The Beauty Has Torn menarik karena desain dan bahan yang digunakan. Karya seni ini mewujudkan gaun wanita dalam ukuran ramping dengan desain pakaian dibuat serealistik mungkin berupa baju terusan. Tidak ada corak warna dan ornamen. Apabila pakaian biasanya terbuat dari kain atau perca, maka karya ini dibuat dengan pecahan-pecahan kaca. Tiap pecahan berukuran kecil dan ukurannya tidak beraturan yang dirangkai dengan kawat atau tali yang halus. Karya ini dipajang dengan diputar pada pegangannya, sehingga setiap sisi dapat dilihat dan dinikmati oleh pengunjung. Dengan teknik pencahayaan, karya ini membiaskan cahaya pada dinding di sekitar ruangan gedung maupun kepada para pengunjung.
The Beauty Has Torn merupakan koleksi Museum yang dimasukkan ke dalam periode abad ke-21 dan berada pada ruangan pada kelompok karya pada periode yang sama di Museum ini. Sebagian besar karya pada periode ini digambarkan dengan penolakan terhadap rasionalitas dan fungsionalitas dalam karya seni pada abad sebelumnya. Wujud dari karya tidak memiliki representasi secara langsung dengan suatu benda dalam dunia realitas kita atau sengaja diwujudkan bukan untuk menampilkannya sebagai benda semata, namun sebagai media komunitasi atas pesan tertentu (semoga saya tidak salah :> ).
Karena saya tidak pernah belajar intepretasi seni secara khusus, selain mengenal tampak visual maupun dimensi, maka saya saya interpretasikan karya ini semampunya. Menurut saya, The Beauty Has Torn memvisualisasikan kritik atas sifat alamiah perempuan yang dibangun atas kesamaan persepsi yang disebut sebagai menarik atau cantik dengan fitur fisik: ramping, tinggi, dan hiasan. Tidak sulit menemukan konstruksi persepsi tersebut dalam iklan di media massa. Konstruksi tersebut "menghancurkan" perempuan sebagai pihak dengan kemandirian yang memiliki tubuh. Reduksi pengertian perempuan secara tidak sadar menciptakan keterasingan atas apa yang sudah dianugerahkan kepadanya dan berupaya memperlakukan diri sesuai konstruksi persepsi umum. Pada akhirnya, kecantikan perempuan dibangun dari pecahan-pecahan rapuh pemahaman diri yang tidak lagi alamiah.
Selain menikmati karya seni tersebut, banyak kesan menarik lainnya ketika berkunjung ke Swedish National Museum. Salah satunya, museum ini merangkai sejarah gagasan yang dimiliki bangsa dan kota tersebut, serta menyimpannya secara baik dan terjaga. Karya seperti The Beauty Has Torn merupakan kritik zaman yang dipelihara secara gagasan maupun fisik. Tiap karya seni membuka peluang interpretasi bebas sesuai pemahaman kita atas suatu masalah. Barangkali dengan demikian, semakin banyak dari kita mencari refleksi atas gagasan dalam suatu zaman melalui koleksi museum nasional yang saat ini justru makin berkurang jumlahnya, bukannya bertambah seiring waktu.