Ketika tata guna lahan berubah, kawasan perkotaan tumbuh, struktur ekonomi mengalami transformasi dan kelembagaan baru muncul, pola interaksi orang Bali dengan perairan turut mengalami perubahan. Inovasi sistem sosial yang merupakan kekayaan budaya lokal berhadapan dengan kekuatan ekonomi global melalui industri pariwisata. Saat ini, konversi lahan berlangsung ekstensif yang mengubah desa-desa menjadi kawasan perkotaan, seperti Sanur, Kuta, Ubud, dan lainnya. Masuknya investasi dalam berbagai industri di luar pertanian menstrukturkan ulang ekonomi lokal yang kini bercorak tersier (jasa pariwisata). Kelembagaan pelayanan oleh pemerintah menggantikan pelayanan oleh komunitas, seperti administrasi penduduk dan pengaturan ruang komunal.
Seiring dengan perubahan tersebut, peran Subak dan penghargaan masyarakat atas air sebagai sumber kehidupan dan akar budaya lokal mulai berkurang. Subak tidak memiliki kewenangan untuk mengendalikan konversi lahan warga. Secara rasional, masyarakat menginginkan kelengkapan infrastruktur publik, seperti jalan yang mengubah lansekap lahan pertanian dengan tujuan mendatangkan keuntungan finansial usaha. Pelayanan atas air minum maupun irigasi diambil oleh pemerintah daerah, sehingga pengelolaan dialihkan sebagian kepada birokrasi dan pemerintahan.
Ketika Subak ditetapkan sebagai World Heritage Sites (lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_World_Heritage_Sites_in_Indonesia) pada 29 Juni 2012, saya beranggapan masih adanya persoalan eksistensi sistem sosial ini. Subak adalah aset yang bersifat intangible karena bukan sebagai area yang bisa dideliniasikan secara mudah, tetapi merupakan sistem dan praktek sosial yang dikerjakan secara berkelanjutan oleh komunitas. Hampir seluruh praktek tersebut tidak terdokumentasikan, melainkan atas inisiatif komunitas. Subak bukan pula pengelolaan suatu kawasan tertentu seperti daerah aliran sungai (DAS) atau wilayah sungai. Subak juga tidak memiliki kewenangan dalam mengendalikan konversi lahan di wilayah operasionalnya, terutama untuk mencegah terputusnya saluran, bendung, dan lain-lain. Dengan kecenderungan peralihan guna lahan, dengan sendirinya organisasi dan sistem kerja menjadi hilang karena tidak diterapkan.
Ketika rekan saya yang memang menggeluguti bidang sumber daya air menyampaikan kegembiraannya atas ditetapkannya Subak sebagai World Heritage Sites saya lebih melihatnya sebagai usaha yang lebih keras lagi untuk mengelola kembali hubungan manusia dan alam kita lebih harmonis. Kelembagaan yang ada bukan muncul di ruang kosong, melainkan diterapkan dan dihayati dalam jangka waktu yang panjang, sehingga berkembang dan menjadi lebih kompleks. Ketika alih guna lahan masih terjadi atas kemauan masyarakat yang melihatnya sebagai keuntungan ekonomi, maka dapat dipastikan secara perlahan Subak pun hilang.
Suatu sistem sosial harus dapat dipahami lebih dari praktek keseharian atau wujud fisik yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Ritual pembersihan diri dengan media air yang dilakukan saban harinya di Pura Tirta Empul di Tampaksiring, Bali, sesungguhnya adalah keinginan hakiki dalam diri kita untuk berdekatan dengan Sang Hyang Widhi dan lingkungan alam. Dibalik segala sesuatu yang mewujud ke dalam tradisi, perilaku, adat istiadat, terdapat filosofi yang mendasarinya. Hal ini pula yang membentuk Subak sebagai suatu sistem sosial seperti yang dikenal saat ini.
Area suci untuk membersihkan diri secara rohani dan jasmani di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar