Di antara himpitan areal industri dan perumahan, terdapat areal persawahan yang masih berproduksi dan bertahan. Aksesibilitas pada kawasan sekitarnya yang membaik dengan dibangunnya jalan dan pelayanan transportasi publik, telah meningkatkan harga lahan pada kawasan tersebut. Areal persawahan ini menjadi pecahan mozaik dalam ruang kota yang penuh dengan warna kuning (perumahan), jasa (merah muda), dan abu-abu (industri). Luasan dapat mencapai puluhan ribu hektar yang secara signifikan menentukan arah pengembangan guna lahan dan infrastruktur.
Fenomena ini menarik dari aspek keruangan. Model alokasi lahan Von Thunen yang dipelajari oleh para perencana kota dan wilayah meangasumsikan timbulnya efisiensi pasar lahan, dimana peruntukan lahan produksi komoditas dalam ruang dipengaruhi oleh tingkat produktivitas lahan. Komoditas dengan produksi tertinggi akan mengokupasi lahan dengan kondisi terbaik dan dengan harga tertinggi. Seiring dengan menjauhnya dari "pusat", lahan ditempati oleh aktivitas cocok tanam komoditas dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah. Dengan kondisi saat ini, produktivitas tinggi ditunjukkan oleh nilai tambah tertinggi atas produk dan jasa. Secara umum, teori ini menjelaskan mengenai properti di perkotaan mengambil alih lahan sawah dan membentuk urban sprawl (penyebaran perkotaan). Pertanyaannya: apakah urban farming mampu bersaing dengan komoditas lain, seperti ritel, industri, jasa, yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi?
Keberadaannya urban farming bisa jadi adalah fenomena sementara dalam pasar lahan di perkotaan. Model Von Thunen barangkali tepat dalam menjelaskan fenomena jangka panjang atas alokasi ruang yang lebih efisien. Dalam jangka pendek, harga lahan akan ditentukan oleh negosiasi antara pembeli dan penjual yang juga bergantung atas faktor emosional dan psikologis, seperti tidak mudah melepas tanah warisan leluhur. Keberadaan urban farming ini jdapat dianggap fenomena jangka pendek atau belum mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi.
Urban farming masih ada dan dikerjakan sebagai profesi oleh sebagian warga kota. Dengan tingkat keuntungan marjinal yang relatif dianggap memadai, maka aktivitas ini akan tetap ada. Keberadaan infrastruktur perkotaan yang relatif baik dibandingkan di perdesaan menjadi salah satu faktor, seperti perbankan, transportasi, maupun pasar. Pemahaman atas keberadaan aktivitas ini menentukan arah pengembangan lahan, termasuk infrastruktur kota. Namun saat ini, pengaturannya masih belum jelas dan tegas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar