Jembatan Siti Nurbaya: Infrastruktur Pariwisata atau Transportasi?

Apa yang istimewa dari Jembatan Siti Nurbaya di Kota Padang, Sumatera Barat? Jembatan itu sendiri tidak memiliki asosiasi dengan cerita rakyat yang sudah sangat dikenal di Indonesia melalui buku maupun film televisi. Nama jembatan mengabadikan kembali cerita roman yang plot ceritanya menyerupai Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Jembatan ini mengantarkan para wisatawan yang hendak mengunjungi "makam" sang tokoh yang sangat dicintai di Gunung Padang oleh penggemar kisah roman itu.

Menariknya, jembatan ini telah menjadi landmark kota yang tidak akan dilewatkan para wisatawan pada umumnya. Bagi warga lokal, jembatan ini adalah tempat berkumpul dan berekreasi. Jembatan yang biasanya tidak selalu dibangun dengan menyediakan lajur pejalan kaki, terlihat berbeda pada jembatan ini. Pada siang hari, lajur ini dilewati tidak lebih dari dua orang pejalan kaki setiap menitnya. Suasana yang berbeda terjadi pada malam hari ketika para pengunjung berbaur dengan para penjual berbagai keperluan pengunjung, termasuk makanan, mengisi penuh lajur pejalan kaki. Lampu penerangan sepanjang jembatan memiliki tiang dan lampu yang unik yang dapat dibayangkan menambah pesona jempatan pada malam hari.

Jembatan ini tidak hanya sekedar penghubung dua bagian Kota Padang. Keberadaan jembatan ini jelas memperluas areal perkotaan sampai dengan Bukit Padang, sebagaimana terlihat dari munculnya rumah-rumah tinggal yang merambah sisi-sisi bukit Gunung Padang. Dan sebetulnya, peran wisata nampak lebih dominan dibandingkan dengan transportasi. Tidak nampak lalu lintas yang padat pada siang hari yang melalui jembatan. Pada bagian bawah jembatan adalah dermaga-dermaga yang digunakan perahu-perahu nelayan maupun wisatawan yang hendak menuju Pulau Mentawai. Jembatan ini telah menjadi bagian dari kota yang dikenal karena roman dengan kisah yang sangat diingat. Pemerintah daerah pun dengan cerdik menangkap peluang wisata atas keberadaan jembatan ini.

Peta Mental Anak: Apa yang Bisa Diperoleh?

Anak-anak bisa menjadi sangat peka terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Dengan secara rutin mengelilingi lingkungan rumahnya, ia mampu untuk menandai lokasi, mempelajari fitur-fitur fisik yang ada, dan memberikan makna atas kondisi lingkungannya.

Gambar ini dibuat oleh seorang anak perempuan berusia enam tahun. Ia mengambarkan dengan tepat jalan yang ada di sekitar rumah tinggalnya. Jalan yang melalui rumah digambarkan pada bagian bawah dengan jalan di sekitarnya yang membentuk pola grid. Ia dengan tepat memberikan informasi jumlah rumah dalam satu deretnya maupun posisi persis setiap rumah dengan yang lainnya. Luas area yang dicakup mencapai lebih dari 1 Ha yang benar-benar ia kuasai. Dengan semakin kurangnya kedetilan bagian gambar, maka area yang ia ingat secara mental pun semakin berkurang, sebagaimana diperlihatkan pada satu blok persegi yang mengindikasikan rumah pada gambar bagian kanan.

Selain deretan rumah, anak menandai lokasi-lokasi penting. Dalam peta ini kita dapati mesjid dan lapangan terbuka untuk bermain pada bagian kiri gambar. Padang rumput ditempatkan pada kanan atas. Rumah orang yang sangat dikenal diberikan teks untuk menandainya. Fitur-fitur fisik yang menjadi batas pengamatan adalah jalan pada sisi kanan gambar, serta blok rumah lain pada bagian bawah.  

Anak juga memberikan makna pada bagian gambar yang merupakan kombinasi antara imajinasi dan persepsi atas orang atau bagian lokasi. Seperti tulisan "musuh" (dalam gambar disebut "enemy") menyematkan suatu makna yang mungkin tidak akan kita pahami apabila tidak ditanyakan langsung pada si anak. Tempat bermain anak adalah di depan rumahnya sendiri dengan anak-anak bermain. Hal ini mungkin menunjukkan tempat bermain yang dianggap aman, meskipun berada pada jalan yang melalui depan rumahnya.

Tergolong sulit untuk menerjemahkan gambar anak yang merupakan hasil ingatan, persepsi, dan pencitraan ulang sebagai gambar yang akurat atau satu sumber informasi atas suatu lingkungan tempat tinggal. Namun, dengan mempelajari gambar tersebut, perencana kota dan arsitek mendapatkan informasi berharga atas unsur-unsur lingkungan yang perlu ditata kembali. Sebagai contoh jalan yang digunaaan untuk bermain, jalan lingkungan tersebut seyogyanya dapat ditata kembali melalui pengurangan kecepatan.

Dua Zaman, Satu Sejarah

Jalan pada Masa Kolonial Belanda (Sumber: http://phesolo.files.wordpress.com (akses: 31 Maret 2014)
Pos ini saya pernah tuliskan dalam blog yang lain. Namun rasanya tidak salah untuk menyampaikan kembali karena relevansinya dengan kondisi saat ini. Tidak banyak perubahan dalam kebijakan pembangunan jalan atau lebih tepatnya transportasi selama ini yang mendekatkan pada persepsi bahwa kebijakan tersebut merupakan warisan yang telah diikuti sejak zaman kolonial. Saya tuliskan setelah membaca buku Rudolf Mrazek (2002) dengan judul "Engineers of Happy Land". Buku ini membuka wawasan saya mengenai perkembangan awal teknologi jalan di Indonesia. Keberadaan teknologi yang diimpor dari luar jelas memerlukan lebih dari sekitar kemampuan teknis para insiyur untuk mengadopsi, melainkan pula memahami konteks kebutuhan masyarakat.  

Jalan pada Awal Pertumbuhan Kendaraan Bermotor
Pembangunan jalan raya untuk memenuhi kebutuhan pergerakan karena semakin besarnya skala aktivitas ekonomi setelah zaman Revolusi Industri, nampaknya tidak dapat dielakkan pada awal abad ke-20. Tidak hanya di Eropa, melainkan juga di negara - negara yang teermasuk jajahannya, Hindia Belanda. Pembangunan jalan raya bersaingan dengan rel kereta api, yang pada saat itu sangat dibutuhkan untuk membawa komoditas yang sangat dibutuhkan dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan. Perkembangan teknologi otomotif menjadi pemicu pertumbuhan pembangunan jalan raya. Awalnya, kendaraan  bermesin ini menjadi salah satu "pembeda" antara bangsa Eropa yang mencerminkan kemajuan peradabannya, sementara pribumi menggunakan kereta yang ditarik dengan tenaga hewan yang menampilkan peradaban yang lebih terkebelakang.

Pada tahun 1939, terdapat 51.615 mobil di Hindia belanda. Sebagian besar berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Sebagian besar dimiliki oleh orang Eropa. Dengan demikian, jalan beraspal pun menjadi kebutuhan yang mendesak, disamping popularitas kereta api sebagai angkutan utama yang kian menurun. Penurunan popularitas tersebut terutama disebabkan oleh citra kereta api yang dianggap kian kurang mewakili kaum kolonial, serta disibukkannya pemerintah Hindia Belanda dengan pemberontakan terkait dengan asosiasi buruh kereta api.

Dinamika transportasi di Nusantara ini dimulai dan menunjukkan persoalan yang serius dari sisi kecelakaan lalu lintas. Pawa awal tahun 1928 dilaporkan terjadi sekitar 524 jumlah kecelakaan, dengan 24% disebabkan oleh mobil dan 17% oleh motor. Pengemudi yang terlibat dalam kecekaan sebagian besar adalah pribumi mencapai 83%. Statistik ini juga menunjukkan keterkaitan antara pemanfaatan jalan oleh pribumi yang sangat pesat, meskipun dengan teknologi transportasi yang masih sederhana.

Dengan dibangunnya jalan - jalan sampai dengan  pelosok, mengikuti jalan pembangunan jalan awal, seperti Jalan Pos Daendels, memperkuat dominasi asosiasi yang terkait dengan kendaraan bermotor. Kemunculan berawal pada Tahun 1913, dengan nama Magneet. Perkumpulan inilah yang menyampaikan kehidupan di jalan - jalan modern dan permasalahan yang terkait dengan rawannya jalan yang sudah dibangun oleh kecelakaan.

Salah satu penelitian mengenai kondisi jalan , dilakukan oleh Tillema, seorang anggota Dewan Kota di Semarang pada awal abad ke-20, menyampaikan berbagai kondisi jalan di Jawa saat itu. Ia mendeksripsikan jalan dalam berbagai sisi: kebersihan kota, kebutuhan pemeliharaan, dan teknologi pembangunan jalan. Tillema beranggapan jalan sebagai salah satu sumber penyakit yang memerlukan perhatian serius. Pada saat itu, jalan menjadi tempat membuang kotoran hewan penggerak kereta, delman, gerobak, maupun kotoran manusia. Dengan kondisi iklim tropis, kotoran tersebut menjadi debu yang mudah berpindah ke rumah - rumah di sepanjang jalan melalui udara.

Pemeliharaan jalan medapat perhatian yang besar. Usulannya, agar jalan yang kotor tersebut dilakukan penyemprotan, sehingga terbebas dari residu maupun debu. Alasan utamanya, jelas menjaga kesehatan lingkungan warga, bukan dalam konteks menjaga aset jalan agar dapat digunakan dalam jangka panjang. Tillema juga mengamati persoalan yang dihadapi dengan pemeliharaan yang demikian, tidak serta merta membebaskan mereka dari masalah. Tillema mengkritik material yang digunakan di Hindia Belanda untuk jalan yang pada umumnya berpori yang mudah disusupi air dan menghancurkan material tersebut dan bercampur dengan lumput. Gagasannya adalah jalan yang dilapisi papan kaku yang sudah banyak dimanfaatkan di Prancis kala itu.

Sebuah Cerita Moral
Masyarakat Hindia Belanda saat itu masih menggunakan teknologi perangkutan yang sangat sederhana. Dengan teknologi yang demikian, jalan yang dibuat hampir tidak memberikan dampak yang signifikan, kecuali pada tahap belakangan, dimana penguasaan pemanfaatan kendaraan bermotor oleh kaum pribumi mulai meningkat seiring dengan kebutuhan perdagangan. 

Kecelakaan yang terjadi pada masa tersebut, memang lebih banyak melibatkan pribumi dengan perbandingan hampir 1: 3 . Padahal, kendaraan bermotor sebagian besar adalah milik kaum Eropa. Pemanfaatan jalan tidak sebanding dengan berbagai komposisi antarmoda. Jalan yang dibangun untuk kendaraan cepat, juga digunakan untuk kendaraan lamban, sehingga konflik yang akibatkan perbedaan kecepatan menjadi persoalan. Selain itu, jalan membelah komunitas, sehingga tidak aman bagi penyeberang jalan yang sebagian besar adalah pribumi.

Kebutuhan"teknologi berkecepatan rendah" dan tuntutan atas "kapasitas yang besar" dalam kaitannya dengan fasilitasi aktivitas perdangangan oleh pribumi, jalan pada masa kolonial menunjukkan kesenjangan kebutuhan antarmasyarakat yang sangat lebar, terutama antara kaum Eropa dan kaum pribumi. Kaum Eropa lebih menggunakan jalanan untuk aktivitas leisure atau bersenang - senang, serta mengunjungi kerabat dan rekan kerja. Ketidaksiapan masyarakat sekitar untuk memahami jalan sebagai perkembangan yang tidak dapat dielakkan sebagai imbas perkembangan teknologi berujung kepada bahaya kecelakaan yang justru banyak menimpa golongan ini.

Situasi tersebut memberikan kita ilustrasi dan pertanyaan: benarkah jalan yang dibangun para perencana dan insiyur kita sudah memahami kondisi kemasyarakat saat ini? Ada beberapa contoh yang relevan, jalan di perkotaan yang tidak menyediakan fasilitas pejalan kaki, atau fasilitas pejalan kaki yang dibuat secara asal sehingga pejalan memanfaatkan badan jalan yang berbahaya bagi keselamatan. Contoh lainnya, pembangunan jalan tol dalam kota menunjukkan karakter ilegaliter yang semakin kuat. Jalan hanya ditujukan bagi "pergerakan" per se, bukan ruang yang memberikan pilihan untuk interaksi warga kota serta "mensubsidi" daya ekonomi sebagian besar masyarakat kota yang semestinya dapat diwadahi melalui wadah pergerakan masal, berupa Mass Rapid Transit (MRT) atau prioritisasi kendaraan angkut penumpang berkapasitas besar.


Saya dapat menyimpulkan, pemahaman moral sangat relevan bagi insiyur yang senantiasa bergelut dengan kalkulasi teknis, dalam menyelami: untuk siapa dia membangun jalan atau transportasi dan bagaimana seharusnya dibangun? Dengan demikian, kesalahan yang dilakukan pada masa kolonial tidak lagi terulang sampai saat ini. 


Investasi Pembangunan yang Terlupakan!

Peraih Nobel Profesor James Heckman dalam sepanjang karirnya meneliti mengenai peran investasi pada modal manusia menghasilkan kesimpulan bahwa investasi yang besar pada tahap awal perkembangan manusia (prasekolah) sangatlah penting. Investasi ini tidak hanya meliputi pendidikan formal, melainkan pula terhadap kesehatan anak dan lingkungannya. Studi oleh Prof. Heckman menghasilkan sebuah grafik yang memperlihatkan investasi pada anak-anak usia dini (pre-school) akan mendorong pengembalian investasi (rate of return) yang jauh lebih besar. Ketika investasi dilakukan pada usia setelahnya, pengembalian atas investasi tersebut justru semakin mengecil. Opportunity cost (Biaya kesempatan) apabila dibandingkan dengan tingkat pengembangan investasi pada program anak prasekolah pun jauh lebih besar, sehingga memberikan dukungan agar pemerintah menjalankan investasi secara serius pada tahap ini. Program investasi terhadap kelompok usia sekolah dan paskasekolah, menurut grafik, jelas tergolong terlambat.

Tingkat Pengembalian Investasi pada Modal Manusia (Sumber: diadaptasi darhttp://heckmanequation.org/content/resource/presenting-heckman-equation, akses: 16 Maret 2014; Sachs, 2014)


















Temuan oleh Prof. Heckman diamini dalam Perry Preschool Program di Amerika Serikat. Sebuah studi yang dilakukan dalam rangka menghitung keuntungan sosial dari program tersebut menunjukkan, fokus pada program akan mampu meningkatkan penghasilan para anak ketika telah bekerja menjadi USD 40,537 per tahun (dalam nilai present value). Program juga diestimasikan mampu menurunkan biaya kriminalitas yang dihitung dari biaya pengadilan dan pengurusan dampak sebesar  USD 94.065. Secara keseluruhan, Benefit-Cost Ratio (BCR) atau rasio keuntungan terhadap biaya mencapai 8,74 yang memperlihatkan keuntungan sosial yang mencapai 800 persen kali lipatnya dibandingkan atas biaya yang dikeluarkan. Seluruh perhitungan dibuat bagi individu.

Keuntungan dan Biaya Sosial dari Program Perry Preschool (Sumber: Jeffrey D. Sachs (2014) Chp. 8, The Age of Sustainable Development)



















Sejumlah penelitian terkait kesehatan anak, psikologi, dan pengaruh lingkungan terhadap kondisi mental memperlihatkan anak usia dini sangat rentan terganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Sampai dengan usia 0-6 tahun merupakan tahap krusial anak-anak mengembangkan kemampuan kognitif dan sosial. Dalam membantu perkembangan kognitif, anak-anak yang memiliki nutrisi yang cukup akan mampu mengembangkan olah mental lebih baik, sehingga lebih mampu menangkap stimulus dari lingkungannya. Memberikan pembelajaran dengan cara yang tepat menjadi lebih mudah dan membantu dalam penguasaan simbol (bahasa dan angka) dan logika sederhana lebih awal. Lingkungan fisik yang baik juga turut membantu dalam perkembangan kognitif yang terkait dengan kecerdasan spatial, visual, maupun daya ingat. Hal tersebut juga menurunkan tingkat tekanan dari lingkungan yang akan menganggu pengembangan dan operasionalisasinya. Tekanan mental (stress) yang besar hingga anak tidak mampu untuk menghadapinya jelas berpengaruh bagi pengembangan intelektual dan menganggu kesehatan. Dengan demikian investasi tidak hanya diarahkan pada pendidikan melainkan pada pula perbaikan kondisi lingkungan anak, baik sosial maupun fisik.

Sayang sekali, investasi pada anak usia dini masih belum menjadi perhatian pengambil keputusan, pengembang kebijakan, dan para pemimpin. Sebagai contoh sederhana, perbandingan anggaran publik yang dialokasikan untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan subsidi untuk susu yang merupakan nutrisi penting bagi perkembangan jasmani (terutama otak) anak-anak menunjukkan ketimpangan dalam investasi manusia. Begitu juga dengan komposisi alokasi anggaran pendidikan usia dini yang rendah dibandingkan dengan pendidikan sekolah. Karena dianggap "tindak begitu penting" pendidikan pada usia tersebut diserahkan kepada pihak swasta yang mengelolanya sebagai bisnis dan justru kian melebarkan kesenjangan akses antar anak dari golongan pendapatan yang berbeda.  

Perhatian terhadap lingkungan fisik yang menujang perkembangan anak juga belum menjadi perhatian bersama. Terjadinya segregasi taman kanak-kanak dan variasi kualitasnya yang lebar menyebabkan sebagian anak harus berada pada lingkungan sekolah yang jauh dari tempat tinggal. Tidak jarang anak-anak ini menempuh kemacetan ketika mencapai tempat dimana isa bersekolah. Walaupun berdekatan dengan rumah tinggal, infrastruktur jalan yang tidak dilengkapi jalur pejalan kaki yang menjamin keselamatan dan keamanan selama menuju sekolah maupun kembali ke rumah. Lingkungan tempat tinggal yang tidak menyediakan tempat bermain maupun taman bermain secara memadai dalam jumlah dan kualitasnya tidak mendorong stimulus kognitif dan jasmani yang dibutuhkan. Dengan demikian, investasi tidak terbatas pada kesempatan akses dan kualitas pendidikan anak, melainkan juga penataan lingkungan tinggal. Dua hal ini masih belum menjadi mainstream dalam program pembangunan kita.

Bahasa dan Pembangunan Ekonomi: Adakah Hubungan Keduanya?

Peta kelompok etno-liguistik (Ethno - Linguistic Groups Map) merpresentasikan perbedaan etnis negara-negara di dunia. Peta ini juga mengindikasikan perbedaan bahasa yang digunakan oleh tiap etnis. Tiap tipe bahasa tertentu dicirikan oleh warna yang berbeda dari yang lainnya. Semakin beragamnya warna yang terdapat dalam sebuah wilayah, maka perbedaan bahasa dan etnis semakin besar. Fenomena ini disebut sebagai ethno-liquistic fractionalization. Sebagai contoh, Afrika Tropis cenderung memiliki keragaman etnis dan juga bahasa yang digunakan.

Peta Kelompok Etno-Linguistik (sumber: Jeffrey D. Sach, 2014; Chp 7: Social Inclusion, The Age of Sustainable Developmentt) 


Sebuah tesis dalam bidang pengembangan ekonomi mengemukakan mengenai pengaruh perbedaan ini terhadap kesenjangan ekonomi pada tiap kelompok etnis.  Hal ini disebabkan kecenderungan salah satu kelompok etnis yang mendominasi secara politik dan ekonomi. Sebagai upaya menggambarkan fenomena, hal ini tidak salah. Dengan memeriksa silang peta dengan data dari Bank Dunia, kesenjangan ditunjukkan oleh negara-negara dengan perbedaan etnis-bahasa yang tergolong tinggi.

Indonesia adalah negara dengan sejumlah etnis. Sensus Penduduk 2010 mengidentifikasi adanya 1.340 suku bangsa ( (BPS, 2010))Sebagian etnis memiliki bahasanya sendiri. Patut diakui para pendiri negara ini memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap kondisi bangsa yang multietnis dan konsekuensi yang dihasilkan. Melalui Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia dideklarasikan sebagai bahasa nasional dan negara yang akan berdiri saat itu. Kesepakatan para pemuda ini memberikan ruang persamaan kesempatan, baik politik, ekonomi, dan hak-hak budaya antara kelompok etnis. Sebagai negara yang besar, Indonesia tidak dapat dikelola oleh satu atau dua etnis yang mendominasi dalam segala hal. Dengan demikian, perpecahan dalam kelompok -kelompok maupun kesenjangan dalam ekonomi dapat dikelola dengan lebih baik. Tidak seperti beberapa negara di Asia Selatan dan Afrika Tropis yang dilanda kemiskinan ekstrim pada kelompok-kelompok tertentu.

Distribusi Pendapatan yang Dimiliki oleh 20% Kelompok Atas (sumber: http://data.worldbank.org/indicator/SI.DST.05TH.20/countries/1W?display=map)


Patut disadari bahwa bahasa yang satu adalah satu kunci dari pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih berkeadilan. Bahasa mempengaruhi peran dan hak warga negara, sehingga dapat diartikulasikan sama dalam hukum dan instrumen kebijakan lainnya.

 

Bersiap Menata Ruang Pesisir Labuan Bajo

Labuan Bajo dikenal sebagai lokasi transit sebelum menuju Pulau Komodo maupun Pulau Rinca. Lokasinya yang tergolong strategis tersebut mendorong pembangunan infrastruktur yang semakin ekstensif. Saat ini perluasan bandara tengah dilakukan untuk mengantisipasi kunjungan wisatawan yang kian bertambah. Pembangunan jalan akses menuju bandara maupun objek daya tarik wisata juga tengah dilaksanakan. Kini, sepanjang pesisir telah berdiri hotel, homestay, dan akomodasi wisata. Begitu juga restoran dan ritel kecil yang memenuhi kebutuhan baik penduduk lokal maupun wisatawan.

Menyempatkan diri berbicara dengan pengemudi ojeg yang juga warga lokal, sebagian lahan yang berada pada koridor jalan di pesisir telah dikuasi oleh orang nonlokal. Beberapa diantaranya berasal dari Jawa, Bali, maupun NTB. Melalui perantaraan orang lokal, warga negara asing pun dapat memiliki lahan. Tidak mengherankan, terdapat wisatawan yang tujuan utamanya adalah mencari peluang investasi melalui pembangunan akomodasi dan sarana pariwisata lainnya. Kunjungan wisatawan jenis ini lebih lama dari yang biasa karena memerlukan observasi yang dibantu oleh orang lokal atau menilai penawaran.

Menikmati alam pesisir Labuan Bajo merupakan pengalaman yang tidak ada duanya. Kondisi alam yang masih asri dan intensitas pembangunan yang masih rendah sangat ideal dikunjungi bagi wisatawan yang ingin menyepi sejenak dari kehidupan perkotaan. Tidak seperti lokasi wisata pantai di Bali maupun Nusa Tenggara Barat (NTB) yang hampir telah mengkota, Labuan Bajo menawarkan daya tarik perdesaan yang lebih kentara. Potensi wisata juga tidak terbatas hanya penikmatan alam pantai, tetapi juga keragaman dan corak budaya lokal yang unik.

Dengan semakin tingginya minat wisata ke kawasan yang merupakan bagian dari KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional), ke depan akan semakin meningkatkan minat investasi. Pengaturan terhadap tata ruang dan pengelolaan lingkungan kawasan harus mendahului pembangunan dan investasi oleh sektor swasta. Apabila hal ini tidak diantisipasi, maka kejenuhan pembangunan akan meningkat yang justru menurunkan daya tarik kawasan. Saat ini sejumlah pantai telah "dimiliki" oleh para pengembang akomodasi yang menutup akses kepada warga lokal. Dengan demikian, tidak terjadi persoalan sosial dan lingkungan yang sama yang telah dialami oleh destinasi wisata lainnya.

Pemandangan sepanjang pesisir ke arah pelabuhan Labuan Bajo 

Pemandangan pada salah satu hotel yang memanfaatkan keindahan pantai Labuan Bajo







Pelabuhan Labuan Bajo dan Transformasi Sebuah Kota Nelayan

Perjalanan menuju Labuan Bajo, di ujung Barat Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur (NTT), melalui perjalanan udara nampaknya bukan sesuai yang sulit saat ini. Setidaknya ada 2 kali penerbangan yang dilayani oleh Garuda Indonesia dengan kapasitas 70 kursi dari Denpasar. Rute ini termasuk baru, meskipun lebih awal telah dirintis oleh maskapai penerbangan BUMN lain. Terdapat pula penerbangan lainnya yang dilayani dengan pesawat berkapasitas rendah dari berbagai kota di pulau-pula sekitarnya. Laboan Bajo juga menjadi lokasi transit penerbangan menuju ke arah timur Indonesia, seperti Ende, Maumere, maupun Tambolaka.

Pilihan menggunakan pesawat terbang bukanlah satu-satunya. Moda transportasi lainnya yang tersedia adalah kapal laut yang tepat berlabuh di Labuan Bajo. Bergantung dari kondisi cuaca, perjalanan dengan moda laut juga salah satu pilihan yang layak dipertimbangkan oleh wisatawan dengan masih tingginya biaya perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang. Pelabuhan ini juga menjadi tempat wisatawan menambatkan perahunya menunggu waktu melaut. Untuk mengunjungi pulau-pulau yang menjadi daya tarik snorkelling dan menyelam (diving), serta komodo di Pulau Komodo dan Pulau Rinca dapat dengan menyewa perahu wisata yang tersedia.

Sampai saat ini, Pelabuhan Labuan Bajo melayani lalu lintas antarpulau melalui pelayaran ferry. Pulau-pulau yang dihubungkan antara lain Sumbawa, Bali, dan Sulawesi. Pelayaran berlangsung antara seminggu sekali maupun dua minggu sekali. Pelabuhan berdekatan dengan pasar yang memang menjual kebutuhan sehari-hari dan termasuk ikan tangkapan para nelayan. Pada malam hari pelabuhan diubah menjadi lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjual makanan dari sejenis sea food, goreng ayam, maupun aneka masakan lain. Keluar dari kompleks pelabuhan menuju pusat perkantoran melalui Jalan Soekarno Hatta, pengunjung melalui deretan toko, restoran, bank, dan penginapan kecil yang disediakan bagi backpackers.

Pada September 2013, Laboan Bajo menjadi lokasi penyelenggaraan Sail Komodo, melengkapi predikat sebagai Keajaiban Alam Dunia dari New7Wonder pada tahun 2012. SebelumnyaUnited Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengakui Pulau Komodo sebagai warisan alam dunianatural world heritage, pada 19 Desember 1991. Dari kota nelayan, Labuan Bajo telah menjadi pusat wisata. Harga lahan di sekitar kota pun telah meningkat pesat. Sejumlah investor mulai melirik potensi wisata di daerah tersebut dengan membangun fasilitas akomodasi dan usaha jasa pariwisata. Lahan sepanjang pesisir sejajar dengan pelabuhan telah beralih tangan kepada orang luar termasuk diantaranya wisatawan asing. Akses menuju pantai yang indah pun terhalangi oleh deretan beberapa hotel yang baru-baru saja dibangun. Proses transformasi ini nampaknya luput dari perhatian.

Perahu nelayan yang tengah ditambatkan 
Suasana pelabuhan pada saat matahari terbenam






Pesisir Utara Bali yang Agak Terlupakan

Dalam kesempatan yang sangat langka, saya dapat kembali berpergian ke wilayah pesisir di Bali utara. Sebelumnya, saya melakukannya dengan teman-teman dari University of Florida pada pertengahan Tahun 2008, yang kebetulan saat itu, ingin berwisata di Bali setelah usai dengan proyek studi mereka. Apabila sebelumnya saya mengunjungi Desa Pemuteran yang terletak di barat laut dan sekitar 120 km dari Denpasar, kali ini saya berpeluangan untuk menyambangi satu lokasi pantai di Kecamatan Seririt.

Saat itu, saya sempat mencatatkan impresi pertama saya saat bertandang ke Desa Pemuteran. Saya sampaikan sebuah dugaan kepada mentor saya saat itu bahwa perkembangan kota-kota di pesisir Bali utara akan menyerupai untaian kota-kota kecil karena munculnya aktivitas wisata. Hal tersebut terjadi karena investasi pembangunan fasilitas pariwisata yang dilakukan, baik yang berasal dari domestik maupun asing, mampu mendorong tumbuhnya kawasan perkotaan. Fasilitas pariwisata ini adalah sejumlah resort di pinggir pantai yang menyediakan seluruh keperluan wisatawan secara mandiri. Di dalamnya terdapat paket tour, transportasi, dan kenyamanan (amenities) bagi wisatawan. Dalam pengamatan saya saat itu, sedikit adanya kaitan (linkage) aktivitas dengan lingkungan komunitas sekitar. Ritel mulai tumbuh, setidaknya menyediakan makanan dan keperluan harian yang terjangkau bagi wisatawan maupun pekerja wisata. Selebihnya, di luar resort adalah kantong-kantong permukiman nelayan, petani, dan peternak yang umumnya secara ekonomi masih tertinggal. Penyewaan sepeda motor oleh orang lokal adalah sebagian dari kaitan ke belakang (backward linkage) dari penikmatan atraksi wisata alam pantai.

Perjalanan saya saat ini nampaknya lebih realistis menanggapi kemungkinan yang berlangsung. Keindahan pantai di pesisir utara selama ini adalah kekayaan alam yang jarang diketahui. Barangkali hanya Lovina yang sudah banyak dikenal. Dengan pesatnya perkembangan investasi dan pembangunan pariwisata di Bali selatan, pesisir utara pun agak kurang tergarap. Alhasil, tidak banyak hasil yang dapat dipetik dari pariwisata. Tidak juga dengan menjamurnya resort wisata yang tumbuh di sepanjang pesisir. Umumnya, sedikit sekali dampak ikutan yang dibangkitkan dari keberadaan resort ini. Dan kekuatan untuk membangkitkan tumbuhnya kota-kota di pesisir tersebut sangatlah kecil.

Ketika saya mengunjungi pantai di Seririt kali ini, dapat saya amati kehidupan nelayan jauh dari perkembangan pariwisata di daerah tersebut. Mekipun telah muncul resort wisata di daerahnya, aktivitas sekitarnya sama sekali tidak terkait dengan pariwisata. Sebagian warga lokal tetap mempertahankan lahan untuk sumber daya produksi padi sawah dan kebun sebagai sumber penghasilan. Selain karena warisan orang tua, bertani adalah keterampilan dan pengetahuan yang dimililiki karena pendidikan yang terbatas.

Patut saya akui, potensi wisata di pesisir utara Bali sangatlah besar. Alamnya yang indah dan masih asri, serta kekayaan bawah lautnya juga menjanjikan. Hanya saja, pengelolaannya masih belum memiliki pijakan yang kuat untuk menjadikan seluruh kekayaan itu sebagai sumber kesejahteraan semua orang, bahkan menumbuhkan kawasan perkotaan, atau dalam istilah Prof. Soegiono Soetomo  yang pernah saya ajak diskusi pada akhir 2013 sebagai rurbanisasi.

Sabuk Hijau di Pesisir antara Sanur sampai Nusa Dua

Tiga kali dalam sebulan ini saya bepergian Bandung - Bali dan tiap waktu bersiap untuk mendarat di Bandara International Ngurah Rai, saya menyadari telah dibuat kagum dengan pemandangan sabuk hijau karena hamparan tanaman bakau. Delapan belas tahun yang lampau, bersama siswa-siswa dari sekolah lainnya saya ikut menanami salah satu bagian dari hutan bakau tersebut, sehingga kebanggaan semakin terasa.

Ditengah pesatnya pembangunan infrastruktur antara Sanur sampai Nusa Dua selama masa ini, masih bertahan hutan bakau sebagai RTH yang melindungi kelestarian ekologi pesisir selatan Bali. Fungsi ekologi pun beragam, seperti menjadi 'benteng' yang memperlambat terjadinya abrasi pantai, melindungi habitat pesisir dengan satwanya yang unik, mencegah instrusi air laut, dan menyerap polutan karbon yang bersumber dari transportasi dan aktivitas industri di sekitarnya. Salah satu fungsi yang juga tidak dapat dikesampingkan bagi wilayah yang berbatasan Samudera Hindia adalah melindungi permukiman di pesisir dari resiko kerusakan akibat bencana tsunami. Bakau berpotensi meredam terjangan gelombang tsunami sebagaimana digunakan di wilayah pesisir di Jepang.

Meliput pada area yang cukup luas, mencapai lebih 1.300 Ha hutan bakau tersebut menjadi kontributor RTH publik bagi Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Dengan target luasan RTH publik sebesar minimal 20%, nampaknya kedua daerah tersebut tidak akan kesulitan untuk mencapainya dalam jangka waktu rencana tata ruangnya Karena keberadaan hutan bakau tersebut.

Ketika hendak dibangun Jalan Tol Bali Mandara, ada kekhawatiran untaian pohon bakau sepanjang koridor tersebut dalam ancaman. Dalam kenyataannya, hanya sebagian kecil yang terpangkas karena pembangunan, terutama di pintu - pintu gerbang dan jalan pendekat. Kekhawatiran masih tetap timbul karena koridor sepanjang Sanur-Nusa Dua sangat baik dari aspek aksesibilitas. Dengan demikian, keinginan untuk alih fungsi sangat kuat. Dengan berada pada koridor yang menjadi tulang punggung ekonomi wilayah, keberadaan hutan bakau tersebut mengendalikan aktivitas yang membangkitkan pergerakan yang mengganggu fungsi Jalan By Pass Ngurah Rai sebagai arteri primer yang menghubungkan kota-kota di bagian Timur dan selatan Pulau.

Hutan bakau ini telah melindungi sebagian wilayah pesisir Bali dari kerusakan ekologis yang ditimbulkan oleh alam maupun manusia. Bahkan, ia  berpotensi sebagai daya tarik wisata dan diberikan sebutan Taman Hutan Raya Ngurah Rai. Hanya saja, proses menjadikannya tidak muncul secara tiba-tiba melainkan melalui penanaman kesadaran, aksi nyata, serta pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara konsekuen. Dengan demikian, tiap pengunjung Pulau Bali dapat menikmati salah satu kekayaan ekologis pulau ini.


Transformasi Kota Sawahlunto yang Berbalut Optimisme

Pada awal tahun lalu, seorang guru yang saya hormati saat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi menghubungi mengenai rencana pengusulan Kota Sawahlunto untuk memperoleh penghargaan Lee Kuan Yeuw (LKY) World City Prize. Saat itu, saya diminta peran serta dengan mengirimkan artikel jurnal yang pernah saya tulis untuk diatribusikan. Saya melakukan korespondensi dengan seorang pegawai pemerintahan di kota tersebut. Ingatan saya pun melayang pada pengalaman hampir 5 tahun yang lampau ketika mengunjungi kota tersebut pertama kali dan ada keyakinan bahwa kota ini akan bertahan dalam perkembangan kekiniannya.

Kota yang mengalami surutnya perekonomian kota paska kejayaan pertambangan batubara meninggalkan kekayaan arsitektural dan struktur ruang kota yang unik. Kota Sawahlunto digunakan sebagai pusat pengumpulan dan hub transportasi batubara ke daerah lain di Indonesia. Sebagian bangunan masa kolonial masih berdiri dan dimanfaatkan sebagaimana fungsi awalnya, contoh Hotel Ombilin. Sebagian lainnya difungsikan sebagai museum bersama fungsi lainnya, contoh gedung Dinas Pariwisata Kota. Jalan-jalan dibangun menghubungkan guna lahan yang mempertimbangkan pemisahan permukiman Eropa, pribumi, dan pendatang Asia (terutama etnis Cina).

Terowongan yang terbentuk dari penggalian batubara dijadikan daya tarik wisata. Sejumlah cerita sedih para penambang yang bekerja dalam kondisi memprihatikan disampaikan petugas di areal tersebut dan dibuatkan monumen. Terowongan tambang sudah tidak digunakan lagi Karena deposit yang telah habis. Monumen dibangun mengingatkan kondisi penambang saat dikelola oleh seorang mandor bernama Mbah Soero. Apabila aktivitas pertambangan sudah tidak ada lagi di sekitar pusat kota, namun pertambangan terbuka masih berlangsung di pinggirannya dalam jumlah kecil. Bangunan silo yang menjulang tinggi membekas dalam ingatan dan mematrikan akan kekhasan kota ini sebagai kota tambang yang berjaya pada masanya. Aktivitas pertambangan yang terbatas dan transformasi menjadi kota wisata menjadikan kota ini tetap bertahan secara ekonomi.

Selain itu, kondisi demografis yang meningkat tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang mengimbanginya. Saat itu pun saya dengan berani menggunakan istilah involusi, dimana kekurangmampuan untuk tubuh secara ekonomi disertai oleh kompleksitas sosial masyarakat, termasuk munculnya sektor informal kota (termasuk pertambangan skala kecil). Istilah ini saya pinjam dari Terry McGee (1967). Namun, optimisme selalu nampak pada masyarakat dan pegawai pemerintahnya. Dan nyatanya, pariwisata bisa menjadi industri yang menopang kehidupan warganya.

Singkat kata, setahun berselang saya pun mencoba mencari informasi mengenai hasil perolehan LKY Award. Pos pada bulan April 2013 menyebutkan kota ini adalah salah satu nominator penghargaan yang sebetulnya sudah sangat membanggakan karena harus bersaing dengan kota-kota lain di dunia yang juga berkesempatan sama (lihat pada tautan berikut: http://www.sawahluntokota.go.id/berita/press-release/440-sawahlunto-masuk-nominasi-lee-kuan-yeuw-world-city-prize-2014.html ). Kota Bilbao (Spanyol) dan Kota New York (Amerika Serikat) memperoleh penghargaan ini pada Tahun 2010 dan 2012. Dengan ini saya yakin, kota ini masih menyimpan potensi yang dapat 'digali' untuk membangunkan kembali kejayaannya.

Foto menyusul :)

Sawah, Alih Guna Lahan, dan Kearifan Lokal

Melihat bentangan sawah dalam perjalanan ke Seririt, Buleleng, membuat saya merenung pada lansekap sawah yang membentang luas sejauh pandang. Pemandangan ini tidak sering saya dapatkan. Bagi kebanyakan orang kota, beras dari lahan sawah ini adalah komoditas. Selama memiliki uang untuk membeli, beras dianggap selalu tersedia atau akan disediakan pemerintah. Apabila harga beras dianggap terlalu tinggi dan jumlahnya langka dengan berbagai sebab, umumnya solusi yang dipilih lebih bersifat jangka pendek, yaitu dengan menambah impor. Sebagai pemasok beras, kawasan perdesaan tidak diuntungkan dengan pandangan tersebut. Kebijakan umumnya akan diarahkan untuk mengendalikan harga, bukan melindungi produksi desa dan para petani. Sebagian solusi, termasuk mekanisme insentif (keringanan pajak, dll) melupakan kekayaan kearifan lokal yang kita punya.

Dengan kondisi beras sebagai bahan menu harian yang utama, masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap beras. Dengan produktivitas per satuan luasan lahan yang tidak berubah, kecenderungan tersebut tentu sangat mengkhawatirkan tidak hanya bagi orang kota dan orang desa.

Luas lahan sawah kita telah jauh menurun secara berkesinambungan dari tahun ke tahun. Lahan sawah yang beririgasi teknis, dialiri dengan air dari infrastruktur irigasi, pun tidak luput dari perubahan fungsi. Kehilangan sawah tipe ini menimbulkan investment loss yang tidak sedikit. Mencetak sawah baru dengan perubahan demografis dan kebutuhan pembangunan saat ini tentu sangat mahal, selain tidak praktis untuk dilakukan.

Dalam beberapa kebudayaan di Indonesia, beras dipandang dalam konteks 'kelimpahan' (ciri masyarakat agraris). Di sejumlah desa-desa di Bali, orang masih memberikan beras kepada mereka yang tengah menyiapkan ritual agama (bukan uang atau bingkisan sebagai kado). Di desa, beras juga ditukar dengan benda atau jasa lain (seperti balas jasa bagi yang membantu suatu pekerjaan) sebagaimana layaknya dalam ekonomi barter. Sejumlah material dalam ritual sangat bergantung terhadap ketersediaan beras. Dengan intensitas upacara yang relatif tinggi, beras bukan hanya sekedar komoditas, melainkan bagian dari unsur budaya (ritual, hubungan sosial, dan lain-lain). Perlindungan terhadap lahan sawah juga identik dengan penghormatan kepada Dewi Sri yang menyimbolkan kesuburan. Simbol ini yang dipertahankan dan diteruskan kepada generasi selanjutnya agar alih fungsi berlangsung dengan kehilangan makna atas fungsi lahan.

Berkurangnya luasan lahan berpengaruh terhadap produksi padi yang sangat berdampak bagi baik bagi masyarakat kota dan desa.  Kebijakan yang paling relevan saat ini adalah dengan mengendalikan alih fungsi lahan. Pengendalian tersebut dapat menerapkan pendekatan kultural, sehingga masyarakat bersedia mempertahankan lahan sawah produktifnya bukan karena proyeksi keuntungan ekonomi, melainkan social attachment (kelekatan sosial). Pengungkapan kembali dan aplikasi kearifan lokal (local wisdom) lebih mengena sebagi solusi konversi lahan sawah.

Pada sejumlah desa apanaga atau desa tradisional di Bali, pengendalian luas fungsi perumahan yang disebut dengan karang dilakukan. Karang tidak mudah berubah luasnya karena hanya diberikan kepada umumnya keturunan tertua laki-laki. Selebihnya, mengelola lahan terbatas yang ada yang disepakati oleh pemangku desa. Luas lahan sawah berfungsi sebagai penyangga atau RTH dan areal produktif. Memberikan peran pada lembaga lokal (disebut Desa Adat) untuk mengelola pola ruang lokal dapat menjadi salah satu solusi mengendalikan konversi lahan ini khususnya pada desa-desa di Bali.

Mengklaim Kembali Hak atas Ruang Publik: Lapangan Gasibu sebagai Model

Pagi pada hari pertama di Tahun 2014 saya sempatkan untuk mendatangi Lapangan Gasibu, ruang terbuka publik yang menjadi landmark Kota Bandung. Dugaan saya, pengunjung akan lebih sepi karena sebagian warga maupun wisatawan tengah beristirahat seusai merayakan pergantian tahun. Ternyata, tidak demikian keadaannya. Pengunjung tetap ramai dengan aktivitas yang ragam, antara lain: joging, rekreasi, bersantap pagi, maupun bertemu teman dan kolega. Dan di luar dugaan pula, kondisi lapangan relatif bersih dari sampah, meskipun menjadi salaj satu lokasi yang ramai dalam perayaan Tahun Baru. Melihat kondisi Lapangan Gasibu saat ini, tahun ini pun saya optimistis sebagai warga kota untuk mendapatkan kembali hak atas ruang bersama (publik).

Sebagai ruang terbuka publik, Lapangan Gasibu tergolong populer baik bagi warga lokal maupun wisatawan. Di seberang lapangan adalah Gedung Sate yang menjadi kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Sekitarnya lapangan adalah dua taman kota, yaitu Taman Surapati (utara) dan Taman Lansia (selatan), dari letaknya tersebut sehingga sangat ideal untuk aktivitas rekreasi. Bersama dengan Gedung Sate, Taman Surapati, dan Monumen Pancasila, Lapangan Gasibu membentuk aksis utara-selatan Kota Bandung.

Terakhir mengunjungi lapangan ini dua tahun yang lalu dan menyempatkan untuk mengambil gambar sekitar pada malam hari (lihat Pos pada September 2013). Terasa telah banyak perubahan yang dilakukan oleh pemerintah kota. Tidak ada lagi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di trotoar . PKL dikonsentrasikan di jalan yang bersebelahan dengan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat. Lintasan joging dengan dasar tanah berada dalam kondisi baik, meskipun hujan gerimis sempat membasahi Kota Bandung kemarin.

Di beberapa titik di sekitaran lintasan terdapat kebun bunga yang kala itu penuh dengan bunga yang tengah mekar. Sekelompok lebah beterbangan mengambil sari bunga, sebuah pemandangan yang mengesankan buat anak-anak.

Mengelilingi lintasan joging terdapat sejumlah bangku panjang. Sebagian pengunjung memanfaatkannya untuk duduk dan bercakap-cakap. Tangga naik menuju ke muka Jalan Surapati juga dapat digunakan untuk duduk dan trotoar pada bagian ini juga telah terbebas dari PKL. Untuk yang berkunjung dengan menggunakan sepeda, tersedia tempat parkir sepeda yang disediakan khusus. Parkir kendaraan berada di luar areal lapangan, sehingga parkir di dalam areal ini hanya diperuntukkan bagi sepeda. Penempatan yang demikian cukup mengurangi gangguan karena kebisingan dan emisi kendaraan.

Saya yakin, dengan visi kepemimpinan kota saat ini, warga akan mendapatkan kembali haknya atas ruang publik di kotanya sendiri. Lapangan Gasibu dapat menjadi model klaim ulang warga atas haknya melalui penataan ulang kawasan. dengan menempatkan pengalaman warga (people experience) sebagai sentral dari seluruh aktivitas perbaikan. Tidak ada lagi  dominasi sebagian pihak yang menentukan pemanfataannya, seperti perusahaan rokok, PKL, atau pemerintah kota sendiri...

Ragam aktivitas bagi warga kota dan wisatawan

Gedung Sate

Lintasan joging




















Step up menuju Jalan Surapati


















Bangku di pinggir lintasan joging

Tempat parkir sepeda