Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya telah mengamati pergeseran dalam orientasi keruangan Kota Gianyar. Pada waktu itu, saya sedikit banyak dipengaruhi oleh buku Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff mengenai urbanisme di Asia Tenggara (deskripsi buku dapat dibaca pada link: http://www.goodreads.com/book/show/2183739.Southeast_Asian_Urbanism). Prof. Hans memang tidak berbicara mengenai Bali secara spesifik, namun kerangka analisis yang digunakan membantu saya untuk memahami perubahan yang tengah berlangsung pada warga kota. Interaksi sosial, budaya, dan ekonomi yang berlangsung pada suatu kota, baik masa lampau dan kini, menciptakan struktur dan pola ruang lokal yang unik dan merepresentasikan apa yang menjadi karakter kota.
Dengan pengetahuan lokal atau kearifan lokal yang mulai dilupakan pada generasi saat ini, pembentukan ruang Kota Gianyar tidak lagi mengikuti pakem atau pola ruang tradisional. Penempatan fungsi akan sangat ditentukan oleh ketersediaan lahan, bukan oleh batas komunal yang dikenal dengan desa adat atau desa pakraman. Dengan penguasaan atau kepemilikan lahan terbesar pada individu, maka tidak akan mudah pengaturan dilakukan oleh komunitas.
Penataan ruang formal yang diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) maupun pendetilannya nampaknya cenderung mengabaikan tata ruang komunitas yang telah terbentuk sejak bertahun-tahun lamanya. Dengan demikian, pembangunan tidak memiliki "karakter" yang ajeg. Apabila ruang yang dianggap suci ditempatkan berada di utara (mengarah kepada kiblat Pura Besakih), maka sejumlah fungsi lain turut berbaur, seperti jasa perbaikan kendaraan maupun ritel modern. Tempat pertemuan komunitas (warga banjar) sebagian tidak begitu jelas keberadaannya karena dominasi perumahan. Masyarakat sebetulnya telah menganut prinsip zonasi yang didasarkan atas prinsip hulu-teben (penempatan fungsi yang dianggap suci, seperti tempat ibadah, pada area yang tinggi atau arah utara) dan tri angga (penempatan fungsi sesuai dengan anggapan atas, tengah, dan bawah sesuai dengan anggapan mengenai derajat kesucian). Nampaknya prinsip ini tidak berjalan mulus dalam praktek keruangan saat ini yang didominasi oleh perubahan demografis yang pesat.
Perlahan namun dapat dipastikan, keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan digantikan dengan elemen ruang lain yang dianggap 'lebih produktif'. Skala pelayanan kota sebetulnya tidak berubah, namun penduduk senantiasa bertambah jumlahnya, sehingga diperlukan lahan bagi rumah tinggal dan usaha. Selain itu, ragam produk dan jasa yang ditawarkan membuka peluang usaha baru bagi warga kota melalui alih fungsi lahan karena potensi pasar saat ini. Dalam konteks masyarakat lokal, keberadaan "penyangga" berupa RTH adalah pewujudan elemen ruang yang juga penting dalam bentuk sema (pekuburan), uma (persawahan), dan tegalan. Keseimbangan dalam pemahaman tradisi lokak akan terganggu.
Umumnya di kota-kota lain, lahan di perkotaan seperti di Kota Gianyar, memiliki nilai yang tinggi karena kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan dari investasi. Terlebih pada lahan dengan aksesibilitas yang sangat baik terhadap jalan-jalan utama, mendorong pemanfaatan lahan yang membuka peluang investasi tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan pertokoan, terutama ritel modern, yang mengisi bagian-bagian kota.
Seperti yang disampaikan oleh Prof. Hans mengenai kota-kota di Asia Tenggara, konflik ruang antara yang tradisional dan yang modern (meliputi elemen dan fungsinya) hampir tidak dapat dielakkan. Sebagian besar kota dapat memilih untuk menerapkan strategi akulturasi maupun asimilasi. Menolak perkembangan yang modern hampir mustahil dengan geografi Kota Gianyar sebagai penghubung Bali bagian utara dan timur dengan bagian selatan yang senatiasa padat dengan komuting dan lalu lintas barang. Urbanisasi di wilayah ini pun dipercepat karena spill over atas terbatasnya kapasitas pembangunan di Bali bagian selatan, sehingga mengarahkan investasi akan lebih ke arah timur menuju Kota Gianyar melalui pembukaan akses jalan.
Dengan demikian, dualisme lebih tepat merepresentasikan karakter Kota Gianyar saat ini yang juga telah saya amati sejak sepuluh tahun lampau. Strategi akulturasi mewujud dalam ruang arsitektural mulai dari fungsi yang ternyata bisa berdampingan satu sama lain. Simak saja bale banjar atau tempat pertemuan komunitas yang berada bersandingan pada Gambar di bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar