The Beauty Has Torn: Satu Koleksi Swedish National Museum

The Beauty Has Torn adalah salah satu karya seni yang dipajang di Swedish National Museum di Kota Stockholm.  Karya ini merupakan hasil seni instalasi yang saya lupa mencatat pembuatnya. Di antara karya-karya seni lain yang menjadi koleksi museum ini, karya ini merupakan salah satu favorit saya.

The Beauty Has Torn menarik karena desain dan bahan yang digunakan. Karya seni ini mewujudkan gaun wanita dalam ukuran ramping dengan desain pakaian dibuat serealistik mungkin berupa baju terusan. Tidak ada corak warna dan ornamen. Apabila pakaian biasanya terbuat dari kain atau perca, maka karya ini dibuat dengan pecahan-pecahan kaca. Tiap pecahan berukuran kecil dan ukurannya tidak beraturan yang dirangkai dengan kawat atau tali yang halus. Karya ini dipajang dengan diputar pada pegangannya, sehingga setiap sisi dapat dilihat dan dinikmati oleh pengunjung. Dengan teknik pencahayaan, karya ini membiaskan cahaya pada dinding di sekitar ruangan gedung maupun kepada para pengunjung.

The Beauty Has Torn merupakan koleksi Museum yang dimasukkan ke dalam periode abad ke-21 dan berada pada ruangan pada kelompok karya pada periode yang sama di Museum ini. Sebagian besar karya pada periode ini digambarkan dengan penolakan terhadap rasionalitas dan fungsionalitas dalam karya seni pada abad sebelumnya. Wujud dari karya tidak memiliki representasi secara langsung dengan suatu benda dalam dunia realitas kita atau sengaja diwujudkan bukan untuk menampilkannya sebagai benda semata, namun sebagai media komunitasi atas pesan tertentu (semoga saya tidak salah  :> ).

Karena saya tidak pernah belajar intepretasi seni secara khusus, selain mengenal tampak visual maupun dimensi, maka saya saya interpretasikan karya ini semampunya. Menurut saya, The Beauty Has Torn memvisualisasikan kritik atas sifat alamiah perempuan yang dibangun atas kesamaan persepsi yang disebut sebagai menarik atau cantik dengan fitur fisik: ramping, tinggi, dan hiasan.  Tidak sulit menemukan konstruksi persepsi tersebut dalam iklan di media massa. Konstruksi tersebut "menghancurkan" perempuan sebagai pihak dengan kemandirian yang memiliki tubuh. Reduksi pengertian perempuan secara tidak sadar menciptakan keterasingan atas apa yang sudah dianugerahkan kepadanya dan berupaya memperlakukan diri sesuai konstruksi persepsi umum. Pada akhirnya, kecantikan perempuan dibangun dari pecahan-pecahan rapuh pemahaman diri yang tidak lagi alamiah.

Selain menikmati karya seni tersebut, banyak kesan menarik lainnya ketika berkunjung ke Swedish National Museum. Salah satunya, museum ini merangkai sejarah gagasan yang dimiliki bangsa dan kota tersebut, serta menyimpannya secara baik dan terjaga. Karya seperti The Beauty Has Torn merupakan kritik zaman yang dipelihara secara gagasan maupun fisik. Tiap karya seni membuka peluang interpretasi bebas sesuai pemahaman kita atas suatu masalah. Barangkali dengan demikian, semakin banyak dari kita mencari refleksi atas gagasan dalam suatu zaman melalui koleksi museum nasional yang saat ini justru makin berkurang jumlahnya, bukannya bertambah seiring waktu.

Daya Tarik Patung Naga di Pantai Kamali, Pulau Buton

Selain dikenal dengan kekayaan alamnya berupa aspal alam, Pulau Buton juga merupakan destinasi wisata di Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki sejumlah daya tarik wisata sejarah, alam, maupun budaya . Salah satunya wisata alam di Pulau Buton adalah Pantai Kamali.

Wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kamali akan menyadari dengan cepat keberadaan patung naga setinggi sekitar 5 m. Pantai ini berdiri di tengah pinggir pantai yang ditata menjadi taman rekreasi oleh Pemerintah Kota Bau-Bau. Pada malam hari ketika cuaca cerah, suasana pantai ramai dengan warga sekitar yang turut memanfaatkan areal pantai sebagai tempat rekreasi. Dengan suhu dapat mencapai 33 derajat Celsius pada tengah hari pada musim kemarau (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bau-Bau),  malam hari menjadi waktu kunjungan yang banyak dipilih.

Patung naga ini merupakan simbol masyarakat sejak masa pemerintahan Kesultanan Buton. Untuk melengkapi  postur naga, ekor naga ditempatkan di dekat Gedung Walikota Bau-Bau di terletak perbukitan lebih dari 5 km dari lokasi pantai. Namun, sebagian besar badan naga tidak dibuat dan diimajinasikan tertanam di dalam bumi antara lokasi munculnya kepala dan ekor naga. Meskipun tertanam di dalam bumi, naga dianggap berasal dari langit (sumber: http://orangbuton.wordpress.com/2009/10/23/makna-simbolis-pada-istana-malige-buton). Keberadaan naga ini mengisahkan asal-usul suku Wolio, yang menghuni Kepulauan Buton, Muna, dan Kabaena di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang diyakini berasal dari daratan Cina.

Lokasi berdirinya patung naga ini merupakan spot berfoto populer di kalangan para wisatawan. Dengan dikelilingi oleh beragam aktivitas pada malam hari,  seperti penjualan makanan dan permainan anak, serta  rekreasi, patung naga menjadi salah satu pusat daya tarik di Pantai Kamali.


Lansekap Kultural Kota Singkawang Masa Kini

Pada awalnya, Singkawang merupakan bagian dari Kesultanan Sambas yang digunakan sebagai persinggahan para pedagang dan penambang emas yang sebagian besar dari Cina. Kota Singkawang pada masa itu merupakan jalur penting perdagangan penting yang melalui Laut Cina Selatan, Laut Natuna, dan Selat Malaka. Perkembangan kota yang dinilai baik menjadikan sebagian dari para pedagang dan penambang yang berasal Cina menetap dan menjadikan kota sebagai pusat aktivitas penting di Kalimantan Barat sampai saat ini.

Kota tumbuh dengan akulturasi antara dua budaya besar, yaitu budaya Kong Hu Cu dan Islam. Bangunan vihara (disebut juga kelenteng atau pekong) dan masjid yang tersebar pada bagian-bagian kota yang menjadikan landsekap kota ini semarak dengan pertemuan kedua budaya besar tersebut. Salah satu kelenteng yang terbesar di kota ini adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang berdiri bersebelahan dengan Masjid Jami.

Pada perayaan Cap Go Meh,  Singkawang pun didatangi para pesiarah dan wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia maupun negara tetangga. Dalam perayaan tersebut juga disertai dengan ritual Tatung yang merupakan upacara pengusiran roh-roh jahat dan bersamaan dengan peringatan Cap Go Meh, ritual Tatung dilarang pada masa Orde Baru. Dalam perayaan tersebut, suku Dayak turut terlibat karena adanya kemiripan dengan upacara adat  Dayak.

Pada pusat kota, corak arsitektur Tiong Hoa pada bangunan pertokoan berbaur dengan arsitektural lokal dan kolonial yang tetap dipertahankan. Pertemuan sejumlah kebudayaan di Kota Singkawang telah membentuk lansekap multikultural kota yang tidak begitu sulit ditemukan dan ditandai sebagai karakter kota bagi para pelancongnya.

Vihara Tri Bumi Dharma
Masjid Jami

"Manusia Semut" Menyisir Jalan di Perbatasan Sambas - Sarawak

"Manusia semut" adalah julukan bagi penjual gula pasir dengan mengendarai sepeda motor di perbatasan antara Sajingan Besar di Kabupaten Sambas dengan Sarawak di Malaysia. Mereka ini adalah aktor krusial dalam mendistribusikan gula pasir di desa-desa pada kecamatan tersebut yang memang masih terisolasi karena buruknya aksesibilitas. Dengan mengendarai motor, maka keleluasaan mobilitas dapat diperoleh untuk menjangkau desa-desa dengan kondisi jalan yang tidak seluruhnya baik. Meskipun dari pembebanan kendaraan sudah tidak memadai, manusia semut memiliki keterampilan yang diasah dan tingginya motivasi menarik keuntungan karena kesenjangan harga yang besar. Kendaraan yang digunakan pun kerap penuh dengan tumpukan gula pasir pada jok belakang maupun sisi depan.

Ketika aksesibilitas masih buruk, distribusi barang pun terhambat, bahkan berhenti. Dalam teori ekonomi geografis, kesetimbangan wilayah tidak tercapai yang berakibat pada mahalnya biaya transportasi yang berimplikasi pada buruknya distribusi dan mahalnya harga produk pada wilayah dengan aksesibilitas yang rendah. Investasi yang diharapkan guna menciptakan "industri" pun akan sulit dicapai dan pemanfaatan sumber daya lokal (material, sumber daya manusia) akan masih pada taraf minimal.

Manusia semut telah menjadi distributor informal atas produk bahan pokok, seperti gula pasir di kawasan perbatasan Sambas. Ada yang menyebutkan gula yang diperoleh berasal dari negara tetangga yang masuk ke tanpa pengawasan atau custom yang memadai. Aksesibilitas jalan yang masih buruk menciptakan beban ekonomi bagi masyarakat lokal karena harga komunitas "import: yang mahal. Kondisi yang sama juga berlaku untuk komoditas seperti minyak tanah maupun bensin karena biaya transportasi yang masih mahal. Perlu berbagai langkah untuk menyeimbangkan harga komoditas dan menciptakan industri berbasis produksi lokal di kawasan, salah satunya adalah melalui pembangunan dan peningkatan infrastruktur jalan yang saat ini tengah dilakukan.






Meretas Jalan Menuju Perbatasan Negara

Kawasan perbatasan negara (katastara) darat di Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, seyogyanya menjadi "beranda" dari sebuah "halaman rumah" negara. Kawasan ini berbatasan dengan Sarawak, Malaysia, yang sudah lebih baik dalam penataan kawasannya. Saat ini, sebagai kawasan perbatasan Sajingan Besar memiliki aksesibilitas yang rendah dan kondisi sosial masyarakat yang tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia maupun daerah di negara tetangga.

Selepas dari Kota Sambas menuju pintu gerbang perbatasan, PPLB Arok, dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat dianggap perjuangan melawan kondisi jalan yang tidak seluruhnya baik. Jalan tidak dibangun dengan perkerasan aspal maupun beton secara merata. Beberapa segmen adalah jalan tanah dengan kondisi yang hampir tidak dapat dilalui pada kondisi hujan. Pelalu lintas pun dituntut lebih waspada karena potensi longsor pada beberapa lokasi. Jalan di kawasan memiliki lebar rata-rata 6 m dan merupakan jalan dengan status jalan nasional. Lokasi dibangunnya jalan adalah perbukitan dan hutan, sehingga kondisi geometrik jalan pun tergolong sulit.





Sementara itu, sebagian besar jembatan adalah jembatan yang terbuat dari kayu ulin dengan teknologi sederhana. Jembatan ini dibangun pada sungai sempit dan danggal yang membelah kawasan. Jembatan-jembatan menjadi infrastruktur vital bagi konektivitas untuk menciptakan keterhubungan dengan wilayah lainnya. Sebagian jembatan kayu dalam kondisi rusak yang salah satunya disebabkan oleh kendaraan berat yang mengangkut hasil perkebunan kelapa sawit. 


















Pola permukiman menyerupai ribbon development atau pembangunan pita dengan sarana sosial dan ekonomi, seperti gereja dan pertokoan, yang sebagian besar terletak di sepanjang jalan. Dengan demikian, aktivitas penduduk  cenderung terkonsentrasi di sepanjang jalan menuju pintu perbatasan. Jarak antara badan jalan dan pagar rumah (Rumaja) relatif dekat sekitar 3 m dan tanpa pengendalian pemanfaatan ruang yang menjaga keselamatan pelalu lintas maupun pejalan kaki.


















Waktu tempuh perjalanan atau aksesibilitas fisik dari tiap pusat desa menuju fasilitas pendidikan dan kesehatan tidak merata. Ada desa yang untuk mencapai fasilitas kesehatan terdekat harus menempuh jarak lebih dari 10 km. Untuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, penduduk yang tinggal di Desa Sebunga yang berada di ujung berbatasan dengan Sarawak harus menempuh jarak hampir 100 km menuju rumah sakit terdekat. 


















Menjelang PPLB Aruk, kondisi jalan sudah semakin baik. PPLB ini dibangun sebagai pintu gerbang menuju negara tetangga dan sebaliknya. PPLB Aruk baru melayani lintas batas orang. Pelintas batas umumnya adalah TKI yang bekerja di Serawak pada sektor perkebunan. PPLB Aruk belum melayani pelintas batas dengan menggunakan kendaraan, sehingga mereka yang hendak melanjutkan perjalanan harus menyewa kendaraan dari desa di negara tetangga. Kesiapan infrastruktur di Indonesia masih belum dapat melayani (Custom, Immigration, Quarantine) CIQ secara memadai, sehingga PPLB Aruk belum memberikan manfaat yang maksimal.

Sebagai beranda, kawasan perbatasan kita masih perlu berbenah agar semakin menarik dan dilirik sebagai lokasi industri dan perdagangan. Adanya investasi dalam pembangunan berupa jalan akan menjadi pengungkit bagi daya tariknya. Saat ini, upaya pembangunan infrastruktur masih terus dilakukan.

Pengendalian Eksploitasi atas Daya Tarik Wisata

Gili Trawangan merupakan sebuah pulau yang berlokasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan menjadi destinasi wisata yang sangat dibanggakan oleh daerah tersebut karena keindahan pemandangan alamnya. Gili Trawangan diakses melalui perahu dari Pantai Senggigi di Pulau Lombok dengan jarak tempuh sekitar 45-60 menit. Luas pulau mencapai 366 Ha dengan jumlah penduduk hampir mencapai 1.600 jiwa. Dengan demikian, kepadatan penduduk sudah menyamai rata-rata kepadatan penduduk kota sedang di Indonesia. Dengan tambahan wisatawan yang berkunjung ke pulau sebanyak 1.000 orang per hari, pulau mungil tesebut semakin sesak dengan manusia.

Seorang rekan pernah mengatakan bahwa ia pernah meminta mahasiswanya, kebetulan ia adalah seorang pengajar, untuk mengamati fenomena diminishing marginal utility atas konsumsi barang yang sifatnya intangibel, seperti halnya keindahan pemandangan. Diminishing marginal utility adalah konsep yang menyatakan bahwa ketika konsumsi atas suatu barang produksi meningkat, konsumsi lebih lanjut akan menurunkan kepuasan atas pemanfaatannya sampai dengan titik terendah bahkan negatif. Ternyata, menurut dia, fenomena yang sama juga berlaku pada jenis barang bersifat intangibel (pemandangan alam), sama halnya dengan barang tangible yang dikonsumsi langsung. Singkat cerita dari percobaan tersebut, ketika sampai pada jumlah pengunjung yang menikmati suatu kawasan dengan pemandangan indah, maka terdapat suatu titik bahwa kenikmatan konsumsi atas pemandangan tersebut menurun, Apabila jumlah pengunjung terus bertambah, kepuasan menjadi negatif dan memberikan dampak negatif pula  kepada pengunjung karena saling berdesakan, tekanan diri (stress) dan perusakan lingkungan alam karena tidak cukupnya pengawasan.

Begitu pula yang nampaknya terjadi sebagian besar objek wisata kita. Kunjungan ke lokasi tanpa pengendalian populasi wisatawan maupun jumlah penyedia jasa wisata cenderung mengurangi penikmatan atas lokasi tersebut. Sebagai contoh adalah Gili Trawangan. Saat ini, dengan sejumlah wisatawan yang berada di pulau dalam waktu bersamaan dalam jumlah yang besar, pengunjung semakin sulit untuk menikmati suasana yang ditawarkan. Kerap kali, pengunjung harus berdesakan pada beberapa segmen jalan-jalan yang mengelilingi pulau, sehingga bersepeda sudah bukan kegiatan yang menyenangkan lagi. Berjalan mengelilingi pulau kurang menyenangkan bagi sebagian pengunjung domestik karena tidak dapat menikmati keteduhan rindangnya pepohonan yang sudah digantikan dengan lokasi toko, bangunan, maupun warung-warung. Siapa pun seakan bisa berbuat seenaknya, seperti memarkir perahu di sembarang lokasi, membangun gedung tanpa pertimbangan arsitektural dan konstruksi yang baik, atau membuang sampah sembarangan.

Gili Trawangan masih menjadi destinasi wisata yang sudah dikenal di dunia. Namun, sayang sekali apabila pulau yang indah tersebut rusak karena pengelolaan kawasan yang tidak baik. Konsep diminishing marginal utility menyadarkan kita tentang pengelolaan destinasi wisata yang memperhatikan keseimbangan antara konservasi lingkungan dan pemanfaatan ekonomis atas suatu eksploitasi daya tarik wisata. Dengan demikian, daya tarik dan rasa penasaran pengunjung dapat dipertahankan sepanjang masa.

Meningkatkan Luasan RTH Privat melalui Insentif

Gambar taman ini diambil di University of Stockholm, Swedia. Alangkah menariknya dan besar manfaatnya apabila tiap komunitas maupun pihak swasta dapat mengalokasikan ruang terbuka hijau (RTH) seperti ini. Dan betapa idealnya, RTH tersebut tetap terpelihara dan menjadi daya tarik rekreasi. Selain itu, RTH ini bermanfaat bagi kawasan melalui pengurangan dampak lingkungan akibat polusi udara.

Sejak diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tiap daerah mulai didorong untuk mengalokasikannya dengan luasan 30% dari luas wilayah. Rinciannya adalah minimal 20% yang dikelola oleh publik dan 10% yang dikelola oleh privat. Dengan demikian, pemerintah daerah setidaknya mengamankan RTH yang dikelolanya saat ini dan meningkatkan luasan sesuai dengan ketentuan.

Bagaimana dengan yang dikelola oleh privat? Peran swasta, masyarakat, dan individu telah ditetapkan dalam peraturan yang ada. Saat ini insentif yang diberikan bagi peran individu, komunitas, dan swasta yang mengalokasikan RTH dalam lingkungannya masih dikembangkan. Beberapa instrumen insentif yang mungkin, antara lain: keringanan biaya pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan, keringanan besaran Pajak Bumi dan Bangunan, sampai dengan dukungan infrastruktur dasar yang memadai. Kita tunggu implementasi dari instrumen yang akan dikembangkan.

Pertarungan Ruang bagi Pejalan Kaki

Gambar trotoar ini diambil pada salah satu lokasi di Jalan Laksda Adisucipto, Yogyakarta. Upaya pemerintah kota untuk menyediakan jalur pejalan kaki ini patut diapresiasi. Lebar jalur sekitar 4  meter dengan kelandaian sangat diperhatikan pada titik-titik lokasi yang merupakan pertemuan antara muka gerbang rumah, pertokoan, maupun jalan raya. Trotoar ini pun memiliki guiding blok dengan tekstur timbul, sehingga pejalan kaki tuna netra dapat memanfaatkan jalur trotoar bersama dengan pejalan kaki normal lainnya. Tidak seluruh kota di Indonesia menyediakan prasarana pejalan kaki seperti yang telah dilakukan pemerintah Kota Yogyakarta.

Sayang sekali, pejalan kaki masih harus dihadapkan pada 'pertarungan' ruang trotoar yang ditimbulkan karena pemahaman masyarakat yang belum sama atas fungsi trotoar, yaitu memisahkan lalu lintas kendaraan dengan pejalan kaki dan mengalirkan arus lalu lintas pejalan kaki secara aman, nyaman, selamat, dan lancar. Sejumlah sepeda motor ada yang diparkir di ruang trotoar, terutama pada lokasi di depan pertokoan. Beberapa segmen trotoar pada jalan tesebut juga merupakan lokasi parkir kendaraan pengunjung hotel yang tidak dibatasi dengan pagar dan pintu gerbang, sehingga meningkatkan konflik antara pejalan kaki dan kendaraan yang keluar masuk hotel. Selain itu, ditemukannya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjajakan jualannya dengan memanfaatkan keberadaan trotoar. Halangan fisik, seperti tiang listrik dan telepon, tidak sepenuhnya dapat dipindahkan dari trotoar. Pemasangan guiding blok belum secara optimal dilakukan. Pada pertemuan antara arus pejalan kaki dan pengguna kendaraan, masih belum terlihat adanya penanda khusus bagi tuna netra agar berhenti atau melanjutkan perjalanan.

Gambaran ini menunjukkan bahwa tidak cukup hanya dengan menyediakan trotoar secara memadai dari aspek kuantitas. Perubahan dalam sikap berlalu lintas warga kota juga diperlukan agar tiap pengguna jalan saling menghormati hak pengguna jalan yang lainnya. Masyarakat pun memiliki kesamaan pemahaman terhadap fungsi trotoar, sehingga edukasi dan sosialisasi mengenai hal ini perlu dilakukan. Penegakan hukum dengan memberikan sanksi bisa menjadi cara terakhir yang dapat ditempuh apabila sosialisasi telah dilaksanakan. Niatan untuk menyediakan fasilitas bagi pejalan kaki tuna netra harus diikuti dengan pemahaman terhadap kebutuhan dengan merujuk standar yang ada.  Upaya-upaya ini tentunya sudah diterapkan oleh pemerintah kota, namun diperlukan konsisten dakam penerapannya. Dengan demikian, secara perlahan warga kota dapat memetik manfaat maksimal dari infrastruktur yang telah dibangun.

Gedung Sate Dalam Perjalanan Waktu

Gedung Satu, disebut Gouvernements Bedrijven (GB) pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, merupakan landmark kota sekaligus pusat pemerintahan sejak dibangunnya pada 27 Juli 1920. Gedung ini memiliki ciri kas berupa ornamen tusuk sate pada menara utama di bagian muka. Sampai dengan saat ini, arsitektur dan ornamen Gedung Sate masih tetap dipertahankan.

Seiring perjalanan waktu komplek Gedung Sate pun berubah. Terdapat gedung baru ditambahkan di dalam komplek. Lingkungan sekitar komplek pun menjadi peruntukan perumahan dan ritel. Selain sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat (Kantor Gubernur), kini Gedung Sate menjadi salah satu daya tarik wisata di Kota Bandung.

Di depan Gedung Sate terdapat Lapangan Gasibu yang umumnya digunakan sebagai tempat berekreasi warga Kota Bandung. Lapangan Gasibu juga digunakan untuk menggelar pertunjukan musik, dan berolahraga. Bersama dengan Lapangan Gasibu, Gedung satu membentuk sebuah poros utara- selatan kota bersama dengan Monumen Pancasila di dekat Kampus Universitas Padjajaran. Meskipun aktivitas pemerintah telah usai pada sore hari, sekitar Komplek Gedung Sate masih ramai dengan warga kota dan wisatawan yang berkunjung ke kawasan. Pada ruas jalan yang berada di depan Gedung dipenuhi oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjajakan makanan dan minuman bagi pengunjung.

Sampai saat ini, Gedung Sate tetap menjadi landmark kota yang sangat dikenal oleh warga kota maupun wisatawan baik dalam maupun luar negeri karena nilai sejarah maupun arsitekturalnya. Dengan tingginya minat berekreasi warga kota, Gedung Sate dan Lapangan Gasibu senantiasa ramai dengan aktivitas sampai dengan malam hari. Jalan yang memisahkan antara areal gedung dan Lapangan Gasibu pun senantiasa dipadati kendaraan bermotor yang lalu lalang dan mengiringi derap kehidupan kota sepanjang waktu.

Menembus Rintangan Transportasi dengan Terowongan Jalan Raya di Indonesia

Dengan kondisi geografis berupa pegunungan, Indonesia seyogyanya memiliki banyak terowongan jalan sebagai prasarana lalu lintas. Terowongan untuk keperluan transportasi telah ada dibangun sejak zaman penjajahan kolonial berupa terowongan kereta api. Terowongan tersebut secara efektif memberikan efisiensi pergerakan kereta api dan lebih ekonomis. Terowongan juga seringkali disamakan dengan underpass, yaitu jalan yang berada di bawah permukaan atau jalan yang berada di bawah infrastruktur transportasi darat lainnya. Terowongan jalan menjadi prasarana untuk dipertimbangkan pembangunannya ketika dihadapkan pada pilihan mengatasi rintangan transportasi darat karena fitur geografis pegunungan/perbukitan sebagai upaya meningkatkan efisiensi pergerakan lalu lintas kendaraan.

Sayang sekali, sampai saat ini Indonesia belum memiliki terowongan jalan yang secara efektif mampu mewadahi transport asi darat yang menembus gunung/ bukit. Sebagian besar dari terowongan jalan yang ada saat dibangun di perkotaan untuk mengatasi kemacetan dan sebagai bagian road supply management kota. Terowongan pada perbukitan/ pegunungan lebih berperan dalam mendukung transportasi wilayah. Terowongan jenis ini berpeluang membuka keterisolasian wilayah, meningkatkan konektivitas antar pusat kegiatan, dan menciptakan efisiensi pergerakan lalu lintas wilayah.

Investasi dalam pembangunan terowongan tidak lebih mahal dibandingkan dengan jalan di pegunungan. Jalan di pegunungan/ perbukitan bahkan jauh lebih mahal apabila kerusakan landsekap maupun lingkungan flora dan fauna setempat dipertimbangkan. Selain itu, intervensi terhadap kondisi sosial budaya masyarakat lokal dapat diminimalkan. Terowongan pun relatif lebih ramah lingkungan karena kebutuhan lahan bagi pembangunan berada di dalam tanah atau batuan yang tidak mengganggu lingkungan sosial dan alam yang berada di atasnya.

Penguasaan teknologi terowongan jalan masih belum sebaik teknologi jalan secara umum, sehingga resiko atas pembangunannya masih dianggap besar. Resiko ini meliputi resiko konstruksi, paska konstruksi, operasional kendaraan, maupun kebencanaan. Contoh dari resiko ini adalah keselamatan pengguna kendaraan ketika terjadi kebakaran dalam terowongan atau evakuasi atas kecelakaan.

Dalam waktu dekat, Indonesia akan memiliki terowongan jalan yang menembus perbukitan, yaitu Cisumdawu. Dengan sejumlah kajian yang dilakukan, nampaknya konstruksi atas terowongan ini dapat segera terlaksana. Diharapkan pula, pembangunan terowongan juga dilaksanakan pada lokasi-lokasi yang telah dikaji sebelumnya, seperti: Piyungan-Gading.

Resort Wisata yang Ramah Lingkungan

Foto ini diambil di sebuah spot pada sebuah resort wisata di Ciater, Subang. Spot ini dibangun dengan menjadikan lokasi sebagai pusat aktivitas berekreasi di kawasan resort bagi para wisatawan yang menginap sementara. Pada pinggiran danau buatan tersebut adalah tempat bermain, gubuk peristirahatan, dan restoran.

Dengan lokasi yang berada pada kawasan perlindungan setempat, pengelola resort menyelaraskan kondisi kontour, aliran sungai, dan hutan dengan rasio kerapatan gedung/ bangunan, sehingga menjadikan pemandangan pada lokasi tetap alamiah. Tidak seluruh bagian resort diubah menjadi gedung/ bangunan, pohon-pohon dipertahankan berdiri di samping gedung/bangunan. Material bangunan yang ada sebagian besar adalah bambu utuh maupun anyamannya. Aliran sungai dipertahankan dan menjadi tempat rekreasi arung jeram pada segmen sungai yang sesuai.

Resort wisata ini memperlihatkan bahwa tidak harus mengorbankan perlindungan lingkungan dan menempatkan efisiensi ekonomi sebagai yang utama dalam pembangunan sarana.

Kota Lembang yang Semakin Panas

Kota Lembang terletak di utara Kota Bandung dengan jarak sekitar 20 km. Meskipun berada pada wilayah kabupaten yang berbeda, akses menuju Kota Lembang merupakan koridor jalan yang padat dengan aktivitas, sehingga sulit memisahkan perkembangan kedua kota karena adanya interaksi guna lahan yang intensif. Sebagian penduduk yang bermukim di Kota Lembang bekerja di Kota Bandung dan sebaliknya.

Dahulu, sekitar 20 tahun yang lampau, Kota Lembang terkenal dengan iklimnya yang bersuhu rata-rata lebih rendah dibandingkan sekitarnya karena berada di ketinggian. Dengan sejumlah objek wisata di sekitarnya, seperti Tangkuban Perahu dan Maribaya, kawasan perkotaan Lembang menjadi salah satu destinasi wisata di Provinsi Jawa Barat yang ternama.

Saat ini, pembangunan kawasan yang tidak terkendali telah mengurangi tutupan lahan. Konversi lahan berlangsung intensif dari perkebunan dan hutan menjadi perumahan, pertokoan, hotel, dan restoran. Observatorium Bosscha, komplek pengamatan bintang yang penting, tengah berjuang agar fungsinya tetap dapat dipertahankan akibat gangguan polusi cahaya dari aktivitas perkotaan.

Pada akhir pekan, wisatawan berdatangan ke Kota Lembang dengan menggunakan kendaraan pribadi. Jalan yang menghubungkan Kota Bandung dan Kota Lembang dipadati dengan kendaraan. Kemacetan dan polusi udara menjadi 'pemandangan' yang sebenarnya tidak menarik bagi para wisatawan tersebut.

Ekonomi kota memang berkembang dengan pesat yang ditunjukkan oleh tumbuhnya retail dan aktivitas pendukung wisata. Namun, corak pembangunan ini rasanya tidaklah benar mengingat Kota Lembang adalah water catchment area bagi kawasan Cekungan Bandung.

Lalu lintas yang padat menyebabkan kerusakan lingkungan karena polusi yang mencemari udara, serta tanah dan perairan secara tidak langsung. Efek rumah kaca pun kian terasa karena akumulasi gas tersebut di atmosfer. Menyeimbangkan antara aspek pembangunan dan ekonomi adalah tantangan bagi kota untuk dihadapi. Sayangnya, pemerintah daerah baik Provinsi dan daerah pada titik waktu ini telah kalah dalam pergulatan klasik yang basil dari proses kerusakan telah umum diketahui. Reaksi dalam bertindak masih belum memadai sebagaimana melihat iklim yang berubah di kota tersebut.

Mengamati perkembangan Kota Lembang, kita diingatkan pada fenomena 'boiled frog syndrome'

Market Failure dan Policy Logic dalam Produksi LCGC

Pemerintah telah mengumumkan kehadiran mobil murah yang ramah lingkungan atau LCGC melalui Menteri Perindustrian. Produksi mobil ini diharapkan dapat memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat guna memiliki mobil. Mobil ditengarai sebagai angkutan yang lebih aman dan nyaman dibandingkan dengan sepeda motor yang pertumbuhannya meningkat secara eksponensial, namun tidak menjamin keselamatan pengunanya secara baik. Selain itu, produksi mobil akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Industri otomotif diperkirakan akan semakin efisien dan lebih membuka peluang diferensiasi produk yang lebih ramah lingkungan.

Dalam perspektif yang lain, Pemerintah Daerah maupun kementerian yang menangani infrastruktur transportasi mengkhawatirkan dampaknya terhadap kapasitas infrastruktur, terutama jalan. Saat ini, kota besar dan metropolis mengalami kemacetan yang parah dengan akumulasi biaya sosial dan lingkungan yang semakin tinggi. Hadirnya LCGC dikhawatirkan meningkatkan volume lalu lintas kendaraan, sehingga situasi macet semakin sulit untuk diatasi.

Saat ini, logika kebijakan adalah membatasi jumlah kendaraan bermotor guna mengurangi dampak maupun biaya kemacetan. Berbagai instrumen telah direncanakan untuk diimplementasikan baik yang berupa perpajakan (fiskal) maupun pengelolaan permintaan. Dalam waktu dekat ini, Pemerintah DKI Jakarta akan menerapkan nomor kendaraan ganjil/genap, Electronic Road Pricing (ERP), dan pajak progresif. Hadirnya LCGC membuyarkan konsentrasi atas rencana tersebut, terlebih pemerintah DKI telah melakukan investasi besar guna memperbaiki pelayanan transportasi umum.

Korea Selatan yang merupakan salah satu produsen mobil dunia sekalipun telah mencontohkan secara baik penyeimbangan antara kebijakan industri dan pembangunan infrastruktur kota/wilayah. Gambar menunjukkan infrastruktur jalan yang dibangun pada pinggiran kota yang lebih diutamakan bagi pergerakan regional. Sementara itu, akses ke dalam kota sangat dibatasi melalui penerapan ERP, pajak parkir, dan instrumen traffic demand management yang relevan.

Dengan sedikit inovasi dalam sistem mekanis kendaraan, LCGC sedikit berdampak terhadap penghematan konsumsi bahan bakar minyak. Padahal trend global yang berkembang adalah strategi dalam mengurangi emisi dan menerapkan konsumsi bahan bakar alternatif. Kebijakan bauran energi nampaknya belum dirujuk secara konsisten. Bertambahnya konsumsi kendaraan niscaya bertambah dengan adanya harga kendaraan yang murah, sehingga tidak akan mengurangi emisi polutan sebagaimana diharapkan. Pada sisi lain, pemerintah semakin sulit mengalokasikan anggaran pembangunan jalan guna memenuhi kebutuhan, karena meningkatnya harga lahan bagi pembangunan.

Tidak sedikit ditemukan adanya kebijakan yang ambigu dalam berbagai produk pengaturan maupun kebijakan. Dalam situasi tersebut, kegagalan pasar (market failure) dalam pelayanan infrastruktur merupakan ketidakmampuan menerapkan logika kebijakan ke dalam persoalan kontekstual dan kaitannya dengan berbagai peraturan. Intervensi yang salah menyebabkan kerugian masyarakat (social loss) berupa biaya sosial (social cost) yang ditanggungkan semakin besar.

Connect and Empower: Gagasan Konsep Pembangunan Jalan di Koridor V

Koridor V adalah kawasan yang meliputi seluruh gugusan pulau menengah dan kecil di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Dalam Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), kawasan ini memiliki produk potensial unggulan bagi pengembangan ekonomi wilayah berupa perikanan, pariwisata, dan pertanian. Kawasan ini masih kalah populer dalam penyerapan investasi nasional dibandingkan daerah-daerah di bagian Barat Indonesia lainnya, sehingga penguatan dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan, diharapkan dapat meningkatkan daya saing kawasan.

Salah satu produk potensial wisata yang hendak dikembangkan adalah pariwisata. Kondisi alam yang belum dieksploitasi secara masif dan keunikan artifak budaya menjadi daya tarik kawasan yang perlu didukung dengan pembangunan infrastruktur jalan. Salah satu yang menarik diamati perkembangannya adalah pembangunan bandara yang diikuti dengan perbaikan koneksi antardestinasi dalam kawasan. Selain itu, pembangunan, melalui konstruksi maupun pemeliharaan jaringan, memperkuat keunggulan daya tarik destinasi yang ada.

Perbaikan konektivitas yang diikuti dengan pengembangan ekonomi lokal adalah salah satu peran krusial dari infrastruktur jalan. Dengan beragamnya produk lokal yang dapat dikembangkan, seperti hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan, infrastruktur jalan tidak hanya menghubungkan antarpusat kegiatan, melainkan mampu mengeksploitasi beragam produk lokal tersebut untuk dapat terhubung dengan jaringan pasar nasional.

Dengan konsep Michino-eki seperti di Jepang, maka tiap lokasi yang telah dinilai kelayakannya, menjadi sentra pasar bagi produk lokal. Michino-eki serupa rest area di sepanjang jalan strategis yang sekaligus menjadi etalase pemasaran produk. Penempatan lokasi dan koneksinya dengan jaringan jalan menjadi salah satu strategi pengembangan Koridor V yang berbasiskan pemberdayaan ekonomi lokal. Pembangunan serupa Michino-eki juga dapat diintegrasikan pada destinasi wisata tertentu dengan pemandangan alam yang menarik. Penataan dari aspek pengaturan lalu lintas, tata ruang, pengembangan produksi lokal, pemasaran produk, lingkungan alam, dan sistem jaringan jalan, menjadi kunci keberhasilan dari implementasi konsep ini. NTB dengan ruas jalan sepanjang pantai pada bagian utara pulau utama adalah contoh menarik bagaimana peluang konsep ini sangat besar untuk diimplementasikan.

Sejarah dan Edukasi di Museum Cheonggye-cheon

Sangat menarik bahwa museum tidak hanya menghadirkan sekedar artifak, melainkan juga media edukasi dalam berbagai bentuk. Museum Cheonggye-cheon, salah satunya, menjadi sarana edukasi bagi warga kota maupun wisatawan yang ingin mengetahui perkembangan kawasan Cheonggye-cheon yang terkenal.

Salah satu media tersebut adalah lantai gedung berupa peta kawasan yang dihamparkan yang memberikan informasi 3 dimensi dari perspektif bird-eye view. Melalui peta yang tertanam pada lantai tersebut, segmen-segmen kawasan dapat di-highlight dan dipelajari lebih lanjut. Berbagai gedung dan relasinya dengan fitur infrastruktur kota dapat diketahui.

Peta tersebut juga memberi kesadaran warga atas kondisi kawasan dalam relasinya dengan ruang kota secara makro. Pengunjung museum yang menjejakkan kaki pada lantai tersebut dapat juga belajar mengenai peran krusial Cheonggye- cheon dalam melestarikan lingkungan alamiah Kota Seoul dengan bertindak sebagai ruang terbuka hijau.

Menata Kawasan Kota dengan Pedestrian Walk di Insadong

Insadong, salah satu pusat perbelanjaan cinderamata di Kota Seoul, memiliki strategi  dalam menata pergerakan warga yang berkunjung ke kawasan. Bagian kawasan dibebaskan dari kendaraan bermotor dan memberikan prioritis bagi pejalan kaki melalui penyediaan pedestrian walk. Dengan penataan lalu lintas yang demikian, hampir dapat dipastikan bahwa kawasan terbebas dari emisi polutan dan ganguan keselamatan bagi pejalan kaki.

Daya tarik kawasan pun meningkat dan mendorong ekonomi kawasan tumbuh dan berkembang. Banyak penjual cinderamata menjajakan dan berupaya menarik pembeli berkunjung ke toko maupun lapak mereka di sepanjang koridor kawasan. Wisatawan pun dengan nyaman memilih produk yang dijual maupun membeli.

Akses menuju kawasan difasilitasi oleh kendaraan umum, seperti bus, dengan halte yang secara mudah dapat ditemukan di sekitar kawasan. Kawasan telah menjadi pusat kegiatan yang berkembang pesat melalui integrasi program pembangunan kawasan dengan penyediaan pedestrian walk secara memadai.

Cheonggye-cheon dan Transformasi Wajah Kota Seoul

Foto menunjukkan salah satu spot di sepanjang kawasan Chonggye-cheon di Kota Seoul. Kawasan ini semula merupakan lokasi jalan layang dengan tiang pancangnya dan dilalui lalu lintas kendaraan yang tergolong sibuk. Saat ini, kawasan telah menjadi lokasi rekreasi maupun wisata yang populer di Kota Seoul.

Saban hari, kawasan ramai dikunjungi oleh penduduk lokal dan wisatawan. Kawasan ini telah berubah dari kawasan yang terkontaminasi karena limbah domestik dan industri, maupun emisi kendaraan menjadi 'paru- paru' kota. Kawasan ini sekaligus menjadi elemen pembentuk struktur ruang kota yang berbasiskan penataan ruang terbuka hijau makro. Kawasan dilalui air sungai kecil yang merupakan bagian dari sistem besar aliran Sungai Han yang membelah Metropolis Seoul.