Pertarungan Ruang bagi Pejalan Kaki

Gambar trotoar ini diambil pada salah satu lokasi di Jalan Laksda Adisucipto, Yogyakarta. Upaya pemerintah kota untuk menyediakan jalur pejalan kaki ini patut diapresiasi. Lebar jalur sekitar 4  meter dengan kelandaian sangat diperhatikan pada titik-titik lokasi yang merupakan pertemuan antara muka gerbang rumah, pertokoan, maupun jalan raya. Trotoar ini pun memiliki guiding blok dengan tekstur timbul, sehingga pejalan kaki tuna netra dapat memanfaatkan jalur trotoar bersama dengan pejalan kaki normal lainnya. Tidak seluruh kota di Indonesia menyediakan prasarana pejalan kaki seperti yang telah dilakukan pemerintah Kota Yogyakarta.

Sayang sekali, pejalan kaki masih harus dihadapkan pada 'pertarungan' ruang trotoar yang ditimbulkan karena pemahaman masyarakat yang belum sama atas fungsi trotoar, yaitu memisahkan lalu lintas kendaraan dengan pejalan kaki dan mengalirkan arus lalu lintas pejalan kaki secara aman, nyaman, selamat, dan lancar. Sejumlah sepeda motor ada yang diparkir di ruang trotoar, terutama pada lokasi di depan pertokoan. Beberapa segmen trotoar pada jalan tesebut juga merupakan lokasi parkir kendaraan pengunjung hotel yang tidak dibatasi dengan pagar dan pintu gerbang, sehingga meningkatkan konflik antara pejalan kaki dan kendaraan yang keluar masuk hotel. Selain itu, ditemukannya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjajakan jualannya dengan memanfaatkan keberadaan trotoar. Halangan fisik, seperti tiang listrik dan telepon, tidak sepenuhnya dapat dipindahkan dari trotoar. Pemasangan guiding blok belum secara optimal dilakukan. Pada pertemuan antara arus pejalan kaki dan pengguna kendaraan, masih belum terlihat adanya penanda khusus bagi tuna netra agar berhenti atau melanjutkan perjalanan.

Gambaran ini menunjukkan bahwa tidak cukup hanya dengan menyediakan trotoar secara memadai dari aspek kuantitas. Perubahan dalam sikap berlalu lintas warga kota juga diperlukan agar tiap pengguna jalan saling menghormati hak pengguna jalan yang lainnya. Masyarakat pun memiliki kesamaan pemahaman terhadap fungsi trotoar, sehingga edukasi dan sosialisasi mengenai hal ini perlu dilakukan. Penegakan hukum dengan memberikan sanksi bisa menjadi cara terakhir yang dapat ditempuh apabila sosialisasi telah dilaksanakan. Niatan untuk menyediakan fasilitas bagi pejalan kaki tuna netra harus diikuti dengan pemahaman terhadap kebutuhan dengan merujuk standar yang ada.  Upaya-upaya ini tentunya sudah diterapkan oleh pemerintah kota, namun diperlukan konsisten dakam penerapannya. Dengan demikian, secara perlahan warga kota dapat memetik manfaat maksimal dari infrastruktur yang telah dibangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar