Singaraja telah menjadi pusat perdagangan yang ramai sejak akhir abad ke-18. Raffles pun tergiur ketika menyaksikan betapa berkembangnya pelabuhan Singaraja pada masa tersebut. Interaksi dengan pulau-pulau lain di Nusantara berlangsung intensif dan menyebabkan perkembangan kota sebagaimana adanya saat ini dengan lansekap multikulturalnya (lihat post sebelumnya).
Namun kini, pelabuhan telah dirubah menjadi objek wisata dan rekreasi. Pelabuhan digunakan untuk rekreasi warga lokal dan ditawarkan sebagai daya tarik wisata. Aktivitas nelayan juga tidak nampak. Terdapat perahu nelayan yang ditambatkan di dekat pelabuhan, namun sangat jarang ditemukan nelayan yang melaut.
Tiang pancang dermaga tetap dipertahankan keberadaannya, hanya fungsinya yang diubah. Dermaga kini ditempati sejumlah restoran yang menawarkan pengalaman bersantap di tengah laut bagi wisatawan.
Sepanjang pelabuhan dibangun koridor pejalan kaki berpenutup untuk memberikan keteduhan dari sinar matahari yang terik pada siang hari. Pada lokasi ini, dapat ditemui bangku-bangku sebagai tempat duduk bagi warga maupun wisatawan yang menikmati suasana pantai.
Di pelabuhan berdiri monumen perjuangan kemerdekaan, persis ditempatkan setelah gerbang masuk pelabuhan. Monumen berupa patung pejuang yang membawa bendera dan mengarahkan tangan menunjuk ke arah laut.
Pelabuhan secara terencana telah ditata sebagai objek wisata oleh pemerintah kabupaten Buleleng. Sejumlah fungsi pendukung pelabuhan pun telah hilang, seperti gudang, ruang tunggu penumpang, areal bongkar muat, tambatan tali kapal, maupun gedung pengawas pelabuhan. Sejumlah warung penjual makanan justru menempati sebagian areal pelabuhan berdekatan dengan lokasi parkir. Sebuah gedung pengelola objek wisata berada di tengah kawasan yang siapemberikan informasi mengenai atraksi yang hendak dinikmati.
Pelabuhan Singaraja sudah tidak ditambati kapal-kapal dan perahu-perahu. Namun, ingatan tentang kejayaan maritim Nusantara masih membekas pada lokasi ini yang ditunjukkan dengan masuknya nelayan dari berbagai daerah di Nusantara yang memutuskan menetap di Singaraja. Pelabuhan ini juga menjadi bagian ingatan kelam sejarah mengenai perdagangan budak dari Singaraja yang dijual ke Batavia melalui perjanjian raja dan pemerintah Hindia Belanda kala itu.
Sangat disayangkan bahwa renovasi pelabuhan dilakukan tanpa menyematkan ingatan atas sejarah masa lampau. Setidaknya, menurut pendapat saya, ada museum yang menyampaikan informasi tentang arti pelabuhan ini kepada generasi muda. Jejak-jejak keberadaab pelabuhan yang dikikis melalui proyek kepariwisataan sebetulnya merupakan penghilangan aset sejarah dan wisata kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar