Lansekap Kultural Kota Singkawang Masa Kini

Pada awalnya, Singkawang merupakan bagian dari Kesultanan Sambas yang digunakan sebagai persinggahan para pedagang dan penambang emas yang sebagian besar dari Cina. Kota Singkawang pada masa itu merupakan jalur penting perdagangan penting yang melalui Laut Cina Selatan, Laut Natuna, dan Selat Malaka. Perkembangan kota yang dinilai baik menjadikan sebagian dari para pedagang dan penambang yang berasal Cina menetap dan menjadikan kota sebagai pusat aktivitas penting di Kalimantan Barat sampai saat ini.

Kota tumbuh dengan akulturasi antara dua budaya besar, yaitu budaya Kong Hu Cu dan Islam. Bangunan vihara (disebut juga kelenteng atau pekong) dan masjid yang tersebar pada bagian-bagian kota yang menjadikan landsekap kota ini semarak dengan pertemuan kedua budaya besar tersebut. Salah satu kelenteng yang terbesar di kota ini adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang berdiri bersebelahan dengan Masjid Jami.

Pada perayaan Cap Go Meh,  Singkawang pun didatangi para pesiarah dan wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia maupun negara tetangga. Dalam perayaan tersebut juga disertai dengan ritual Tatung yang merupakan upacara pengusiran roh-roh jahat dan bersamaan dengan peringatan Cap Go Meh, ritual Tatung dilarang pada masa Orde Baru. Dalam perayaan tersebut, suku Dayak turut terlibat karena adanya kemiripan dengan upacara adat  Dayak.

Pada pusat kota, corak arsitektur Tiong Hoa pada bangunan pertokoan berbaur dengan arsitektural lokal dan kolonial yang tetap dipertahankan. Pertemuan sejumlah kebudayaan di Kota Singkawang telah membentuk lansekap multikultural kota yang tidak begitu sulit ditemukan dan ditandai sebagai karakter kota bagi para pelancongnya.

Vihara Tri Bumi Dharma
Masjid Jami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar