Belajar dari Hammarby Sjöstad

Perjalanan ke Hammarby Sjöstad dari pusat Kota Stockholm menempuh jarak sekitar 30 km ke arah selatan. Saat itu, saya melakoninya dengan menggunakan bus yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kereta listrik. Selama beberapa tahun terakhir, kawasan di pinggiran Kota Stockholm ini kerap dikunjungi oleh wisatawan maupun pelancong yang lebih serius, seperti peneliti, mahasiswa, maupun wartawan. Tujuan mereka bermacam-macam, selain karena kawasan ini telah menjadi lokasi wisata  kota kawasan ini juga adalah 'laboratorium besar' bagi mereka yang hendak belajar mengenai urban redevelopment (pembangunan ulang kawasan perkotaan).

Awalnya bagian kota ini adalah kawasan industri dengan tingkat polusi yang tinggi. Tanah di kawasan terkontaminasi dengan bahan kimia beracun dan berbahaya yang digunakan dalam proses manufaktur. Perairan yang dekat dengan kawasan ini dijadikan untuk membuang limbah cair pabrik yang tidak menguntungkan bagi fauna dan habitatnya. Hasil pembakaran energi menghasilkan polutan udara yang membuat lingkungan tidak nyaman ditinggali. Sebagai kawasan industri, lokasi permukiman di dalamnya juga menjadi kumuh.

Transformasi dimulai sejak awal tahun 1990-an untuk mengubah kawasan ini lebih ramah lingkungan. Sejumlah proyek restorasi lingkungan dijalankan mulai dari relokasi pabrik, perbaikan kondisi/ rehabilitasi lingkungan, maupun pengenalan proses manufaktur yang bersih. Semuanya berawal dengan penyusunan rencana kawasan dan pengembangan infrastruktur dengan konsep cradle-to-cradle development. Sebisa mungkin pemanfaatan material dan energi untuk proses produksi maupun rumah tangga dapat dimanfaatkan ulang (reuse) maupun didaur ulang (recycle) agar tidak membebani lingkungan dengan limbah. Sebagai contoh, panas dari hasil pendinginan mesin pabrik dialirkan ke rumah-rumah sebagai alat pemanas. Sebelum dibuang ke perairan terbuka, air tersebut diolah melalui proses pemurnian.

Konsep pengembangan kawasan telah memicu perkembangan teknologi bersih, baik yang didanai pemerintah kota maupun swasta. Investasi tidak hanya pada upaya rekonstruksi, melainkan juga pada penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi bersih. Teknologi sel surya yang lebih efisien dengan tipikal pergerakan matahari musiman dikembangkan dan telah terpasang pasta sejumlah gedung. Pemanfaatan LED untuk penerangan jalan pun sudah jamak dengan teknologi yang menghasilkan iluminasi dan durabilitas yang baik. Teknologi penyedot sampah kering telah terpasang pada lokasi publik maupun tiap blok rumah susun, sehingga mendorong pemilahan dan mengurangi perjalanan kendaraan pengangkut sampah.

Untuk transportasi orang, kawasan menyediakan pilihan transportasi publik yaitu kereta listrik dan kapal boat melintasi danau (secara gratis). Fasilitas pedestrian dan sepeda dibangun dengan sangat baik, sehingga mendorong pemanfaatannya. Beberapa tempat disewakan sepeda. Taman-taman mengisi ruang kosong di antara blok rumah yang juga merupakan sarana rekreasi warga. Saat ini, hanya tipe industri yang mampu memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan kota yang diperbolehkan berdiri (yang bahkan lebih dari standar yang ditetapkan Eropa!).

Sejauh mata memandang, nampak suasana hijau pepohonan dan rerumputan di sela-sela gedung. Jalanan tidak dipenuhi oleh kendaraan, tetapi pejalan kaki yang terkadang menyapa ramah. Dekat dengan perairan yang merupakan bagian dari Laut Baltik, sejumlah orang berkumpul untuk menikmati suasana yang saat itu pada musim panas. Saya juga melihat seorang ayah yang mengasuh anak dengan kereta dorongnya. Dalam rekreasi singkat dan serius ini saya merasa belajar banyak, namun sedikit yang telah saya lakukan terhadap kota saya sendiri.

Pemandangan ke arah pelabuhan dengan dilengkapi promenade

Trotoar yang disediakan cukup lebar dan nyaman digunakan berbagai kalangan

Warga kota yang tengah berekreasi di tepi danau

Jalur sepeda yang disediakan secara baik dan dibebaskan dari konflik dengan pemanfaatan lainnya, seperti parkir 

Taman kota yang banyak tersedia di kawasan

Pemanfaatan LED sebagai penerangan jalan pada jalan -jalan utama




Arti Batur bagi Dunia, Indonesia, dan Bali

Kintamani dengan Gunung dan Danau Batur selalu menjadi objek wisata yang tidak mudah dilupakan. Objek wisata ini menawarkan keindahan dan keunikan lansekap alam. Menyeberangi danau, terdapat Desa Truyan yang merupakan desa yang masih mempertahankan tradisi lama sebelum kedatangan agama Hindu. Desa Truyan dikenal karena tradisi masyarakatnya yang meletakkan mayat di bawah pohon berbau wangi. Kawasan ini memiliki nilai lingkungan, ekonomi, dan budaya yang tidak ternilai bagi masyarakat lokal, Indonesia, dan dunia, namun menyimpan konflik pengelolaan yang perlu dipecahkan.

Sejak tahun lalu, tanggal 20 September 2012, Kaldera Batur di Kintamani ditetapkan oleh Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan ( UNESCO ) sebagai geopark (taman bumi). Taman bumi ini adalah yang pertama di Indonesia dan telah dikukuhkan sebagai bagian dari Global Geopark Network (GGN). Di seluruh dunia, terdapat 77 taman bumi dengan salah satunya di Asia Tenggara Langkawi di Malaysia.Dengan demikian, promosi wisata dapat dilakukan secara global. Dengan penetapan ini pula, taman bumi ini diharapkan semakin dikenal karena daya tarik wisata yang ada, selain menjadi lokasi pendidikan dan penelitian bagi ilmuwan dari seluruh dunia. Meskipun sebagian motivasi adalah bisnis pariwisata, taman bumi merupakan langkah mendorong pengelolaan yang mengedepankan aspek konservasi kawasan yang menjadi taman bumi.

Taman bumi Batur merupakan kaldera besar yang kini telah menjadi danau, lokasi perkebunan, dan pertambangan, termasuk permukiman. Sisa-sisa dari letusan besar masa lampau menciptakan bentang alam yang unik dengan satu puncak gunung api aktif. Letusan terakhir kali terjadi pada tahun 2000. Kondisi alam yang subur menjadikan kawasan sekitar kaldera sangat sesuai sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Produksi pertanian yang terkenal karena kualitasnya yang baik dari daerah ini antara lain kopi dan jeruk. Aktivitas pertambangan, khususnya kategori galian C, nampak dari sejumlah truk yang berlalu lalang menyusuri jalan terjal dan berbaur dengan aktivitas wisata. Tidak dapat dipungkiri pula, sebagian masyarakat lokal menggantungkan hidup sebagai penambang pasir dan batu hasil muntahan gunung aktif.

Sebuah pura yang disebut dengan Pura Ulun Danau Batur berada di dekat taman bumi ini. Pura ini secara rutin dikunjungi oleh masyarakat Bali sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) atas anugerah berupa sumber air bagi irigasi yang menyuburkan tanah pertanian. Dalam konteks masyarakat agraris dan peran organisasi subak yang besar (lihat pos mengenai Subak pada Oktober 2013), keberadaan pura ini menanda peran penting Danau Batur sebagai sumber air bagi sawah di bagian selatan dan timur Bali.

Sebagai destinasi wisata, Kaldera Batur telah menjadi areal favorit untuk wisata alam maupun budaya. Secara nasional, Kintamani juga dipromosikan secara aktif untuk menarik kunjungan wisata ke Indonesia. Dengan keberadaan Desa Truyan pada kawasan ini, wisatawan dapat mengenal kehidupan masyarakat dan budaya di salah satu desa pedalaman di Bali. Bentang alam yang unik yang mempengaruhi kondisi jalan yang bergelombang menjadikannya sebagai daya tarik wisata bersepeda. Fungsi wisata yang semakin menonjol terlihat dari keberadaan restoran yang berdiri hampir disepanjang jalan utama yang hampir menutupi seluruh pandangan dari jalan utama ke arah kaldera.

Dengan ragam arti kawasan, mungkihkan menyusun satu rencana pengelolaan kawasan yang bisa memuaskan semua pihak? Saat ini saja, fungsi pariwisata yang dominan telah menyebabkan kemacetan karena masuknya bus dan minibus dalam jumlah yang banyak. Areal parkir yang terbatas mendorong parkir on the street yang mengurangi kapasitas jalan. Sebagai sebuah taman bumi, mungkinkah aktivitas pertambangan dihentikan karena niatan konservasi, pemdidikan, dan penelitian? Selain itu, perlu dipikirkan keberadaan pura yang sebaiknya tidak terganggu oleh fungsi pariwisata? Akan disusunnya rencana induk bagi taman bumi ini dapat diharapkan mampu mengatasi konflik yang ada, atau sebaliknya, memperuncing sejumlah konflik yang selama ini telah pada "tempatnya" sejak lama.

Mencoba Mengenali Karakter Kota Gianyar Masa Kini

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya telah mengamati pergeseran dalam orientasi keruangan Kota Gianyar. Pada waktu itu, saya sedikit banyak dipengaruhi oleh buku Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff mengenai urbanisme di Asia Tenggara (deskripsi buku dapat dibaca pada link: http://www.goodreads.com/book/show/2183739.Southeast_Asian_Urbanism). Prof. Hans memang tidak berbicara mengenai Bali secara spesifik, namun kerangka analisis yang digunakan membantu saya untuk memahami perubahan yang tengah berlangsung pada warga kota. Interaksi sosial, budaya, dan ekonomi yang berlangsung pada suatu kota, baik masa lampau dan kini, menciptakan struktur dan pola ruang lokal yang unik dan merepresentasikan apa yang menjadi karakter kota. 

Dengan pengetahuan lokal atau kearifan lokal yang mulai dilupakan pada generasi saat ini, pembentukan ruang Kota Gianyar tidak lagi mengikuti pakem atau pola ruang tradisional. Penempatan fungsi akan sangat ditentukan oleh ketersediaan lahan, bukan oleh batas komunal yang dikenal dengan desa adat atau desa pakraman. Dengan penguasaan atau kepemilikan lahan terbesar pada individu, maka tidak akan mudah pengaturan dilakukan oleh komunitas.

Penataan ruang formal yang diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) maupun pendetilannya nampaknya cenderung mengabaikan tata ruang komunitas yang telah terbentuk sejak bertahun-tahun lamanya. Dengan demikian, pembangunan tidak memiliki "karakter" yang ajeg. Apabila ruang yang dianggap suci ditempatkan berada di utara (mengarah kepada kiblat Pura Besakih), maka sejumlah fungsi lain turut berbaur, seperti jasa perbaikan kendaraan maupun ritel modern. Tempat pertemuan komunitas (warga banjar) sebagian tidak begitu jelas keberadaannya karena dominasi perumahan. Masyarakat sebetulnya telah menganut prinsip zonasi yang didasarkan atas prinsip hulu-teben (penempatan fungsi yang dianggap suci, seperti tempat ibadah, pada area yang tinggi atau arah utara) dan tri angga (penempatan fungsi sesuai dengan anggapan atas, tengah, dan bawah sesuai dengan anggapan mengenai derajat kesucian). Nampaknya prinsip ini tidak berjalan mulus dalam praktek keruangan saat ini yang didominasi oleh perubahan demografis yang pesat.

Perlahan namun dapat dipastikan, keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan digantikan dengan elemen ruang lain yang dianggap 'lebih produktif'. Skala pelayanan kota sebetulnya tidak berubah, namun penduduk senantiasa bertambah jumlahnya, sehingga diperlukan lahan bagi rumah tinggal dan usaha. Selain itu, ragam produk dan jasa yang ditawarkan membuka peluang usaha baru bagi warga kota melalui alih fungsi lahan karena potensi pasar saat ini. Dalam konteks masyarakat lokal, keberadaan "penyangga" berupa RTH adalah pewujudan elemen ruang yang juga penting dalam bentuk sema (pekuburan), uma (persawahan), dan tegalan. Keseimbangan dalam pemahaman tradisi lokak akan terganggu.

Umumnya di kota-kota lain, lahan di perkotaan seperti di Kota Gianyar, memiliki nilai yang tinggi karena kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan dari investasi. Terlebih pada lahan dengan aksesibilitas yang sangat baik terhadap jalan-jalan utama, mendorong pemanfaatan lahan yang membuka peluang investasi tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan pertokoan, terutama ritel modern, yang mengisi bagian-bagian kota.

Seperti yang disampaikan oleh Prof. Hans mengenai kota-kota di Asia Tenggara, konflik ruang antara yang tradisional dan yang modern (meliputi elemen dan fungsinya) hampir tidak dapat dielakkan. Sebagian besar kota dapat memilih untuk menerapkan strategi akulturasi maupun asimilasi. Menolak perkembangan yang modern hampir mustahil dengan geografi Kota Gianyar sebagai penghubung Bali bagian utara dan timur dengan bagian selatan yang senatiasa padat dengan komuting dan lalu lintas barang. Urbanisasi di wilayah ini pun dipercepat karena spill over atas terbatasnya kapasitas pembangunan di Bali bagian selatan, sehingga mengarahkan investasi akan lebih ke arah timur menuju Kota Gianyar melalui pembukaan akses jalan.

Dengan demikian, dualisme lebih tepat merepresentasikan karakter Kota Gianyar saat ini yang juga telah saya amati sejak sepuluh tahun lampau. Strategi akulturasi mewujud dalam ruang arsitektural mulai dari fungsi yang ternyata bisa berdampingan satu sama lain. Simak saja bale banjar atau tempat pertemuan komunitas yang berada bersandingan pada Gambar di bawah.

Tidak Ada Lagi Kapal yang Bertambat di Pelabuhan Singaraja

Singaraja telah menjadi pusat perdagangan yang ramai sejak akhir abad ke-18. Raffles pun tergiur ketika menyaksikan betapa berkembangnya pelabuhan Singaraja pada masa tersebut. Interaksi dengan pulau-pulau lain di Nusantara berlangsung intensif dan menyebabkan perkembangan kota sebagaimana adanya saat ini dengan lansekap multikulturalnya (lihat post sebelumnya).

Namun kini, pelabuhan telah dirubah menjadi objek wisata dan rekreasi. Pelabuhan digunakan untuk rekreasi warga lokal dan ditawarkan sebagai daya tarik wisata. Aktivitas nelayan juga tidak nampak. Terdapat perahu nelayan yang ditambatkan di dekat pelabuhan, namun sangat jarang ditemukan nelayan yang melaut.

Tiang pancang dermaga tetap dipertahankan keberadaannya, hanya fungsinya yang diubah. Dermaga kini ditempati sejumlah restoran yang menawarkan pengalaman bersantap di tengah laut bagi wisatawan.

Sepanjang pelabuhan dibangun koridor pejalan kaki berpenutup untuk memberikan keteduhan dari sinar matahari yang terik pada siang hari. Pada lokasi ini, dapat ditemui bangku-bangku sebagai tempat duduk bagi warga maupun wisatawan yang menikmati suasana pantai.

Di pelabuhan berdiri monumen perjuangan kemerdekaan, persis ditempatkan setelah gerbang masuk pelabuhan. Monumen berupa patung pejuang yang membawa bendera dan mengarahkan tangan menunjuk ke arah laut.

Pelabuhan secara terencana telah ditata sebagai objek wisata oleh pemerintah kabupaten Buleleng. Sejumlah fungsi pendukung pelabuhan pun telah hilang, seperti gudang, ruang tunggu penumpang, areal bongkar muat, tambatan tali kapal, maupun gedung pengawas pelabuhan. Sejumlah warung penjual makanan justru menempati sebagian areal pelabuhan berdekatan dengan lokasi parkir. Sebuah gedung pengelola objek wisata berada di tengah kawasan yang siapemberikan informasi mengenai atraksi yang hendak dinikmati.

Pelabuhan Singaraja sudah tidak ditambati kapal-kapal dan perahu-perahu. Namun, ingatan tentang kejayaan maritim Nusantara masih membekas pada lokasi ini yang ditunjukkan dengan masuknya nelayan dari berbagai daerah di Nusantara yang memutuskan menetap di Singaraja. Pelabuhan ini juga menjadi bagian ingatan kelam sejarah mengenai perdagangan budak dari Singaraja yang dijual ke Batavia melalui perjanjian raja dan pemerintah Hindia Belanda kala itu. 

Sangat disayangkan bahwa renovasi pelabuhan dilakukan tanpa menyematkan ingatan atas sejarah masa lampau. Setidaknya, menurut pendapat saya, ada museum yang menyampaikan informasi tentang arti pelabuhan ini kepada generasi muda. Jejak-jejak keberadaab pelabuhan yang dikikis melalui proyek kepariwisataan sebetulnya merupakan penghilangan aset sejarah dan wisata kota.

Menyusuri Lansekap Kultural Kota Singaraja

Kota Singaraja terletak di utara Pulau Bali. Perjalanan dari Bandara Internasional Ngurah Rai membutuhkan waktu setidaknya 4 jam melalui pegunungan yang membatasi bagian utara dan selatan pulau. Interaksi dengan daerah lain di Nusantara telah lama dimulai jauh melampui kota lainnya di Pulau Bali. Kota Singaraja adalah kota pertama yang dikuasai oleh kolonial Belanda sebelum pada awal abad ke-20, ekspedisi Belanda menyerang pesisir selatan dan menjadikan peran Kota Denpasar semakin sentral dalam perdagangan. Kota Singaraja juga pernah menjadi ibukota Provinsi Bali selama beberapa lama sebelum dipindahkan.

Interaksi yang telah berlangsung lama dengan daerah lain di Nusantara menjadikan kota ini terbentuk dengan lansekap multikultural yang lebih kaya dibandingkan kota-kota lainnya di Bali. Permukiman pun terkonsentrasi menurut etnis pada luas areal kota hanya 28 km2.

Pada kota ini terdapat Kampung Bugis, permukiman bagi orang dari etnis Bugis (Sulawesi Selatan) yang terletak di dekat pesisir pantai utara dan mendekati lokasi pelabuhan lama. Akses menuju permukiman ini adalah jalan lokal  dengan percabangannya berupa gang untuk mencapai rumah tinggal warga. Permukiman warga Bugis ini termasuk berkepadatan tinggi. Sebagian warga memeluk agama Islam yang memperlihatkan akulturasi budaya juga terjadi. Bangunan masjid mengisi ruang komunitas bersama dengan warga yang beragama Hindu.

Pada jalan utama kota, seperti Jalan Erlangga dan Imam Bonjol adalah lokasi pertokoan yang dihuni sebagian besar oleh etnis Cina. Pertokoan dibangun dengan bentuk rumah toko (ruko). Terdapat klenteng Lin Gwan Kiong yang bersebelahan dengan pelabuhan dan pertokoan yang mencirikan ragam kepercayaan yang dianut oleh warga Kota Singaraja.

Apabila kita menyusuri Jalan Imam Bonjol menuju ke utara kota, maka kita akan temukan Banjar Jawa, yang merupakan konsentrasi pemukim asal Jawa. Rumah warga yang menempati areal permukiman ini berada di jalan tersebut, namun agak mengarah ke timur menjauhi jalan utama.

Kampung Bali, konsentrasi pemukim etnis Bali, berada agak jauh dari pesisir. Corak halaman rumah yang dibatasi dengan pagar dan pintu masuk berupa angkul-angkul merepresentasikan identitas etnis warga yang menempati permukiman ini. Pada area ini terdapat sebagian besar fasilitas publik, seperti rumah sakit, sekolah, kantor pemerintahan, dan perbankan. Pura Jagatnatha yang merupakan pura terbesar di kota ini berlokasi di areal permukiman ini.

Orientasi permukiman mengarah pada jalan utama selatan -utara yang merupakan orientasi umum pada permukiman di wilayah utara Bali. Sepanjang jalan Gajah Mada menuju ke utara kota adalah kecenderungan urban sprawl meskipun hambatan fisik berupa perbukitan tetap menjadi faktor penentu.

Dengan proses interaksi sosial selama berabad-abad, kota kecil ini menyediakan ruang asimilasi dan akulturasi budaya bagi warganya. Tidak hanya dalam bahasa, melainkan juga kepercayaan, arsitektur bangunan, dan tradisi warga. Hal ini, yang sangat saya sayangkan, tidak dapat diamati dalam kunjungan singkat kali ini. Hanya sebagian yang tertangkap, seperti perpaduan antara angkul-angkul Bali atau pintu masuk pada sebuah mesjid pada gambar di bawah ini.

Perjalanan ke Tiga Pura dan Isu Penzonaan

Sebetulnya, perjalanan saya ke Bali kali ini adalah untuk berlibur. Selain menengok keluarga yang tinggal di pulau ini, juga melakukan perjalanan singkat ke pura-pura besar. Telah lama saya merencanakan perjalanan ini dengan, mengambil kesempatan liburan Natal dan Tahun Baru.

Perjalanan Menuju Tiga Pura

Perjalanan diawali dari Kota Gianyar. Melalui jalan provinsi yang menghubungkan kota ini dengan kota-kota di daerah Bali bagian timur hingga sampai di Pelabuhan Padang Bai yang merupakan pintu keluar dan masuk Bali ke dan dari kawasan timur Indonesia. Pada Pelabuhan ini terdapat salah satu pura yang menjadi tonggak transformasi tatanan sosial masyarakat Bali yang didasarkan atas keyakinan  agama Hindu. Pura ini bernama Silayukti dan dibangun untuk menghormati Mpu Kuturan, seorang tokoh dengan peran besar tersebut. Pada sekitar pulau telah dibangun restoran, bar, maupun penginapan yang dibangun berdekatan dengan pura atau hanya sekitar 200 m. Letak pelabuhan yang telah ada terlebih dahulu, berlokasi pada jarak sekitar 400-500 m. Sejumlah speedboat, perahu nelayan, dan kapal motor kecil ditambatkan mendekati pantai. Minggu ini saja, sebuah kapal pesiar berbendera Perancis meminta ijin intuk berlabuh di dermaga laut ini.

Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi Pura Goalawah. Pura ini terletak di pinggir pantai juga yang berbatasan dengan jalan raya. Pura ini terbilang ramai dikunjungi oleh wisatawan, selain mereka yang tengah melakukan persembahyangan. Tidak banyak aktivitas wisatawan di sekitar pura ini. Tidak seperti Padang Bai yang relatif lebih padat dengan kegiatan wisata. Di sekitar pura ini terdapat sedikit jumlah restoran. Fasilitas lain tidak ditemukan, seperti akomodasi bagi wisatawan.

Melewati Kota Klungkung, saya menuju ke arah utara menuju Pura Besakih yang berada di Kabupaten Karangasem. Pura ini adalah yang terbesar di Bali. Tidak seperti ingatan waktu dahulu sekitar 15 tahun yang lalu bagian kanan dan kiri jalan menuju pura masih sangat sepi. Saat ini pertokoan hampir merambah bagian jaba atau terluar dari pura. Pura ini termasuk ramai dikunjungi wisatawan luar negeri. Besakih termasuk paket tour yang dikemas untuk wisatawan dengan maksud perjalanan wisata spiritual bersama dengan pura lainnya.

Pengaturan Zona Pura

Saat ini, RTRW Provinsi Bali hendak direvisi. Revisi dilakukan karena evaluasinya setidaknya dilakukan 5 tahun sekali. Berdasarkan rekomendasi evaluasi, maka kemungkinan untuk dilakukan revisi atau tidak bergantung atas tingkat simpangan yang terjadi atau kesenjangan antara rencana dengan kondisi saat ini yang menyebabkan target kemungkinan tidak terjadi. Contoh yang mudah adalah apabila terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan yang berpengaruh, maka revisi harus dilakukan untuk menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) RTRWP.

Adanya revisi terkait dengan perubahan terkait peraturan zonasi dalam RTRWP berupaya melindungi fungsi pura, sehingga gangguan dari aktivitas lainnya tidak terjadi.  Pengaturan dalam hal ini sebetulnya telah diwujudkan secara informal melalui kesepakatan bersama antara pemuka agama yang disebut dengan bhisama. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai hal ini, namun pengaturan telah memberikan input yang berharga dari aspek tata ruang lokal ke dalam substansi RTRWP.

Kenyataannya adalah tidak sepenuhnya kondisi di lapangan ideal. Pemanfaatan ruang di sekitar pura telah ada yang digunakan oleh masyarakat sebagai hunian. Sebagian lainnya disewakan sebagai restoran dan akomodasi. Jalan akses yang digunakan pun sama antara kedua aktivitas, berwisata dan beribadah (contoh Pura Silayukti dan Besakih).

Apabila dibebaskan sepenuhnya, kesiapan untuk melakukan relokasi perlu diwujudkan secara realistis. Beruntung bahwa pemanfaatan lahan belum semasif kekhawatiran publik, sehingga pilihan realokasi masih berkesan masuk akal. Meskipun demikian, antisipasi terhadap perkembangan ke depan perlu diwujudkan. Bisa saja, pengaturan zona manfaat pura diberlakukan untuk pembangunan pada masa mendatang. Kondisi yang terjadi saat ini dapat diabaikan karena skala penyimpangan yang masih dianggap kecil.

"Konflik" pemanfaatan ruang ini tidak hanya terjadi saat ini saja, tetapi telah berlangsung lama. Telah lama, publik dibuat bingung dengan pembangunan resort di dekat Pura Tanah Lot. Persoalan yang muncul saat ini harus digunakan untuk menyesaikan persoalan ini untuk seterusnya. Menutup mata atas potensi wisata atas keberadaan pura juga tidak tepat. Telah lama didengungkan "Bali, Pulau Seribu Pura", yang  juga disampaikan dengan kebanggaan dan ditawarkan dalam brosur paket wisata. Dengan demikian, konsensus antara dua pandangan yang ekstrem harus dihasilkan.

Kota-Kota di Bali sebagai World's Cities

Bali sebagai salah satu destinasi wisata internasional sudah ternama. Sepanjang tahun, Bali dikunjungi jutaan wisatawan dalam dan luar negeri. Pariwisata telah menjadi sektor ekonomi yang sangat berkembang, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi. Peran Bali dalam berbagai misi international sangat mengemuka. Sepanjang tahun 2013, terdapat sejumlah pertemuan international, antara lain adalah APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) maupun WCF (World Cultural Forum).

Denpasar dan Kuta telah menjadi world's cities. Dalam hal ini, interaksi kota-kota tersebut dengan kota-kota lain di dunia sangat intensif. Salah satu indikasi adalah rute penerbangan internasional maupun jadwal harian yang padat. Sanur, Kuta, dan Denpasar adalah lokasi bagi kantor konsuler maupun kantor cabang perusahaan sejumlah negara. Kuta bahkan menjadi kota yang fenomenal dengan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung dalam satu tahun melebihi jumlah penduduk lokal. Penggunaan sejumlah bahasa asing pada billboard maupun kantor usaha lokal sudah lazim.

Sebagai world'cities, Kuta dan Denpasar memiliki peran lokal yang juga penting melalui penyebaran pembangunan ke wilayah sekitar Bali. Tidak hanya itu, ditempatkannya Bali dalam konteks Koridor V, meliputi Bali dan Nusa Tenggara, harus dilihat sebagai strategi difusi pembangunan, teknologi, dan ekonomi. Menjadikan Bali sebagai pintu masuk dan penyebaran aktivitas pariwisata memerlukan kesiapan infrastruktur yang diwujudkan secara baik. Kapasitas daya dukung lingkungan masih menjadi pertanyaan yang juga terkait dengan keberlanjutan kota-kota tersebut. Selain itu, kota-kota tersebut sebaiknya bukan menciptakan ketergantungan terhadap kota-kota lainnya maupun menyerap sumber daya dari daerah sekitarnya. Kaitan (linkage) dan konektivitas yang diwujudkan bukan hanya isu infrastruktur, namun juga ekonomi lokal.

Menata Kawasan Sanur dengan Konsep Pedestrian Walk

Rekreasi sudah menjadi kebutuhan setiap orang. Selain untuk melepaskan kepenatan karena aktivitas harian yang rutin, rekreasi menjadi cara agar dapat menyempatkan diri berolahraga. Kombinasi antara dua aktivitas tersebut berwujud di salah satu objek wisata yang telah berkembang d Bali, Sanur.

Pada kawasan wisata ini, dibangun pedestrian walk sepanjang pantai. Para wisatawan berkesempatan untuk berjalan maupun berolahraga. Pedestrian walk ditempatkan di depan resort wisata maupun hotel yang sekaligus membatasi dengan areal pantai atau sempadan pantai. Sepanjang jalur, selain resort dan hotel, juga adalah toko, warung, dan restoran yang jumlahnya semakin banyak. Apabila para pengunjung memilih untuk bersepeda, mereka dapat menyewa sepeda pada lokasi masuk menuju pantai.

Pemanfaatan secara bersama sebetulnya sudah tepat. Hanya saja dimensi lebar jalur tidak cukup memadai. Pada situasi ramai, umumnya pagi hari, konflik pemanfaatan kerap terjadi. Bunyi dering sepeda memaksa pejalan kaki untuk berjalan lebih ke pinggir lagi. Untuk menikmati aktivitas berjalan maupun bersepeda bisa jadi kurang menyenangkan.

Menyusuri jalur yang disediakan sangat ideal dilakukan pada pagi hari sembari menikmati matahari terbit. Keteduhan di sepanjang jalur juga sangat diperhatikan melalui konsep telajakan. Dengan konsep ini, tiap muka halaman resort dan hotel ditempatkan pohon dan taman yang menambah asri kawasan, serta sekaligus menjadi areal penyangga tiap resort dan hotel dari aktivitas di pantai yang terkadang ramai.

Konsep pedestrian walk ini sangat didorong melalui pengelolaan lalu lintas. Akses kendaraan bermotor menuju pantai dibatasi, hanya diperuntukkan bagi kendaraan kecil maupun bukan bermotor. Dengan konsep pedestrian walk, kawasan ini terbebas dari polusi suara dan kendaraan, serta meningkatkan daya tarik kawasan melalui aktivitas rekreasi dan wisata yang bervariasi.