak menunjukkan penataan jaringan jalan yang baik. Gang secara langsung dapat berkoneksi dengan jalan kolektor arteri sekunder (contoh: Jalan Ir. H. Djuanda, Bandung dan masih banyak lainnya) yang dapat mengganggu lalu lintas. Selain itu, muka gang tidak secara mudah dapat diprediksikan pembangunannya oleh komunitas di sekitar karena bergantung dari kepentingan sepihak komunitas. Penataan jaringan jalan menjadi tantangan yang harus dipecahkan oleh perencana kota.

Sayang sekali, ketersediaan data dan informasi mengenai jaringan gang ini masih sangat sedikit. Proses perkembangannya pun sangat dinamis dibandingkan dengan jaringan jalan perkotaan pada umumnya. Suatu gang dapat tumbuh diikuti dengan gang-gang lainnya. Dengan ketersediaan lahan pengembangan permukiman pada suatu komunitas yang kian padat, maka pembentukan gang pun menjadi jenuh dan mengalami tahap konsolidasi. Meskipun demikian, gang adalah wujud fisik pembangunan kota yang perlu mendapat perhatian karena kebutuhan penataan jaringan jalan yang lebih tertib dan tuntutan penataan ruang yang mampu melayani seluruh warga kota. 

Dalam Press Release Hari Habitat Dunia 2013 oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU yang dapat disimak pada http://ciptakarya.pu.go.id/v3/dok/press_release_HHD_2013.pdf tercatat 5.560 titik lokasi kumuh perkotaan di 1.975 kelurahan/desa, pada 78 kota dan 158 kabupaten di Indonesia . Dalam Laporan Podes yang dikutip oleh sumber tersebut tercatat 27.378.677 jiwa atau setingkat 7.065.981 Kepala Keluarga tinggal di kawasan kumuh. Dengan demikian, gang pada permukiman di perkotaan layak mendapatkan perhatian karena sebagian besar berada pada area tersebut.




Kontes Ruang dalam Mewujudkan Kota Bersama

Pertumbuhan kota yang pesat menyebabkan permintaan atas lahan meningkat. Harga lahan yang tinggi menjadi refleksi terhadap permintaan yang tinggi, sementara sediaan sangat terbatas. Kompetisi antarguna lahan semakin ketat, sehingga efisiensi dan rasionalitas pemanfaatan lahan mengambil peran dalam menentukan wujud ruang kota. Ilustrasi atas hal tersebut ditunjukkan oleh pola pemanfaatan ruang kota dengan aksesibilitas yang baik berada di "pusat" dan pinggirannya adalah fungsi pendukungnya (perumahan, ritel kecil). Pola multi-pusat adalah wujud yang lebih mirip untuk menggambarkan kota-kota di Indonesia, dengan ketergantungan "pusat" lebih rendah akibat pelayanan yang diberikan menyebar. Namun hal ini tidak serta merta menyebabkan adanya desentralisasi dan dekonsentrasi pergerakan dan aktivitas, sehingga efisiensi sosial dapat dicapai.

Sangat disayangkan bahwa sesungguhnya sesuatu yang harus dikelola sebagai pelayanan publik pun harus dikooptimasi oleh mekanisme pasar yang sebetulnya tidak efisien tersebut. Sebagaimana ditunjukkan oleh bangunan apartemen tinggi yang ada di dalam Gambar, bangunan mendominasi pemanfaatan ruang sekitar. Tidak hanya secara horizontal, melainkan juga secara vertikal. Apabila semula ada banyak orang yang dapat menikmati pemandangan pegunungan yang nampak di latar belakang, kini hanya dapat dinikmati oleh orang yang tinggal di apartemen tersebut.  Apartemen berada di dalam kota dan dekat dengan salah satu subpusat. Alokasi ruang pada bangunan tergolong masif dan membangkitkan pergerakan dalam jumlah yang besar dengan intensitas interaksi berada di luar subpusat. Apartemen berada di sekitar perkampungan dapat menjadikan harapan atas integrasi kultural timbul, namun dengan kaitannya sosial ekonomi antarkeduanya yang rendah, peleburan dua kelompok sosial ke dalam suatu komunitas belum dapat diwujudkan.

Kondisi ini menunjukkan wujud ruang kota yang rendah dalam clarity. Intervensi yang diharapkan dari instrumen pengaturan yang ada tidak cukup efektif karena rendahnya kompetensi regulator dalam menggunakannya. Kondisi ini justru mendorong arah penataan ruang yang bercorak laisez faire atau tanpa pengendalian atas pasar lahan dan alokasi ruang. Tidak mengherankan bahwa aspek keadilan dalam menikmati ruang bersama terpinggirkan. Biaya sosial yang ditanggung menjadi kentungan pribadi sebagian orang, termasuk pelayanan atas jasa tidak langsung, berupa deretan pegunungan di sekitar Bandung yang saat ini hanya dimiliki segelintir orang saja. Contoh ini hanya sebagian kecil yang bisa kita ungkapan dari pengaturan lokasi dan pembangunan yang kurang baik. Bisa juga dibayangkan betapa macetnya jalanan yang melalui kawasan dengan keberadaan sejumlah pemukim pada bangunan. Kapasitas infrastruktur untuk mendukung aktivitas belum tentu dapat dipenuhi untuk semua.

Pola ruang kota yang arah pengembangannya belum jelas atau tidak didukung oleh instrumen lain yang memadai adalah biaya sosial yang menganggu rasa keadilan kita. Dikhawatirkan, ruang kota menjadi kontes pertarungan yang sulit menjadi imbang karena kekuatan uang yang seakan dapat memenangkan segalanya.

Pertimbangan Kerentanan Akses Jalan bagi Pejalan Kaki

Jalan adalah milik semua orang. Jalan digunakan sebagai wadah pergerakan karena kebutuhan untuk bertransportasi. Secara dominan, jalan dipersepsikan sebagai ruang milik bagi pengguna kendaraan bermotor. Padahal kebutuhan bagi pergerakan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor lainnya.

Aksesibilitas dapat didefinisikan sebagai derajat kemudahan untuk berinteraksi. Aksesibilitas juga menjadi ukuran, yang bisa merupakan biaya maupun waktu, untuk mencapai suatu tujuan atau destinasi. Suatu ukuran yang diperkenalkan pada bidang perencanaan transportasi adalah road access vulnerability yang menggambarkan kerentanan bagi pengguna jalan yang beragam tersebut untuk menggunakan jalan dalam berbagai kondisi. Secara mudahnya, kondisi jalan yang terdegrasi atau menurun fungsinya menyebabkan semakin tingginya waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan semakin tinggi ketergantungan suatu lokasi terhadap suatu jaringan jalan, maka "kerentanan" akan semakin tinggi. Hal ini umumnya terjadi pada kawasan dengan permukiman yang menyebar dengan koneksi jaringan yang terbatas.

Di kawasan perkotaan, pengelolaan jalan yang kurang mempertimbangkan aksesibilitas bagi pejalan kaki menyebabkan tingkat kerentanan akses yang diterima meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi trotoar dengan penghalang fisik yang tidak diperhatikan keberadaannya. Kondisi pedestrian walk yang tidak dibangun dengan standar yang benar. Kondisi fasilitas pejalan kaki yang kurang baik dapat menimbulkan beban psikologis berupa berukurangnya rasa aman. Waktu tempuh yang lebih lama juga menjadi salah satu ekses dari kondisi prasarana yang kurang baik dan kurang standar, contohnya adalah kontur trotoar yang tidak rata.

Pertimbangan kerentanan akses tersebut mampu menjelaskan mengapa fasilitas pejalan kaki kurang diminati untuk digunakan dibandingkan kendaraan bermotor.  Pada captive user, tidak ada pilihan untuk menggunakan moda angkutan lain, sehingga ketergantungan yang tinggi terhadap ketersediaan dan koneksi jaringan fasilitas pejalan kaki. Waktu tempuh ternyata lebih lama dibandingkan dengan kendaraan bermotor karena adanya penghalang fisik, seperti pemanfaatan ruang parkir dan pembatas pada median yang menyulitkan pejalan kaki untuk menyeberang. Berdasarkan pertimbangan ini, maka kita bisa melihat prasarana pejalan kaki dalam konteks bertransportasi yang lebih berkeadilan.

.