Pertimbangan Kerentanan Akses Jalan bagi Pejalan Kaki

Jalan adalah milik semua orang. Jalan digunakan sebagai wadah pergerakan karena kebutuhan untuk bertransportasi. Secara dominan, jalan dipersepsikan sebagai ruang milik bagi pengguna kendaraan bermotor. Padahal kebutuhan bagi pergerakan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor lainnya.

Aksesibilitas dapat didefinisikan sebagai derajat kemudahan untuk berinteraksi. Aksesibilitas juga menjadi ukuran, yang bisa merupakan biaya maupun waktu, untuk mencapai suatu tujuan atau destinasi. Suatu ukuran yang diperkenalkan pada bidang perencanaan transportasi adalah road access vulnerability yang menggambarkan kerentanan bagi pengguna jalan yang beragam tersebut untuk menggunakan jalan dalam berbagai kondisi. Secara mudahnya, kondisi jalan yang terdegrasi atau menurun fungsinya menyebabkan semakin tingginya waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan semakin tinggi ketergantungan suatu lokasi terhadap suatu jaringan jalan, maka "kerentanan" akan semakin tinggi. Hal ini umumnya terjadi pada kawasan dengan permukiman yang menyebar dengan koneksi jaringan yang terbatas.

Di kawasan perkotaan, pengelolaan jalan yang kurang mempertimbangkan aksesibilitas bagi pejalan kaki menyebabkan tingkat kerentanan akses yang diterima meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi trotoar dengan penghalang fisik yang tidak diperhatikan keberadaannya. Kondisi pedestrian walk yang tidak dibangun dengan standar yang benar. Kondisi fasilitas pejalan kaki yang kurang baik dapat menimbulkan beban psikologis berupa berukurangnya rasa aman. Waktu tempuh yang lebih lama juga menjadi salah satu ekses dari kondisi prasarana yang kurang baik dan kurang standar, contohnya adalah kontur trotoar yang tidak rata.

Pertimbangan kerentanan akses tersebut mampu menjelaskan mengapa fasilitas pejalan kaki kurang diminati untuk digunakan dibandingkan kendaraan bermotor.  Pada captive user, tidak ada pilihan untuk menggunakan moda angkutan lain, sehingga ketergantungan yang tinggi terhadap ketersediaan dan koneksi jaringan fasilitas pejalan kaki. Waktu tempuh ternyata lebih lama dibandingkan dengan kendaraan bermotor karena adanya penghalang fisik, seperti pemanfaatan ruang parkir dan pembatas pada median yang menyulitkan pejalan kaki untuk menyeberang. Berdasarkan pertimbangan ini, maka kita bisa melihat prasarana pejalan kaki dalam konteks bertransportasi yang lebih berkeadilan.

.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar