Perjalanan ke Tiga Pura dan Isu Penzonaan

Sebetulnya, perjalanan saya ke Bali kali ini adalah untuk berlibur. Selain menengok keluarga yang tinggal di pulau ini, juga melakukan perjalanan singkat ke pura-pura besar. Telah lama saya merencanakan perjalanan ini dengan, mengambil kesempatan liburan Natal dan Tahun Baru.

Perjalanan Menuju Tiga Pura

Perjalanan diawali dari Kota Gianyar. Melalui jalan provinsi yang menghubungkan kota ini dengan kota-kota di daerah Bali bagian timur hingga sampai di Pelabuhan Padang Bai yang merupakan pintu keluar dan masuk Bali ke dan dari kawasan timur Indonesia. Pada Pelabuhan ini terdapat salah satu pura yang menjadi tonggak transformasi tatanan sosial masyarakat Bali yang didasarkan atas keyakinan  agama Hindu. Pura ini bernama Silayukti dan dibangun untuk menghormati Mpu Kuturan, seorang tokoh dengan peran besar tersebut. Pada sekitar pulau telah dibangun restoran, bar, maupun penginapan yang dibangun berdekatan dengan pura atau hanya sekitar 200 m. Letak pelabuhan yang telah ada terlebih dahulu, berlokasi pada jarak sekitar 400-500 m. Sejumlah speedboat, perahu nelayan, dan kapal motor kecil ditambatkan mendekati pantai. Minggu ini saja, sebuah kapal pesiar berbendera Perancis meminta ijin intuk berlabuh di dermaga laut ini.

Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi Pura Goalawah. Pura ini terletak di pinggir pantai juga yang berbatasan dengan jalan raya. Pura ini terbilang ramai dikunjungi oleh wisatawan, selain mereka yang tengah melakukan persembahyangan. Tidak banyak aktivitas wisatawan di sekitar pura ini. Tidak seperti Padang Bai yang relatif lebih padat dengan kegiatan wisata. Di sekitar pura ini terdapat sedikit jumlah restoran. Fasilitas lain tidak ditemukan, seperti akomodasi bagi wisatawan.

Melewati Kota Klungkung, saya menuju ke arah utara menuju Pura Besakih yang berada di Kabupaten Karangasem. Pura ini adalah yang terbesar di Bali. Tidak seperti ingatan waktu dahulu sekitar 15 tahun yang lalu bagian kanan dan kiri jalan menuju pura masih sangat sepi. Saat ini pertokoan hampir merambah bagian jaba atau terluar dari pura. Pura ini termasuk ramai dikunjungi wisatawan luar negeri. Besakih termasuk paket tour yang dikemas untuk wisatawan dengan maksud perjalanan wisata spiritual bersama dengan pura lainnya.

Pengaturan Zona Pura

Saat ini, RTRW Provinsi Bali hendak direvisi. Revisi dilakukan karena evaluasinya setidaknya dilakukan 5 tahun sekali. Berdasarkan rekomendasi evaluasi, maka kemungkinan untuk dilakukan revisi atau tidak bergantung atas tingkat simpangan yang terjadi atau kesenjangan antara rencana dengan kondisi saat ini yang menyebabkan target kemungkinan tidak terjadi. Contoh yang mudah adalah apabila terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan yang berpengaruh, maka revisi harus dilakukan untuk menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) RTRWP.

Adanya revisi terkait dengan perubahan terkait peraturan zonasi dalam RTRWP berupaya melindungi fungsi pura, sehingga gangguan dari aktivitas lainnya tidak terjadi.  Pengaturan dalam hal ini sebetulnya telah diwujudkan secara informal melalui kesepakatan bersama antara pemuka agama yang disebut dengan bhisama. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai hal ini, namun pengaturan telah memberikan input yang berharga dari aspek tata ruang lokal ke dalam substansi RTRWP.

Kenyataannya adalah tidak sepenuhnya kondisi di lapangan ideal. Pemanfaatan ruang di sekitar pura telah ada yang digunakan oleh masyarakat sebagai hunian. Sebagian lainnya disewakan sebagai restoran dan akomodasi. Jalan akses yang digunakan pun sama antara kedua aktivitas, berwisata dan beribadah (contoh Pura Silayukti dan Besakih).

Apabila dibebaskan sepenuhnya, kesiapan untuk melakukan relokasi perlu diwujudkan secara realistis. Beruntung bahwa pemanfaatan lahan belum semasif kekhawatiran publik, sehingga pilihan realokasi masih berkesan masuk akal. Meskipun demikian, antisipasi terhadap perkembangan ke depan perlu diwujudkan. Bisa saja, pengaturan zona manfaat pura diberlakukan untuk pembangunan pada masa mendatang. Kondisi yang terjadi saat ini dapat diabaikan karena skala penyimpangan yang masih dianggap kecil.

"Konflik" pemanfaatan ruang ini tidak hanya terjadi saat ini saja, tetapi telah berlangsung lama. Telah lama, publik dibuat bingung dengan pembangunan resort di dekat Pura Tanah Lot. Persoalan yang muncul saat ini harus digunakan untuk menyesaikan persoalan ini untuk seterusnya. Menutup mata atas potensi wisata atas keberadaan pura juga tidak tepat. Telah lama didengungkan "Bali, Pulau Seribu Pura", yang  juga disampaikan dengan kebanggaan dan ditawarkan dalam brosur paket wisata. Dengan demikian, konsensus antara dua pandangan yang ekstrem harus dihasilkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar