Sedikit Pandangan mengenai Gang dan Penataan Jaringan Jalan di Perkotaan


Jalan sempit pada permukiman komunitas atau disebut "gang" kerap absen dalam diskusi  mengenai penataan ruang maupun pengembangan jaringan jalan di perkotaan. "Gang" merupakan wujud fisik dari dari subkultur pembangunan perkotaan yang masih minor dalam intervensi. Gang dibangun oleh swadaya masyarakat mulai dari pengadaan lahan dan pembangunannya. Dengan dana pembangunan yang terbatas, gang tidak memiliki kelengkapan teknis sebagai sebuah jalan, seperti drainase. Begitu pula dengan ruang lalu lintas yang berbatasan langsung dengan lahan miliki pribadi (privat).

Eksistensi atas keberadaannya berada pada wilayah abu-abu antara pengendalian atau pembiaran. Kompleksitas timbul ketika sebagian warga kota tinggal di permukiman informal yang juga membutuhkan infrastruktur. Apabila jalan lingkungan perkotaan menandai alokasi ruang pada perumahan formal yang juga mengarahkan sistem jaringan air bersih, internet, atau listrik, maka gang merupakan wujud fisik yang sulit diprediksikan perkembangannya dan belum secara jelas mendapatkan kepastian layanan infrastruktur secara baik.

Sebagian besar gang di perkotaan memiliki koneksi yang baik dengan jaringan jalan sekunder (perkotaan). Namun secara hirarki tidak menunjukkan penataan jaringan jalan yang baik. Gang secara langsung dapat berkoneksi dengan jalan kolektor arteri sekunder (contoh: Jalan Ir. H. Djuanda, Bandung dan masih banyak lainnya) yang dapat mengganggu lalu lintas. Selain itu, muka gang tidak secara mudah dapat diprediksikan pembangunannya oleh komunitas di sekitar karena bergantung dari kepentingan sepihak komunitas. Penataan jaringan jalan menjadi tantangan yang harus dipecahkan oleh perencana kota.

Sayang sekali, ketersediaan data dan informasi mengenai jaringan gang ini masih sangat sedikit. Proses perkembangannya pun sangat dinamis dibandingkan dengan jaringan jalan perkotaan pada umumnya. Suatu gang dapat tumbuh diikuti dengan gang-gang lainnya. Dengan ketersediaan lahan pengembangan permukiman pada suatu komunitas yang kian padat, maka pembentukan gang pun menjadi jenuh dan mengalami tahap konsolidasi. Meskipun demikian, gang adalah wujud fisik pembangunan kota yang perlu mendapat perhatian karena kebutuhan penataan jaringan jalan yang lebih tertib dan tuntutan penataan ruang yang mampu melayani seluruh warga kota. 

Dalam Press Release Hari Habitat Dunia 2013 oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU yang dapat disimak pada http://ciptakarya.pu.go.id/v3/dok/press_release_HHD_2013.pdf tercatat 5.560 titik lokasi kumuh perkotaan di 1.975 kelurahan/desa, pada 78 kota dan 158 kabupaten di Indonesia . Dalam Laporan Podes yang dikutip oleh sumber tersebut tercatat 27.378.677 jiwa atau setingkat 7.065.981 Kepala Keluarga tinggal di kawasan kumuh. Dengan demikian, gang pada permukiman di perkotaan layak mendapatkan perhatian karena sebagian besar berada pada area tersebut.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar