Belajar dari Hammarby Sjöstad

Perjalanan ke Hammarby Sjöstad dari pusat Kota Stockholm menempuh jarak sekitar 30 km ke arah selatan. Saat itu, saya melakoninya dengan menggunakan bus yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kereta listrik. Selama beberapa tahun terakhir, kawasan di pinggiran Kota Stockholm ini kerap dikunjungi oleh wisatawan maupun pelancong yang lebih serius, seperti peneliti, mahasiswa, maupun wartawan. Tujuan mereka bermacam-macam, selain karena kawasan ini telah menjadi lokasi wisata  kota kawasan ini juga adalah 'laboratorium besar' bagi mereka yang hendak belajar mengenai urban redevelopment (pembangunan ulang kawasan perkotaan).

Awalnya bagian kota ini adalah kawasan industri dengan tingkat polusi yang tinggi. Tanah di kawasan terkontaminasi dengan bahan kimia beracun dan berbahaya yang digunakan dalam proses manufaktur. Perairan yang dekat dengan kawasan ini dijadikan untuk membuang limbah cair pabrik yang tidak menguntungkan bagi fauna dan habitatnya. Hasil pembakaran energi menghasilkan polutan udara yang membuat lingkungan tidak nyaman ditinggali. Sebagai kawasan industri, lokasi permukiman di dalamnya juga menjadi kumuh.

Transformasi dimulai sejak awal tahun 1990-an untuk mengubah kawasan ini lebih ramah lingkungan. Sejumlah proyek restorasi lingkungan dijalankan mulai dari relokasi pabrik, perbaikan kondisi/ rehabilitasi lingkungan, maupun pengenalan proses manufaktur yang bersih. Semuanya berawal dengan penyusunan rencana kawasan dan pengembangan infrastruktur dengan konsep cradle-to-cradle development. Sebisa mungkin pemanfaatan material dan energi untuk proses produksi maupun rumah tangga dapat dimanfaatkan ulang (reuse) maupun didaur ulang (recycle) agar tidak membebani lingkungan dengan limbah. Sebagai contoh, panas dari hasil pendinginan mesin pabrik dialirkan ke rumah-rumah sebagai alat pemanas. Sebelum dibuang ke perairan terbuka, air tersebut diolah melalui proses pemurnian.

Konsep pengembangan kawasan telah memicu perkembangan teknologi bersih, baik yang didanai pemerintah kota maupun swasta. Investasi tidak hanya pada upaya rekonstruksi, melainkan juga pada penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi bersih. Teknologi sel surya yang lebih efisien dengan tipikal pergerakan matahari musiman dikembangkan dan telah terpasang pasta sejumlah gedung. Pemanfaatan LED untuk penerangan jalan pun sudah jamak dengan teknologi yang menghasilkan iluminasi dan durabilitas yang baik. Teknologi penyedot sampah kering telah terpasang pada lokasi publik maupun tiap blok rumah susun, sehingga mendorong pemilahan dan mengurangi perjalanan kendaraan pengangkut sampah.

Untuk transportasi orang, kawasan menyediakan pilihan transportasi publik yaitu kereta listrik dan kapal boat melintasi danau (secara gratis). Fasilitas pedestrian dan sepeda dibangun dengan sangat baik, sehingga mendorong pemanfaatannya. Beberapa tempat disewakan sepeda. Taman-taman mengisi ruang kosong di antara blok rumah yang juga merupakan sarana rekreasi warga. Saat ini, hanya tipe industri yang mampu memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan kota yang diperbolehkan berdiri (yang bahkan lebih dari standar yang ditetapkan Eropa!).

Sejauh mata memandang, nampak suasana hijau pepohonan dan rerumputan di sela-sela gedung. Jalanan tidak dipenuhi oleh kendaraan, tetapi pejalan kaki yang terkadang menyapa ramah. Dekat dengan perairan yang merupakan bagian dari Laut Baltik, sejumlah orang berkumpul untuk menikmati suasana yang saat itu pada musim panas. Saya juga melihat seorang ayah yang mengasuh anak dengan kereta dorongnya. Dalam rekreasi singkat dan serius ini saya merasa belajar banyak, namun sedikit yang telah saya lakukan terhadap kota saya sendiri.

Pemandangan ke arah pelabuhan dengan dilengkapi promenade

Trotoar yang disediakan cukup lebar dan nyaman digunakan berbagai kalangan

Warga kota yang tengah berekreasi di tepi danau

Jalur sepeda yang disediakan secara baik dan dibebaskan dari konflik dengan pemanfaatan lainnya, seperti parkir 

Taman kota yang banyak tersedia di kawasan

Pemanfaatan LED sebagai penerangan jalan pada jalan -jalan utama




Arti Batur bagi Dunia, Indonesia, dan Bali

Kintamani dengan Gunung dan Danau Batur selalu menjadi objek wisata yang tidak mudah dilupakan. Objek wisata ini menawarkan keindahan dan keunikan lansekap alam. Menyeberangi danau, terdapat Desa Truyan yang merupakan desa yang masih mempertahankan tradisi lama sebelum kedatangan agama Hindu. Desa Truyan dikenal karena tradisi masyarakatnya yang meletakkan mayat di bawah pohon berbau wangi. Kawasan ini memiliki nilai lingkungan, ekonomi, dan budaya yang tidak ternilai bagi masyarakat lokal, Indonesia, dan dunia, namun menyimpan konflik pengelolaan yang perlu dipecahkan.

Sejak tahun lalu, tanggal 20 September 2012, Kaldera Batur di Kintamani ditetapkan oleh Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan ( UNESCO ) sebagai geopark (taman bumi). Taman bumi ini adalah yang pertama di Indonesia dan telah dikukuhkan sebagai bagian dari Global Geopark Network (GGN). Di seluruh dunia, terdapat 77 taman bumi dengan salah satunya di Asia Tenggara Langkawi di Malaysia.Dengan demikian, promosi wisata dapat dilakukan secara global. Dengan penetapan ini pula, taman bumi ini diharapkan semakin dikenal karena daya tarik wisata yang ada, selain menjadi lokasi pendidikan dan penelitian bagi ilmuwan dari seluruh dunia. Meskipun sebagian motivasi adalah bisnis pariwisata, taman bumi merupakan langkah mendorong pengelolaan yang mengedepankan aspek konservasi kawasan yang menjadi taman bumi.

Taman bumi Batur merupakan kaldera besar yang kini telah menjadi danau, lokasi perkebunan, dan pertambangan, termasuk permukiman. Sisa-sisa dari letusan besar masa lampau menciptakan bentang alam yang unik dengan satu puncak gunung api aktif. Letusan terakhir kali terjadi pada tahun 2000. Kondisi alam yang subur menjadikan kawasan sekitar kaldera sangat sesuai sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Produksi pertanian yang terkenal karena kualitasnya yang baik dari daerah ini antara lain kopi dan jeruk. Aktivitas pertambangan, khususnya kategori galian C, nampak dari sejumlah truk yang berlalu lalang menyusuri jalan terjal dan berbaur dengan aktivitas wisata. Tidak dapat dipungkiri pula, sebagian masyarakat lokal menggantungkan hidup sebagai penambang pasir dan batu hasil muntahan gunung aktif.

Sebuah pura yang disebut dengan Pura Ulun Danau Batur berada di dekat taman bumi ini. Pura ini secara rutin dikunjungi oleh masyarakat Bali sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) atas anugerah berupa sumber air bagi irigasi yang menyuburkan tanah pertanian. Dalam konteks masyarakat agraris dan peran organisasi subak yang besar (lihat pos mengenai Subak pada Oktober 2013), keberadaan pura ini menanda peran penting Danau Batur sebagai sumber air bagi sawah di bagian selatan dan timur Bali.

Sebagai destinasi wisata, Kaldera Batur telah menjadi areal favorit untuk wisata alam maupun budaya. Secara nasional, Kintamani juga dipromosikan secara aktif untuk menarik kunjungan wisata ke Indonesia. Dengan keberadaan Desa Truyan pada kawasan ini, wisatawan dapat mengenal kehidupan masyarakat dan budaya di salah satu desa pedalaman di Bali. Bentang alam yang unik yang mempengaruhi kondisi jalan yang bergelombang menjadikannya sebagai daya tarik wisata bersepeda. Fungsi wisata yang semakin menonjol terlihat dari keberadaan restoran yang berdiri hampir disepanjang jalan utama yang hampir menutupi seluruh pandangan dari jalan utama ke arah kaldera.

Dengan ragam arti kawasan, mungkihkan menyusun satu rencana pengelolaan kawasan yang bisa memuaskan semua pihak? Saat ini saja, fungsi pariwisata yang dominan telah menyebabkan kemacetan karena masuknya bus dan minibus dalam jumlah yang banyak. Areal parkir yang terbatas mendorong parkir on the street yang mengurangi kapasitas jalan. Sebagai sebuah taman bumi, mungkinkah aktivitas pertambangan dihentikan karena niatan konservasi, pemdidikan, dan penelitian? Selain itu, perlu dipikirkan keberadaan pura yang sebaiknya tidak terganggu oleh fungsi pariwisata? Akan disusunnya rencana induk bagi taman bumi ini dapat diharapkan mampu mengatasi konflik yang ada, atau sebaliknya, memperuncing sejumlah konflik yang selama ini telah pada "tempatnya" sejak lama.

Mencoba Mengenali Karakter Kota Gianyar Masa Kini

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya telah mengamati pergeseran dalam orientasi keruangan Kota Gianyar. Pada waktu itu, saya sedikit banyak dipengaruhi oleh buku Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff mengenai urbanisme di Asia Tenggara (deskripsi buku dapat dibaca pada link: http://www.goodreads.com/book/show/2183739.Southeast_Asian_Urbanism). Prof. Hans memang tidak berbicara mengenai Bali secara spesifik, namun kerangka analisis yang digunakan membantu saya untuk memahami perubahan yang tengah berlangsung pada warga kota. Interaksi sosial, budaya, dan ekonomi yang berlangsung pada suatu kota, baik masa lampau dan kini, menciptakan struktur dan pola ruang lokal yang unik dan merepresentasikan apa yang menjadi karakter kota. 

Dengan pengetahuan lokal atau kearifan lokal yang mulai dilupakan pada generasi saat ini, pembentukan ruang Kota Gianyar tidak lagi mengikuti pakem atau pola ruang tradisional. Penempatan fungsi akan sangat ditentukan oleh ketersediaan lahan, bukan oleh batas komunal yang dikenal dengan desa adat atau desa pakraman. Dengan penguasaan atau kepemilikan lahan terbesar pada individu, maka tidak akan mudah pengaturan dilakukan oleh komunitas.

Penataan ruang formal yang diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) maupun pendetilannya nampaknya cenderung mengabaikan tata ruang komunitas yang telah terbentuk sejak bertahun-tahun lamanya. Dengan demikian, pembangunan tidak memiliki "karakter" yang ajeg. Apabila ruang yang dianggap suci ditempatkan berada di utara (mengarah kepada kiblat Pura Besakih), maka sejumlah fungsi lain turut berbaur, seperti jasa perbaikan kendaraan maupun ritel modern. Tempat pertemuan komunitas (warga banjar) sebagian tidak begitu jelas keberadaannya karena dominasi perumahan. Masyarakat sebetulnya telah menganut prinsip zonasi yang didasarkan atas prinsip hulu-teben (penempatan fungsi yang dianggap suci, seperti tempat ibadah, pada area yang tinggi atau arah utara) dan tri angga (penempatan fungsi sesuai dengan anggapan atas, tengah, dan bawah sesuai dengan anggapan mengenai derajat kesucian). Nampaknya prinsip ini tidak berjalan mulus dalam praktek keruangan saat ini yang didominasi oleh perubahan demografis yang pesat.

Perlahan namun dapat dipastikan, keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan digantikan dengan elemen ruang lain yang dianggap 'lebih produktif'. Skala pelayanan kota sebetulnya tidak berubah, namun penduduk senantiasa bertambah jumlahnya, sehingga diperlukan lahan bagi rumah tinggal dan usaha. Selain itu, ragam produk dan jasa yang ditawarkan membuka peluang usaha baru bagi warga kota melalui alih fungsi lahan karena potensi pasar saat ini. Dalam konteks masyarakat lokal, keberadaan "penyangga" berupa RTH adalah pewujudan elemen ruang yang juga penting dalam bentuk sema (pekuburan), uma (persawahan), dan tegalan. Keseimbangan dalam pemahaman tradisi lokak akan terganggu.

Umumnya di kota-kota lain, lahan di perkotaan seperti di Kota Gianyar, memiliki nilai yang tinggi karena kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan dari investasi. Terlebih pada lahan dengan aksesibilitas yang sangat baik terhadap jalan-jalan utama, mendorong pemanfaatan lahan yang membuka peluang investasi tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan pertokoan, terutama ritel modern, yang mengisi bagian-bagian kota.

Seperti yang disampaikan oleh Prof. Hans mengenai kota-kota di Asia Tenggara, konflik ruang antara yang tradisional dan yang modern (meliputi elemen dan fungsinya) hampir tidak dapat dielakkan. Sebagian besar kota dapat memilih untuk menerapkan strategi akulturasi maupun asimilasi. Menolak perkembangan yang modern hampir mustahil dengan geografi Kota Gianyar sebagai penghubung Bali bagian utara dan timur dengan bagian selatan yang senatiasa padat dengan komuting dan lalu lintas barang. Urbanisasi di wilayah ini pun dipercepat karena spill over atas terbatasnya kapasitas pembangunan di Bali bagian selatan, sehingga mengarahkan investasi akan lebih ke arah timur menuju Kota Gianyar melalui pembukaan akses jalan.

Dengan demikian, dualisme lebih tepat merepresentasikan karakter Kota Gianyar saat ini yang juga telah saya amati sejak sepuluh tahun lampau. Strategi akulturasi mewujud dalam ruang arsitektural mulai dari fungsi yang ternyata bisa berdampingan satu sama lain. Simak saja bale banjar atau tempat pertemuan komunitas yang berada bersandingan pada Gambar di bawah.

Tidak Ada Lagi Kapal yang Bertambat di Pelabuhan Singaraja

Singaraja telah menjadi pusat perdagangan yang ramai sejak akhir abad ke-18. Raffles pun tergiur ketika menyaksikan betapa berkembangnya pelabuhan Singaraja pada masa tersebut. Interaksi dengan pulau-pulau lain di Nusantara berlangsung intensif dan menyebabkan perkembangan kota sebagaimana adanya saat ini dengan lansekap multikulturalnya (lihat post sebelumnya).

Namun kini, pelabuhan telah dirubah menjadi objek wisata dan rekreasi. Pelabuhan digunakan untuk rekreasi warga lokal dan ditawarkan sebagai daya tarik wisata. Aktivitas nelayan juga tidak nampak. Terdapat perahu nelayan yang ditambatkan di dekat pelabuhan, namun sangat jarang ditemukan nelayan yang melaut.

Tiang pancang dermaga tetap dipertahankan keberadaannya, hanya fungsinya yang diubah. Dermaga kini ditempati sejumlah restoran yang menawarkan pengalaman bersantap di tengah laut bagi wisatawan.

Sepanjang pelabuhan dibangun koridor pejalan kaki berpenutup untuk memberikan keteduhan dari sinar matahari yang terik pada siang hari. Pada lokasi ini, dapat ditemui bangku-bangku sebagai tempat duduk bagi warga maupun wisatawan yang menikmati suasana pantai.

Di pelabuhan berdiri monumen perjuangan kemerdekaan, persis ditempatkan setelah gerbang masuk pelabuhan. Monumen berupa patung pejuang yang membawa bendera dan mengarahkan tangan menunjuk ke arah laut.

Pelabuhan secara terencana telah ditata sebagai objek wisata oleh pemerintah kabupaten Buleleng. Sejumlah fungsi pendukung pelabuhan pun telah hilang, seperti gudang, ruang tunggu penumpang, areal bongkar muat, tambatan tali kapal, maupun gedung pengawas pelabuhan. Sejumlah warung penjual makanan justru menempati sebagian areal pelabuhan berdekatan dengan lokasi parkir. Sebuah gedung pengelola objek wisata berada di tengah kawasan yang siapemberikan informasi mengenai atraksi yang hendak dinikmati.

Pelabuhan Singaraja sudah tidak ditambati kapal-kapal dan perahu-perahu. Namun, ingatan tentang kejayaan maritim Nusantara masih membekas pada lokasi ini yang ditunjukkan dengan masuknya nelayan dari berbagai daerah di Nusantara yang memutuskan menetap di Singaraja. Pelabuhan ini juga menjadi bagian ingatan kelam sejarah mengenai perdagangan budak dari Singaraja yang dijual ke Batavia melalui perjanjian raja dan pemerintah Hindia Belanda kala itu. 

Sangat disayangkan bahwa renovasi pelabuhan dilakukan tanpa menyematkan ingatan atas sejarah masa lampau. Setidaknya, menurut pendapat saya, ada museum yang menyampaikan informasi tentang arti pelabuhan ini kepada generasi muda. Jejak-jejak keberadaab pelabuhan yang dikikis melalui proyek kepariwisataan sebetulnya merupakan penghilangan aset sejarah dan wisata kota.

Menyusuri Lansekap Kultural Kota Singaraja

Kota Singaraja terletak di utara Pulau Bali. Perjalanan dari Bandara Internasional Ngurah Rai membutuhkan waktu setidaknya 4 jam melalui pegunungan yang membatasi bagian utara dan selatan pulau. Interaksi dengan daerah lain di Nusantara telah lama dimulai jauh melampui kota lainnya di Pulau Bali. Kota Singaraja adalah kota pertama yang dikuasai oleh kolonial Belanda sebelum pada awal abad ke-20, ekspedisi Belanda menyerang pesisir selatan dan menjadikan peran Kota Denpasar semakin sentral dalam perdagangan. Kota Singaraja juga pernah menjadi ibukota Provinsi Bali selama beberapa lama sebelum dipindahkan.

Interaksi yang telah berlangsung lama dengan daerah lain di Nusantara menjadikan kota ini terbentuk dengan lansekap multikultural yang lebih kaya dibandingkan kota-kota lainnya di Bali. Permukiman pun terkonsentrasi menurut etnis pada luas areal kota hanya 28 km2.

Pada kota ini terdapat Kampung Bugis, permukiman bagi orang dari etnis Bugis (Sulawesi Selatan) yang terletak di dekat pesisir pantai utara dan mendekati lokasi pelabuhan lama. Akses menuju permukiman ini adalah jalan lokal  dengan percabangannya berupa gang untuk mencapai rumah tinggal warga. Permukiman warga Bugis ini termasuk berkepadatan tinggi. Sebagian warga memeluk agama Islam yang memperlihatkan akulturasi budaya juga terjadi. Bangunan masjid mengisi ruang komunitas bersama dengan warga yang beragama Hindu.

Pada jalan utama kota, seperti Jalan Erlangga dan Imam Bonjol adalah lokasi pertokoan yang dihuni sebagian besar oleh etnis Cina. Pertokoan dibangun dengan bentuk rumah toko (ruko). Terdapat klenteng Lin Gwan Kiong yang bersebelahan dengan pelabuhan dan pertokoan yang mencirikan ragam kepercayaan yang dianut oleh warga Kota Singaraja.

Apabila kita menyusuri Jalan Imam Bonjol menuju ke utara kota, maka kita akan temukan Banjar Jawa, yang merupakan konsentrasi pemukim asal Jawa. Rumah warga yang menempati areal permukiman ini berada di jalan tersebut, namun agak mengarah ke timur menjauhi jalan utama.

Kampung Bali, konsentrasi pemukim etnis Bali, berada agak jauh dari pesisir. Corak halaman rumah yang dibatasi dengan pagar dan pintu masuk berupa angkul-angkul merepresentasikan identitas etnis warga yang menempati permukiman ini. Pada area ini terdapat sebagian besar fasilitas publik, seperti rumah sakit, sekolah, kantor pemerintahan, dan perbankan. Pura Jagatnatha yang merupakan pura terbesar di kota ini berlokasi di areal permukiman ini.

Orientasi permukiman mengarah pada jalan utama selatan -utara yang merupakan orientasi umum pada permukiman di wilayah utara Bali. Sepanjang jalan Gajah Mada menuju ke utara kota adalah kecenderungan urban sprawl meskipun hambatan fisik berupa perbukitan tetap menjadi faktor penentu.

Dengan proses interaksi sosial selama berabad-abad, kota kecil ini menyediakan ruang asimilasi dan akulturasi budaya bagi warganya. Tidak hanya dalam bahasa, melainkan juga kepercayaan, arsitektur bangunan, dan tradisi warga. Hal ini, yang sangat saya sayangkan, tidak dapat diamati dalam kunjungan singkat kali ini. Hanya sebagian yang tertangkap, seperti perpaduan antara angkul-angkul Bali atau pintu masuk pada sebuah mesjid pada gambar di bawah ini.

Perjalanan ke Tiga Pura dan Isu Penzonaan

Sebetulnya, perjalanan saya ke Bali kali ini adalah untuk berlibur. Selain menengok keluarga yang tinggal di pulau ini, juga melakukan perjalanan singkat ke pura-pura besar. Telah lama saya merencanakan perjalanan ini dengan, mengambil kesempatan liburan Natal dan Tahun Baru.

Perjalanan Menuju Tiga Pura

Perjalanan diawali dari Kota Gianyar. Melalui jalan provinsi yang menghubungkan kota ini dengan kota-kota di daerah Bali bagian timur hingga sampai di Pelabuhan Padang Bai yang merupakan pintu keluar dan masuk Bali ke dan dari kawasan timur Indonesia. Pada Pelabuhan ini terdapat salah satu pura yang menjadi tonggak transformasi tatanan sosial masyarakat Bali yang didasarkan atas keyakinan  agama Hindu. Pura ini bernama Silayukti dan dibangun untuk menghormati Mpu Kuturan, seorang tokoh dengan peran besar tersebut. Pada sekitar pulau telah dibangun restoran, bar, maupun penginapan yang dibangun berdekatan dengan pura atau hanya sekitar 200 m. Letak pelabuhan yang telah ada terlebih dahulu, berlokasi pada jarak sekitar 400-500 m. Sejumlah speedboat, perahu nelayan, dan kapal motor kecil ditambatkan mendekati pantai. Minggu ini saja, sebuah kapal pesiar berbendera Perancis meminta ijin intuk berlabuh di dermaga laut ini.

Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi Pura Goalawah. Pura ini terletak di pinggir pantai juga yang berbatasan dengan jalan raya. Pura ini terbilang ramai dikunjungi oleh wisatawan, selain mereka yang tengah melakukan persembahyangan. Tidak banyak aktivitas wisatawan di sekitar pura ini. Tidak seperti Padang Bai yang relatif lebih padat dengan kegiatan wisata. Di sekitar pura ini terdapat sedikit jumlah restoran. Fasilitas lain tidak ditemukan, seperti akomodasi bagi wisatawan.

Melewati Kota Klungkung, saya menuju ke arah utara menuju Pura Besakih yang berada di Kabupaten Karangasem. Pura ini adalah yang terbesar di Bali. Tidak seperti ingatan waktu dahulu sekitar 15 tahun yang lalu bagian kanan dan kiri jalan menuju pura masih sangat sepi. Saat ini pertokoan hampir merambah bagian jaba atau terluar dari pura. Pura ini termasuk ramai dikunjungi wisatawan luar negeri. Besakih termasuk paket tour yang dikemas untuk wisatawan dengan maksud perjalanan wisata spiritual bersama dengan pura lainnya.

Pengaturan Zona Pura

Saat ini, RTRW Provinsi Bali hendak direvisi. Revisi dilakukan karena evaluasinya setidaknya dilakukan 5 tahun sekali. Berdasarkan rekomendasi evaluasi, maka kemungkinan untuk dilakukan revisi atau tidak bergantung atas tingkat simpangan yang terjadi atau kesenjangan antara rencana dengan kondisi saat ini yang menyebabkan target kemungkinan tidak terjadi. Contoh yang mudah adalah apabila terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan yang berpengaruh, maka revisi harus dilakukan untuk menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) RTRWP.

Adanya revisi terkait dengan perubahan terkait peraturan zonasi dalam RTRWP berupaya melindungi fungsi pura, sehingga gangguan dari aktivitas lainnya tidak terjadi.  Pengaturan dalam hal ini sebetulnya telah diwujudkan secara informal melalui kesepakatan bersama antara pemuka agama yang disebut dengan bhisama. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai hal ini, namun pengaturan telah memberikan input yang berharga dari aspek tata ruang lokal ke dalam substansi RTRWP.

Kenyataannya adalah tidak sepenuhnya kondisi di lapangan ideal. Pemanfaatan ruang di sekitar pura telah ada yang digunakan oleh masyarakat sebagai hunian. Sebagian lainnya disewakan sebagai restoran dan akomodasi. Jalan akses yang digunakan pun sama antara kedua aktivitas, berwisata dan beribadah (contoh Pura Silayukti dan Besakih).

Apabila dibebaskan sepenuhnya, kesiapan untuk melakukan relokasi perlu diwujudkan secara realistis. Beruntung bahwa pemanfaatan lahan belum semasif kekhawatiran publik, sehingga pilihan realokasi masih berkesan masuk akal. Meskipun demikian, antisipasi terhadap perkembangan ke depan perlu diwujudkan. Bisa saja, pengaturan zona manfaat pura diberlakukan untuk pembangunan pada masa mendatang. Kondisi yang terjadi saat ini dapat diabaikan karena skala penyimpangan yang masih dianggap kecil.

"Konflik" pemanfaatan ruang ini tidak hanya terjadi saat ini saja, tetapi telah berlangsung lama. Telah lama, publik dibuat bingung dengan pembangunan resort di dekat Pura Tanah Lot. Persoalan yang muncul saat ini harus digunakan untuk menyesaikan persoalan ini untuk seterusnya. Menutup mata atas potensi wisata atas keberadaan pura juga tidak tepat. Telah lama didengungkan "Bali, Pulau Seribu Pura", yang  juga disampaikan dengan kebanggaan dan ditawarkan dalam brosur paket wisata. Dengan demikian, konsensus antara dua pandangan yang ekstrem harus dihasilkan.

Kota-Kota di Bali sebagai World's Cities

Bali sebagai salah satu destinasi wisata internasional sudah ternama. Sepanjang tahun, Bali dikunjungi jutaan wisatawan dalam dan luar negeri. Pariwisata telah menjadi sektor ekonomi yang sangat berkembang, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi. Peran Bali dalam berbagai misi international sangat mengemuka. Sepanjang tahun 2013, terdapat sejumlah pertemuan international, antara lain adalah APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) maupun WCF (World Cultural Forum).

Denpasar dan Kuta telah menjadi world's cities. Dalam hal ini, interaksi kota-kota tersebut dengan kota-kota lain di dunia sangat intensif. Salah satu indikasi adalah rute penerbangan internasional maupun jadwal harian yang padat. Sanur, Kuta, dan Denpasar adalah lokasi bagi kantor konsuler maupun kantor cabang perusahaan sejumlah negara. Kuta bahkan menjadi kota yang fenomenal dengan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung dalam satu tahun melebihi jumlah penduduk lokal. Penggunaan sejumlah bahasa asing pada billboard maupun kantor usaha lokal sudah lazim.

Sebagai world'cities, Kuta dan Denpasar memiliki peran lokal yang juga penting melalui penyebaran pembangunan ke wilayah sekitar Bali. Tidak hanya itu, ditempatkannya Bali dalam konteks Koridor V, meliputi Bali dan Nusa Tenggara, harus dilihat sebagai strategi difusi pembangunan, teknologi, dan ekonomi. Menjadikan Bali sebagai pintu masuk dan penyebaran aktivitas pariwisata memerlukan kesiapan infrastruktur yang diwujudkan secara baik. Kapasitas daya dukung lingkungan masih menjadi pertanyaan yang juga terkait dengan keberlanjutan kota-kota tersebut. Selain itu, kota-kota tersebut sebaiknya bukan menciptakan ketergantungan terhadap kota-kota lainnya maupun menyerap sumber daya dari daerah sekitarnya. Kaitan (linkage) dan konektivitas yang diwujudkan bukan hanya isu infrastruktur, namun juga ekonomi lokal.

Menata Kawasan Sanur dengan Konsep Pedestrian Walk

Rekreasi sudah menjadi kebutuhan setiap orang. Selain untuk melepaskan kepenatan karena aktivitas harian yang rutin, rekreasi menjadi cara agar dapat menyempatkan diri berolahraga. Kombinasi antara dua aktivitas tersebut berwujud di salah satu objek wisata yang telah berkembang d Bali, Sanur.

Pada kawasan wisata ini, dibangun pedestrian walk sepanjang pantai. Para wisatawan berkesempatan untuk berjalan maupun berolahraga. Pedestrian walk ditempatkan di depan resort wisata maupun hotel yang sekaligus membatasi dengan areal pantai atau sempadan pantai. Sepanjang jalur, selain resort dan hotel, juga adalah toko, warung, dan restoran yang jumlahnya semakin banyak. Apabila para pengunjung memilih untuk bersepeda, mereka dapat menyewa sepeda pada lokasi masuk menuju pantai.

Pemanfaatan secara bersama sebetulnya sudah tepat. Hanya saja dimensi lebar jalur tidak cukup memadai. Pada situasi ramai, umumnya pagi hari, konflik pemanfaatan kerap terjadi. Bunyi dering sepeda memaksa pejalan kaki untuk berjalan lebih ke pinggir lagi. Untuk menikmati aktivitas berjalan maupun bersepeda bisa jadi kurang menyenangkan.

Menyusuri jalur yang disediakan sangat ideal dilakukan pada pagi hari sembari menikmati matahari terbit. Keteduhan di sepanjang jalur juga sangat diperhatikan melalui konsep telajakan. Dengan konsep ini, tiap muka halaman resort dan hotel ditempatkan pohon dan taman yang menambah asri kawasan, serta sekaligus menjadi areal penyangga tiap resort dan hotel dari aktivitas di pantai yang terkadang ramai.

Konsep pedestrian walk ini sangat didorong melalui pengelolaan lalu lintas. Akses kendaraan bermotor menuju pantai dibatasi, hanya diperuntukkan bagi kendaraan kecil maupun bukan bermotor. Dengan konsep pedestrian walk, kawasan ini terbebas dari polusi suara dan kendaraan, serta meningkatkan daya tarik kawasan melalui aktivitas rekreasi dan wisata yang bervariasi.

Sawah di Tengah Kota: Mungkinkah?

Di antara himpitan areal industri dan perumahan, terdapat areal persawahan yang masih berproduksi dan bertahan. Aksesibilitas pada kawasan sekitarnya yang membaik dengan dibangunnya jalan dan pelayanan transportasi publik, telah meningkatkan harga lahan pada kawasan tersebut. Areal persawahan ini menjadi pecahan mozaik dalam ruang kota yang penuh dengan warna kuning (perumahan), jasa (merah muda), dan abu-abu (industri). Luasan dapat mencapai puluhan ribu hektar yang secara signifikan menentukan arah pengembangan guna lahan dan infrastruktur.

Fenomena ini menarik dari aspek keruangan. Model alokasi lahan Von Thunen yang dipelajari oleh para perencana kota dan wilayah meangasumsikan timbulnya efisiensi pasar lahan, dimana peruntukan lahan produksi komoditas dalam ruang dipengaruhi oleh tingkat produktivitas lahan. Komoditas dengan produksi tertinggi akan mengokupasi lahan dengan kondisi terbaik dan dengan harga tertinggi. Seiring dengan menjauhnya dari "pusat", lahan ditempati oleh aktivitas cocok tanam komoditas dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah. Dengan kondisi saat ini, produktivitas tinggi ditunjukkan oleh nilai tambah tertinggi atas produk dan jasa. Secara umum, teori ini menjelaskan mengenai properti di perkotaan mengambil alih lahan sawah dan membentuk urban sprawl (penyebaran perkotaan). Pertanyaannya: apakah urban farming mampu bersaing dengan komoditas lain, seperti ritel, industri, jasa, yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi?

Keberadaannya urban farming bisa jadi adalah fenomena sementara dalam pasar lahan di perkotaan. Model Von Thunen barangkali tepat dalam menjelaskan fenomena jangka panjang atas alokasi ruang yang lebih efisien. Dalam jangka pendek, harga lahan akan ditentukan oleh negosiasi antara pembeli dan penjual yang juga bergantung atas faktor emosional dan psikologis, seperti tidak mudah melepas tanah warisan leluhur. Keberadaan urban farming ini jdapat dianggap fenomena jangka pendek atau belum mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi.

Urban farming masih ada dan dikerjakan sebagai profesi oleh sebagian warga kota. Dengan tingkat keuntungan marjinal yang relatif dianggap memadai, maka  aktivitas ini akan tetap ada. Keberadaan infrastruktur perkotaan yang relatif baik dibandingkan di perdesaan menjadi salah satu faktor, seperti perbankan, transportasi, maupun pasar. Pemahaman atas keberadaan aktivitas ini menentukan arah pengembangan lahan, termasuk infrastruktur kota. Namun saat ini, pengaturannya masih belum jelas dan tegas.

Jalur Kereta Api yang Tergilas Pembangunan Jalan

Ketika Toll Trans Java sedang dibangun, sekian misi barangkali sudah terbayang akan segera diwujudkan oleh pemerintah. Pembangunannya akan dapat mendorong pewujudan Trans Asia dan ASEAN Highway sampai dengan Koridor Ekonomi Indonesia (KEI) dalam MP3EI. Disamping itu, keberadaan jalan ini akan menjadi tulang punggung perekonomian di Pulau Jawa. Trans Asia dan ASEAN Highway sudah muncul lebih dulu dengan rencana yang diisiasi oleh UNESCAP, komisi sosial ekonomi di bawah PBB untuk kawasanAsia Pasifik, pada tahun 1990-an. Sementara itu, KEI muncul belakangan pada tahun 2011. Seakan hal ini merupakan pertanda bahwa transportasi darat kita akan lebih berat didukung oleh jalan.

Jawa yang merupakan pulau dengan luas hanya seperenam luas seluruh daratan Indonesia, menampung hampir 60% penduduk Indonesia. Pulau yang juga menjadi basis pertanian pangan dan industri di Indonesia sejak dahulu, kini pun mulai kehilangan lahan produktif. Sejumlah pakar mengatakan bahwa kondisi ini adalah akibat pesatnya urbanisasi yang mendorong tumbuhnya kota-kota dan pembangunan transportasi yang mengandalkan pada kendaraan bermotor. Saat ini, panjang jalan di Jawa dan Sumatera mencapai 2 kali lipat panjang jalan di Sulawesi dan 3 kali lipatnya dari Kalimantan. Kondisi ini menegaskan pembangunan jalan mengikuti perkembangan ekonomi yang memang sangat pesat di Pulai Sumatera dan Jawa.

Secara perlahan, jaringan rel kereta yang terbangun sejak zaman kolonial Belanda mulai dilupakan keberadaannya. Pada awal abad ke-21, perjalanan antara Jakarta - Bandung sudah tidak mengandalkan kereta lagi, tetapi kendaraan minibus dengan kapasitas sampai 10 orang per trip melalui tol Cipularang. Jalan mendatangkan keuntungan privat yang luar biasa besar, misalnya: tarif perjalanan lebih murah, lebih nyaman dilengkapi AC dan tempat duduk eksklusif, point to point advantage, dan lain-lain. Dari sudut pandang penyediaan infrastruktur, jalan bisa lebih mahal karena terdapat perhitungan atas pemeliharaan aset, frekuensi kecelakaan, dan beban kemacetan di kota-kota yang terhubungkan.

Saat ini, jaringan rel yang ada tetap mengingatkan tentang basis perkembangan kota-kota di Jawa yang lebih dahulu diwadahi oleh rangkaian lokomotif dan gerbong yang melalui. Jaringan rel yang membelah kota-kota menjadi counter culture dari perilaku bertransportasi yang lebih mengandalkan jalan (road base). Bisa juga terjadi karena keterpaksaan atau istilahnya dalam bidang transportasi "captive users" atau dapat menjadi pilihan yang rasional. Pengalaman saya ketika menjelajahi Bandung-Yogya-Solo-Surabaya dalam semalam: dibandingkan menghabiskan uang dan waktu dengan menggunakan mobil untuk menempuh jarak hampir 1.000 km, saya lebih memilih untuk menikmati dan merasakan sensasi derap roda gerbong sepanjang jalur kereta api yang sudah tertanam lebih 100 tahun lampau.

  

Subak sebagai Warisan Dunia Menghadapi Perubahan

Hubungan orang Bali dengan alam, terutama air sebagai elemen kehidupan sangatlah erat. Upaya pengelolaan air di daratan menciptakan sistem sosial yang sudah sangat dikenal di seluruh dunia dengan nama Subak. Subak lebih dari sebuah organisasi lintas komunitas yang mengelola air untuk kepentingan masyarakat petani yang dilalui oleh sungai, anak sungai, maupun bagi mereka yang mengambil air dari tubuh perairan untuk berbagai keperluan. Subak dibentuk sejak pemerintahan oleh raja-raja lokal, namun organisasi dan praktek atas sistem sosialnya yang sudah berabad-abad masih tetap bertahan.

Ketika tata guna lahan berubah, kawasan perkotaan tumbuh, struktur ekonomi mengalami transformasi dan kelembagaan baru muncul, pola interaksi orang Bali dengan perairan turut mengalami perubahan. Inovasi sistem sosial yang merupakan kekayaan budaya lokal berhadapan dengan kekuatan ekonomi global melalui industri pariwisata. Saat ini, konversi lahan berlangsung ekstensif yang mengubah desa-desa menjadi kawasan perkotaan, seperti Sanur, Kuta, Ubud, dan lainnya. Masuknya investasi dalam berbagai industri di luar pertanian menstrukturkan ulang ekonomi lokal yang kini bercorak tersier (jasa pariwisata). Kelembagaan pelayanan oleh pemerintah menggantikan pelayanan oleh komunitas, seperti administrasi penduduk dan pengaturan ruang komunal. 

Seiring dengan perubahan tersebut, peran Subak dan penghargaan masyarakat atas air sebagai sumber kehidupan dan akar budaya lokal mulai berkurang.  Subak tidak memiliki kewenangan untuk mengendalikan konversi lahan warga. Secara rasional, masyarakat menginginkan kelengkapan infrastruktur publik, seperti jalan yang mengubah lansekap lahan pertanian dengan tujuan mendatangkan keuntungan finansial usaha. Pelayanan atas air minum maupun irigasi diambil oleh pemerintah daerah, sehingga pengelolaan dialihkan sebagian kepada birokrasi dan pemerintahan.

Ketika Subak ditetapkan sebagai World Heritage Sites (lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_World_Heritage_Sites_in_Indonesia) pada 29 Juni 2012, saya beranggapan masih adanya persoalan eksistensi sistem sosial ini. Subak adalah aset yang bersifat intangible karena bukan sebagai area yang bisa dideliniasikan secara mudah, tetapi merupakan sistem dan praktek sosial yang dikerjakan secara berkelanjutan oleh komunitas. Hampir seluruh praktek tersebut tidak terdokumentasikan, melainkan atas inisiatif komunitas. Subak bukan pula pengelolaan suatu kawasan tertentu seperti daerah aliran sungai (DAS) atau wilayah sungai. Subak juga tidak memiliki kewenangan dalam mengendalikan konversi lahan di wilayah operasionalnya, terutama untuk mencegah terputusnya saluran, bendung, dan lain-lain. Dengan kecenderungan peralihan guna lahan,  dengan sendirinya organisasi dan sistem kerja menjadi hilang karena tidak diterapkan.

Ketika rekan saya yang memang menggeluguti bidang sumber daya air menyampaikan kegembiraannya atas ditetapkannya Subak sebagai World Heritage Sites  saya lebih melihatnya sebagai usaha yang lebih keras lagi untuk mengelola kembali hubungan manusia dan alam kita lebih harmonis. Kelembagaan yang ada bukan muncul di ruang kosong, melainkan diterapkan dan dihayati dalam jangka waktu yang panjang, sehingga berkembang dan menjadi lebih kompleks. Ketika alih guna lahan masih terjadi atas kemauan masyarakat yang melihatnya sebagai keuntungan ekonomi, maka dapat dipastikan secara perlahan Subak pun hilang.

Suatu sistem sosial harus dapat dipahami lebih dari praktek keseharian atau wujud fisik yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Ritual pembersihan diri dengan media air yang dilakukan saban harinya di Pura Tirta Empul di Tampaksiring, Bali, sesungguhnya adalah keinginan hakiki dalam diri kita untuk berdekatan dengan Sang Hyang Widhi dan lingkungan alam. Dibalik segala sesuatu yang mewujud ke dalam tradisi, perilaku, adat istiadat, terdapat filosofi yang mendasarinya. Hal ini pula yang membentuk Subak sebagai suatu sistem sosial seperti yang dikenal saat ini.

Area suci untuk membersihkan diri secara rohani dan jasmani
di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar

Gemerlap Waterfront Kota Kuching pada Malam Hari

Deretan bangunan tinggi yang berpendar cahaya lampu di sepanjang Sungai Kuching pada malam hari menjadi pemandangan menarik di tepian Kota Kuching. Diantara sumber cahaya tersebut adalah billboard yang terpasang tinggi dan menempel bangunan yang merupakan hotel. Berpadu dengan dengan ketenangan riak Sungai Kuching, kawasan koridor tersebut menciptakan daya tarik bagi pengunjung Kota Kuching. Justru pada malam hari jumlah kunjungan semakin bertambah. Suasana semarak dapat dinikmati sampai dengan pukul 12 malam pada tiap malanya dan pukul 2 malam pada saat akhir pekan.

Sepanjang sungai adalah pedestrian walk yang menyisir tepian sungai yang dibatasi dengan pagar. Beberapa spot di sepanjang koridor diisi dengan para penjual makanan yang beroperasi pada malam hari. Lampu pada tepian sungai diatur pencahayaannya agar tidak terlalu menganggu suasana tenang yang tercipta. Mereka yang ingin menyusuri sungai dapat mengikuti tour yang disediakan atau menyewa perahu sendiri. Pengunjung juga dapat bersepeda dan melakukan berbagai aktivitas outdoor secara leluasa di sepanjang tepian yang tertata. Kerumunan anak muda dapat dijumpai ketika hari semakin bertambah larut. Mereka bernyanyi dan bercengkerama satu sama lain.

Penataan kawasan tepian sungai dengan konsep waterfront city relatif jarang kita jumpai di kota-kota di Indonesia (koreksi apabila salah!). Sebagian, entah disadari atau tidak, telah dilakukan dengan sangat baik, seperti di Kota Palembang pada Sungai Musi.

Ketika saya berkunjung ke Banjarmasin, sangat sulit untuk mencari spot pada pinggir sungai yang dapat digunakan untuk berekreasi. Tiga hari sebelum saya menyambangi Kota Kuching, saya baru berkunjung dari Pontianak dan menyempatkan diri menikmati suasana pinggiran Sungai Kapuas. Kesimpulan saya, ada yang perlu dibenahi mulai dari mind set kita dalam berhubungan dengan tata air: penghargaan atas keberadaannya. Sungai adalah sumber daya yang tidak hanya sekedar "air", namun perpaduan ruang sosial dan daya tarik rekreasi yang dapat dijumpai di pinggiran Sungai Kuching.


Menengok "Halaman Tetangga" Kota Kuching

Perjalanan dari Biawak di perbatasan negara dengan Malaysia di Kabupaten Sambas menuju Kota Kuching ditempuh selama kurang lebih 2 jam. Tidak banyak pemandangan yang dapat saya nikmati karena saat itu hari sudah gelap. Namun yang paling menarik adalah apa yang saya rasakan dari derap roda kendaraan yang melewati jalan-jalan mulus sepanjang kurang lebih 100 km menuju Kota Kuching. Berbeda dengan perjalanan dari Sambas menuju Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Aruk, yang dapat dikatakan masih perlu peningkatan serius.

Kota Kuching merupakan salah satu dari 4 kota terbesar di Malaysia dari jumlah penduduk. Meskipun berperingkat demikian, kota ini bukanlah sebuah metropolis. Sebagai ibukota negara bagian Sarawak, Kota Kuching menjadi pusat administrasi dari sekitar 1,4 juta populasi di negara bagian tersebut. Kota Kuching bergantung pada sektor pariwisata dan pemerintahan, sementara wilayah hinterland-nya adalah kawasan pertambangan dan kehutanan yang sangat kaya. Besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh Sarawak jauh melampui atau mencapai lebih 20 kali lipat dari Provinsi Kalimantan Barat di negara tetangga yang berbatasan langsung!!! Berdekatan dengan Kota Kuching adalah Kota Samarahan yang merupakan pelabuhan penting di negara bagian tersebut. Sepanjang perjalanan antara Kota Kuching dan Kota Samarahan dapat dijumpai kawasan industri dan ritel besar yang menggerakkan perekonomian negara bagian Sarawak.

Dinamai sebagai Kota Kuching memiliki keterkaitan dengan penyebutan "kucing" dalam bahasa Indonesia yang merupakan binatang mamalia. Pada beberapa bagian kota ditempatkan patung kucing yang menegaskan hal tersebut. Namun, tidak banyak binatang mamalia mungil ini yang saya temui dipelihara dan dimiliki oleh warga kota. Dua versi sejarah yang dituliskan dalam wikipedia menyebutkan salah satunya keberadaan pohon buah mata kucing yang terletak di Bukit Mata Kucing http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kuching, sehingga penamaan kota mengikuti hal tersebut. Versi sejarah lainnya mengungkapkan nama sebenarnya adalah Sarawak yang berarti "serah awak" pada masa Majapahit dan menjadi wilayah yang diberikan kepada Majapahit dari pihak Kesultanan Brunei.

Dari perjalanan singkat ini, saya dapat sampaikan Kota Kuching memiliki magnet yang kuat dari aspek pariwisata. Kota yang berada di pinggiran Sungai Kuching ditata sedemikian rupa dan menjadi pusat aktivitas wisatawan, khususnya malam hari. Taman-taman kota dibangun secara ekstensif dan dilengkapi dengan patung kucing dengan berbagai pose dan warna untuk menegaskan identitas kota. Pemandangan dari ketinggian gedung parlemen Sarawak menunjukkan luasan area hijau yang terjaga dengan baik pada beberapa kawasan dan jalur jalan. Infrastruktur jalan dibangun dengan koneksi yang baik dengan wilayah sekitarnya. Tidak ada jalan yang berlubang dan fasilitas pejalan kaki yang dibangun untuk kenyamanan pada siang hari yang terik matahari sekalipun. Tidak mengherankan bahwa kota ini menjadi urutan atas destinasi wisata Malaysia.

Poin yang ingin saya sampaikan: Bagaimana kita menata "halaman rumah" sendiri agar menjadi lebih menarik dan memiliki nilai tambah yang tinggi? Dengan demikian, ia tidak sebagai halaman yang terbengkalai dan terkesan tidak terurus, sehingga penghuni rumah yang lebih sering berkunjung ke rumah tetangga, seperti yang dilakukan para TKI dan TKW yang saya temui di PPLB Aruk. Keberadaan kota tetangga kita dapat membuka mata atas masih senjangnya pembangunan di kawasan perbatasan kita.

Melihat rumput tetangga yang lebih hijau sesungguhnya menjadi cambuk bagi diri untuk berbuat lebih baik...


Sedikit Pandangan mengenai Gang dan Penataan Jaringan Jalan di Perkotaan


Jalan sempit pada permukiman komunitas atau disebut "gang" kerap absen dalam diskusi  mengenai penataan ruang maupun pengembangan jaringan jalan di perkotaan. "Gang" merupakan wujud fisik dari dari subkultur pembangunan perkotaan yang masih minor dalam intervensi. Gang dibangun oleh swadaya masyarakat mulai dari pengadaan lahan dan pembangunannya. Dengan dana pembangunan yang terbatas, gang tidak memiliki kelengkapan teknis sebagai sebuah jalan, seperti drainase. Begitu pula dengan ruang lalu lintas yang berbatasan langsung dengan lahan miliki pribadi (privat).

Eksistensi atas keberadaannya berada pada wilayah abu-abu antara pengendalian atau pembiaran. Kompleksitas timbul ketika sebagian warga kota tinggal di permukiman informal yang juga membutuhkan infrastruktur. Apabila jalan lingkungan perkotaan menandai alokasi ruang pada perumahan formal yang juga mengarahkan sistem jaringan air bersih, internet, atau listrik, maka gang merupakan wujud fisik yang sulit diprediksikan perkembangannya dan belum secara jelas mendapatkan kepastian layanan infrastruktur secara baik.

Sebagian besar gang di perkotaan memiliki koneksi yang baik dengan jaringan jalan sekunder (perkotaan). Namun secara hirarki tidak menunjukkan penataan jaringan jalan yang baik. Gang secara langsung dapat berkoneksi dengan jalan kolektor arteri sekunder (contoh: Jalan Ir. H. Djuanda, Bandung dan masih banyak lainnya) yang dapat mengganggu lalu lintas. Selain itu, muka gang tidak secara mudah dapat diprediksikan pembangunannya oleh komunitas di sekitar karena bergantung dari kepentingan sepihak komunitas. Penataan jaringan jalan menjadi tantangan yang harus dipecahkan oleh perencana kota.

Sayang sekali, ketersediaan data dan informasi mengenai jaringan gang ini masih sangat sedikit. Proses perkembangannya pun sangat dinamis dibandingkan dengan jaringan jalan perkotaan pada umumnya. Suatu gang dapat tumbuh diikuti dengan gang-gang lainnya. Dengan ketersediaan lahan pengembangan permukiman pada suatu komunitas yang kian padat, maka pembentukan gang pun menjadi jenuh dan mengalami tahap konsolidasi. Meskipun demikian, gang adalah wujud fisik pembangunan kota yang perlu mendapat perhatian karena kebutuhan penataan jaringan jalan yang lebih tertib dan tuntutan penataan ruang yang mampu melayani seluruh warga kota. 

Dalam Press Release Hari Habitat Dunia 2013 oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU yang dapat disimak pada http://ciptakarya.pu.go.id/v3/dok/press_release_HHD_2013.pdf tercatat 5.560 titik lokasi kumuh perkotaan di 1.975 kelurahan/desa, pada 78 kota dan 158 kabupaten di Indonesia . Dalam Laporan Podes yang dikutip oleh sumber tersebut tercatat 27.378.677 jiwa atau setingkat 7.065.981 Kepala Keluarga tinggal di kawasan kumuh. Dengan demikian, gang pada permukiman di perkotaan layak mendapatkan perhatian karena sebagian besar berada pada area tersebut.




Kontes Ruang dalam Mewujudkan Kota Bersama

Pertumbuhan kota yang pesat menyebabkan permintaan atas lahan meningkat. Harga lahan yang tinggi menjadi refleksi terhadap permintaan yang tinggi, sementara sediaan sangat terbatas. Kompetisi antarguna lahan semakin ketat, sehingga efisiensi dan rasionalitas pemanfaatan lahan mengambil peran dalam menentukan wujud ruang kota. Ilustrasi atas hal tersebut ditunjukkan oleh pola pemanfaatan ruang kota dengan aksesibilitas yang baik berada di "pusat" dan pinggirannya adalah fungsi pendukungnya (perumahan, ritel kecil). Pola multi-pusat adalah wujud yang lebih mirip untuk menggambarkan kota-kota di Indonesia, dengan ketergantungan "pusat" lebih rendah akibat pelayanan yang diberikan menyebar. Namun hal ini tidak serta merta menyebabkan adanya desentralisasi dan dekonsentrasi pergerakan dan aktivitas, sehingga efisiensi sosial dapat dicapai.

Sangat disayangkan bahwa sesungguhnya sesuatu yang harus dikelola sebagai pelayanan publik pun harus dikooptimasi oleh mekanisme pasar yang sebetulnya tidak efisien tersebut. Sebagaimana ditunjukkan oleh bangunan apartemen tinggi yang ada di dalam Gambar, bangunan mendominasi pemanfaatan ruang sekitar. Tidak hanya secara horizontal, melainkan juga secara vertikal. Apabila semula ada banyak orang yang dapat menikmati pemandangan pegunungan yang nampak di latar belakang, kini hanya dapat dinikmati oleh orang yang tinggal di apartemen tersebut.  Apartemen berada di dalam kota dan dekat dengan salah satu subpusat. Alokasi ruang pada bangunan tergolong masif dan membangkitkan pergerakan dalam jumlah yang besar dengan intensitas interaksi berada di luar subpusat. Apartemen berada di sekitar perkampungan dapat menjadikan harapan atas integrasi kultural timbul, namun dengan kaitannya sosial ekonomi antarkeduanya yang rendah, peleburan dua kelompok sosial ke dalam suatu komunitas belum dapat diwujudkan.

Kondisi ini menunjukkan wujud ruang kota yang rendah dalam clarity. Intervensi yang diharapkan dari instrumen pengaturan yang ada tidak cukup efektif karena rendahnya kompetensi regulator dalam menggunakannya. Kondisi ini justru mendorong arah penataan ruang yang bercorak laisez faire atau tanpa pengendalian atas pasar lahan dan alokasi ruang. Tidak mengherankan bahwa aspek keadilan dalam menikmati ruang bersama terpinggirkan. Biaya sosial yang ditanggung menjadi kentungan pribadi sebagian orang, termasuk pelayanan atas jasa tidak langsung, berupa deretan pegunungan di sekitar Bandung yang saat ini hanya dimiliki segelintir orang saja. Contoh ini hanya sebagian kecil yang bisa kita ungkapan dari pengaturan lokasi dan pembangunan yang kurang baik. Bisa juga dibayangkan betapa macetnya jalanan yang melalui kawasan dengan keberadaan sejumlah pemukim pada bangunan. Kapasitas infrastruktur untuk mendukung aktivitas belum tentu dapat dipenuhi untuk semua.

Pola ruang kota yang arah pengembangannya belum jelas atau tidak didukung oleh instrumen lain yang memadai adalah biaya sosial yang menganggu rasa keadilan kita. Dikhawatirkan, ruang kota menjadi kontes pertarungan yang sulit menjadi imbang karena kekuatan uang yang seakan dapat memenangkan segalanya.

Pertimbangan Kerentanan Akses Jalan bagi Pejalan Kaki

Jalan adalah milik semua orang. Jalan digunakan sebagai wadah pergerakan karena kebutuhan untuk bertransportasi. Secara dominan, jalan dipersepsikan sebagai ruang milik bagi pengguna kendaraan bermotor. Padahal kebutuhan bagi pergerakan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor lainnya.

Aksesibilitas dapat didefinisikan sebagai derajat kemudahan untuk berinteraksi. Aksesibilitas juga menjadi ukuran, yang bisa merupakan biaya maupun waktu, untuk mencapai suatu tujuan atau destinasi. Suatu ukuran yang diperkenalkan pada bidang perencanaan transportasi adalah road access vulnerability yang menggambarkan kerentanan bagi pengguna jalan yang beragam tersebut untuk menggunakan jalan dalam berbagai kondisi. Secara mudahnya, kondisi jalan yang terdegrasi atau menurun fungsinya menyebabkan semakin tingginya waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan semakin tinggi ketergantungan suatu lokasi terhadap suatu jaringan jalan, maka "kerentanan" akan semakin tinggi. Hal ini umumnya terjadi pada kawasan dengan permukiman yang menyebar dengan koneksi jaringan yang terbatas.

Di kawasan perkotaan, pengelolaan jalan yang kurang mempertimbangkan aksesibilitas bagi pejalan kaki menyebabkan tingkat kerentanan akses yang diterima meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi trotoar dengan penghalang fisik yang tidak diperhatikan keberadaannya. Kondisi pedestrian walk yang tidak dibangun dengan standar yang benar. Kondisi fasilitas pejalan kaki yang kurang baik dapat menimbulkan beban psikologis berupa berukurangnya rasa aman. Waktu tempuh yang lebih lama juga menjadi salah satu ekses dari kondisi prasarana yang kurang baik dan kurang standar, contohnya adalah kontur trotoar yang tidak rata.

Pertimbangan kerentanan akses tersebut mampu menjelaskan mengapa fasilitas pejalan kaki kurang diminati untuk digunakan dibandingkan kendaraan bermotor.  Pada captive user, tidak ada pilihan untuk menggunakan moda angkutan lain, sehingga ketergantungan yang tinggi terhadap ketersediaan dan koneksi jaringan fasilitas pejalan kaki. Waktu tempuh ternyata lebih lama dibandingkan dengan kendaraan bermotor karena adanya penghalang fisik, seperti pemanfaatan ruang parkir dan pembatas pada median yang menyulitkan pejalan kaki untuk menyeberang. Berdasarkan pertimbangan ini, maka kita bisa melihat prasarana pejalan kaki dalam konteks bertransportasi yang lebih berkeadilan.

.


The Beauty Has Torn: Satu Koleksi Swedish National Museum

The Beauty Has Torn adalah salah satu karya seni yang dipajang di Swedish National Museum di Kota Stockholm.  Karya ini merupakan hasil seni instalasi yang saya lupa mencatat pembuatnya. Di antara karya-karya seni lain yang menjadi koleksi museum ini, karya ini merupakan salah satu favorit saya.

The Beauty Has Torn menarik karena desain dan bahan yang digunakan. Karya seni ini mewujudkan gaun wanita dalam ukuran ramping dengan desain pakaian dibuat serealistik mungkin berupa baju terusan. Tidak ada corak warna dan ornamen. Apabila pakaian biasanya terbuat dari kain atau perca, maka karya ini dibuat dengan pecahan-pecahan kaca. Tiap pecahan berukuran kecil dan ukurannya tidak beraturan yang dirangkai dengan kawat atau tali yang halus. Karya ini dipajang dengan diputar pada pegangannya, sehingga setiap sisi dapat dilihat dan dinikmati oleh pengunjung. Dengan teknik pencahayaan, karya ini membiaskan cahaya pada dinding di sekitar ruangan gedung maupun kepada para pengunjung.

The Beauty Has Torn merupakan koleksi Museum yang dimasukkan ke dalam periode abad ke-21 dan berada pada ruangan pada kelompok karya pada periode yang sama di Museum ini. Sebagian besar karya pada periode ini digambarkan dengan penolakan terhadap rasionalitas dan fungsionalitas dalam karya seni pada abad sebelumnya. Wujud dari karya tidak memiliki representasi secara langsung dengan suatu benda dalam dunia realitas kita atau sengaja diwujudkan bukan untuk menampilkannya sebagai benda semata, namun sebagai media komunitasi atas pesan tertentu (semoga saya tidak salah  :> ).

Karena saya tidak pernah belajar intepretasi seni secara khusus, selain mengenal tampak visual maupun dimensi, maka saya saya interpretasikan karya ini semampunya. Menurut saya, The Beauty Has Torn memvisualisasikan kritik atas sifat alamiah perempuan yang dibangun atas kesamaan persepsi yang disebut sebagai menarik atau cantik dengan fitur fisik: ramping, tinggi, dan hiasan.  Tidak sulit menemukan konstruksi persepsi tersebut dalam iklan di media massa. Konstruksi tersebut "menghancurkan" perempuan sebagai pihak dengan kemandirian yang memiliki tubuh. Reduksi pengertian perempuan secara tidak sadar menciptakan keterasingan atas apa yang sudah dianugerahkan kepadanya dan berupaya memperlakukan diri sesuai konstruksi persepsi umum. Pada akhirnya, kecantikan perempuan dibangun dari pecahan-pecahan rapuh pemahaman diri yang tidak lagi alamiah.

Selain menikmati karya seni tersebut, banyak kesan menarik lainnya ketika berkunjung ke Swedish National Museum. Salah satunya, museum ini merangkai sejarah gagasan yang dimiliki bangsa dan kota tersebut, serta menyimpannya secara baik dan terjaga. Karya seperti The Beauty Has Torn merupakan kritik zaman yang dipelihara secara gagasan maupun fisik. Tiap karya seni membuka peluang interpretasi bebas sesuai pemahaman kita atas suatu masalah. Barangkali dengan demikian, semakin banyak dari kita mencari refleksi atas gagasan dalam suatu zaman melalui koleksi museum nasional yang saat ini justru makin berkurang jumlahnya, bukannya bertambah seiring waktu.

Daya Tarik Patung Naga di Pantai Kamali, Pulau Buton

Selain dikenal dengan kekayaan alamnya berupa aspal alam, Pulau Buton juga merupakan destinasi wisata di Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki sejumlah daya tarik wisata sejarah, alam, maupun budaya . Salah satunya wisata alam di Pulau Buton adalah Pantai Kamali.

Wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kamali akan menyadari dengan cepat keberadaan patung naga setinggi sekitar 5 m. Pantai ini berdiri di tengah pinggir pantai yang ditata menjadi taman rekreasi oleh Pemerintah Kota Bau-Bau. Pada malam hari ketika cuaca cerah, suasana pantai ramai dengan warga sekitar yang turut memanfaatkan areal pantai sebagai tempat rekreasi. Dengan suhu dapat mencapai 33 derajat Celsius pada tengah hari pada musim kemarau (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bau-Bau),  malam hari menjadi waktu kunjungan yang banyak dipilih.

Patung naga ini merupakan simbol masyarakat sejak masa pemerintahan Kesultanan Buton. Untuk melengkapi  postur naga, ekor naga ditempatkan di dekat Gedung Walikota Bau-Bau di terletak perbukitan lebih dari 5 km dari lokasi pantai. Namun, sebagian besar badan naga tidak dibuat dan diimajinasikan tertanam di dalam bumi antara lokasi munculnya kepala dan ekor naga. Meskipun tertanam di dalam bumi, naga dianggap berasal dari langit (sumber: http://orangbuton.wordpress.com/2009/10/23/makna-simbolis-pada-istana-malige-buton). Keberadaan naga ini mengisahkan asal-usul suku Wolio, yang menghuni Kepulauan Buton, Muna, dan Kabaena di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang diyakini berasal dari daratan Cina.

Lokasi berdirinya patung naga ini merupakan spot berfoto populer di kalangan para wisatawan. Dengan dikelilingi oleh beragam aktivitas pada malam hari,  seperti penjualan makanan dan permainan anak, serta  rekreasi, patung naga menjadi salah satu pusat daya tarik di Pantai Kamali.


Lansekap Kultural Kota Singkawang Masa Kini

Pada awalnya, Singkawang merupakan bagian dari Kesultanan Sambas yang digunakan sebagai persinggahan para pedagang dan penambang emas yang sebagian besar dari Cina. Kota Singkawang pada masa itu merupakan jalur penting perdagangan penting yang melalui Laut Cina Selatan, Laut Natuna, dan Selat Malaka. Perkembangan kota yang dinilai baik menjadikan sebagian dari para pedagang dan penambang yang berasal Cina menetap dan menjadikan kota sebagai pusat aktivitas penting di Kalimantan Barat sampai saat ini.

Kota tumbuh dengan akulturasi antara dua budaya besar, yaitu budaya Kong Hu Cu dan Islam. Bangunan vihara (disebut juga kelenteng atau pekong) dan masjid yang tersebar pada bagian-bagian kota yang menjadikan landsekap kota ini semarak dengan pertemuan kedua budaya besar tersebut. Salah satu kelenteng yang terbesar di kota ini adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang berdiri bersebelahan dengan Masjid Jami.

Pada perayaan Cap Go Meh,  Singkawang pun didatangi para pesiarah dan wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia maupun negara tetangga. Dalam perayaan tersebut juga disertai dengan ritual Tatung yang merupakan upacara pengusiran roh-roh jahat dan bersamaan dengan peringatan Cap Go Meh, ritual Tatung dilarang pada masa Orde Baru. Dalam perayaan tersebut, suku Dayak turut terlibat karena adanya kemiripan dengan upacara adat  Dayak.

Pada pusat kota, corak arsitektur Tiong Hoa pada bangunan pertokoan berbaur dengan arsitektural lokal dan kolonial yang tetap dipertahankan. Pertemuan sejumlah kebudayaan di Kota Singkawang telah membentuk lansekap multikultural kota yang tidak begitu sulit ditemukan dan ditandai sebagai karakter kota bagi para pelancongnya.

Vihara Tri Bumi Dharma
Masjid Jami

"Manusia Semut" Menyisir Jalan di Perbatasan Sambas - Sarawak

"Manusia semut" adalah julukan bagi penjual gula pasir dengan mengendarai sepeda motor di perbatasan antara Sajingan Besar di Kabupaten Sambas dengan Sarawak di Malaysia. Mereka ini adalah aktor krusial dalam mendistribusikan gula pasir di desa-desa pada kecamatan tersebut yang memang masih terisolasi karena buruknya aksesibilitas. Dengan mengendarai motor, maka keleluasaan mobilitas dapat diperoleh untuk menjangkau desa-desa dengan kondisi jalan yang tidak seluruhnya baik. Meskipun dari pembebanan kendaraan sudah tidak memadai, manusia semut memiliki keterampilan yang diasah dan tingginya motivasi menarik keuntungan karena kesenjangan harga yang besar. Kendaraan yang digunakan pun kerap penuh dengan tumpukan gula pasir pada jok belakang maupun sisi depan.

Ketika aksesibilitas masih buruk, distribusi barang pun terhambat, bahkan berhenti. Dalam teori ekonomi geografis, kesetimbangan wilayah tidak tercapai yang berakibat pada mahalnya biaya transportasi yang berimplikasi pada buruknya distribusi dan mahalnya harga produk pada wilayah dengan aksesibilitas yang rendah. Investasi yang diharapkan guna menciptakan "industri" pun akan sulit dicapai dan pemanfaatan sumber daya lokal (material, sumber daya manusia) akan masih pada taraf minimal.

Manusia semut telah menjadi distributor informal atas produk bahan pokok, seperti gula pasir di kawasan perbatasan Sambas. Ada yang menyebutkan gula yang diperoleh berasal dari negara tetangga yang masuk ke tanpa pengawasan atau custom yang memadai. Aksesibilitas jalan yang masih buruk menciptakan beban ekonomi bagi masyarakat lokal karena harga komunitas "import: yang mahal. Kondisi yang sama juga berlaku untuk komoditas seperti minyak tanah maupun bensin karena biaya transportasi yang masih mahal. Perlu berbagai langkah untuk menyeimbangkan harga komoditas dan menciptakan industri berbasis produksi lokal di kawasan, salah satunya adalah melalui pembangunan dan peningkatan infrastruktur jalan yang saat ini tengah dilakukan.






Meretas Jalan Menuju Perbatasan Negara

Kawasan perbatasan negara (katastara) darat di Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, seyogyanya menjadi "beranda" dari sebuah "halaman rumah" negara. Kawasan ini berbatasan dengan Sarawak, Malaysia, yang sudah lebih baik dalam penataan kawasannya. Saat ini, sebagai kawasan perbatasan Sajingan Besar memiliki aksesibilitas yang rendah dan kondisi sosial masyarakat yang tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia maupun daerah di negara tetangga.

Selepas dari Kota Sambas menuju pintu gerbang perbatasan, PPLB Arok, dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat dianggap perjuangan melawan kondisi jalan yang tidak seluruhnya baik. Jalan tidak dibangun dengan perkerasan aspal maupun beton secara merata. Beberapa segmen adalah jalan tanah dengan kondisi yang hampir tidak dapat dilalui pada kondisi hujan. Pelalu lintas pun dituntut lebih waspada karena potensi longsor pada beberapa lokasi. Jalan di kawasan memiliki lebar rata-rata 6 m dan merupakan jalan dengan status jalan nasional. Lokasi dibangunnya jalan adalah perbukitan dan hutan, sehingga kondisi geometrik jalan pun tergolong sulit.





Sementara itu, sebagian besar jembatan adalah jembatan yang terbuat dari kayu ulin dengan teknologi sederhana. Jembatan ini dibangun pada sungai sempit dan danggal yang membelah kawasan. Jembatan-jembatan menjadi infrastruktur vital bagi konektivitas untuk menciptakan keterhubungan dengan wilayah lainnya. Sebagian jembatan kayu dalam kondisi rusak yang salah satunya disebabkan oleh kendaraan berat yang mengangkut hasil perkebunan kelapa sawit. 


















Pola permukiman menyerupai ribbon development atau pembangunan pita dengan sarana sosial dan ekonomi, seperti gereja dan pertokoan, yang sebagian besar terletak di sepanjang jalan. Dengan demikian, aktivitas penduduk  cenderung terkonsentrasi di sepanjang jalan menuju pintu perbatasan. Jarak antara badan jalan dan pagar rumah (Rumaja) relatif dekat sekitar 3 m dan tanpa pengendalian pemanfaatan ruang yang menjaga keselamatan pelalu lintas maupun pejalan kaki.


















Waktu tempuh perjalanan atau aksesibilitas fisik dari tiap pusat desa menuju fasilitas pendidikan dan kesehatan tidak merata. Ada desa yang untuk mencapai fasilitas kesehatan terdekat harus menempuh jarak lebih dari 10 km. Untuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, penduduk yang tinggal di Desa Sebunga yang berada di ujung berbatasan dengan Sarawak harus menempuh jarak hampir 100 km menuju rumah sakit terdekat. 


















Menjelang PPLB Aruk, kondisi jalan sudah semakin baik. PPLB ini dibangun sebagai pintu gerbang menuju negara tetangga dan sebaliknya. PPLB Aruk baru melayani lintas batas orang. Pelintas batas umumnya adalah TKI yang bekerja di Serawak pada sektor perkebunan. PPLB Aruk belum melayani pelintas batas dengan menggunakan kendaraan, sehingga mereka yang hendak melanjutkan perjalanan harus menyewa kendaraan dari desa di negara tetangga. Kesiapan infrastruktur di Indonesia masih belum dapat melayani (Custom, Immigration, Quarantine) CIQ secara memadai, sehingga PPLB Aruk belum memberikan manfaat yang maksimal.

Sebagai beranda, kawasan perbatasan kita masih perlu berbenah agar semakin menarik dan dilirik sebagai lokasi industri dan perdagangan. Adanya investasi dalam pembangunan berupa jalan akan menjadi pengungkit bagi daya tariknya. Saat ini, upaya pembangunan infrastruktur masih terus dilakukan.

Pengendalian Eksploitasi atas Daya Tarik Wisata

Gili Trawangan merupakan sebuah pulau yang berlokasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan menjadi destinasi wisata yang sangat dibanggakan oleh daerah tersebut karena keindahan pemandangan alamnya. Gili Trawangan diakses melalui perahu dari Pantai Senggigi di Pulau Lombok dengan jarak tempuh sekitar 45-60 menit. Luas pulau mencapai 366 Ha dengan jumlah penduduk hampir mencapai 1.600 jiwa. Dengan demikian, kepadatan penduduk sudah menyamai rata-rata kepadatan penduduk kota sedang di Indonesia. Dengan tambahan wisatawan yang berkunjung ke pulau sebanyak 1.000 orang per hari, pulau mungil tesebut semakin sesak dengan manusia.

Seorang rekan pernah mengatakan bahwa ia pernah meminta mahasiswanya, kebetulan ia adalah seorang pengajar, untuk mengamati fenomena diminishing marginal utility atas konsumsi barang yang sifatnya intangibel, seperti halnya keindahan pemandangan. Diminishing marginal utility adalah konsep yang menyatakan bahwa ketika konsumsi atas suatu barang produksi meningkat, konsumsi lebih lanjut akan menurunkan kepuasan atas pemanfaatannya sampai dengan titik terendah bahkan negatif. Ternyata, menurut dia, fenomena yang sama juga berlaku pada jenis barang bersifat intangibel (pemandangan alam), sama halnya dengan barang tangible yang dikonsumsi langsung. Singkat cerita dari percobaan tersebut, ketika sampai pada jumlah pengunjung yang menikmati suatu kawasan dengan pemandangan indah, maka terdapat suatu titik bahwa kenikmatan konsumsi atas pemandangan tersebut menurun, Apabila jumlah pengunjung terus bertambah, kepuasan menjadi negatif dan memberikan dampak negatif pula  kepada pengunjung karena saling berdesakan, tekanan diri (stress) dan perusakan lingkungan alam karena tidak cukupnya pengawasan.

Begitu pula yang nampaknya terjadi sebagian besar objek wisata kita. Kunjungan ke lokasi tanpa pengendalian populasi wisatawan maupun jumlah penyedia jasa wisata cenderung mengurangi penikmatan atas lokasi tersebut. Sebagai contoh adalah Gili Trawangan. Saat ini, dengan sejumlah wisatawan yang berada di pulau dalam waktu bersamaan dalam jumlah yang besar, pengunjung semakin sulit untuk menikmati suasana yang ditawarkan. Kerap kali, pengunjung harus berdesakan pada beberapa segmen jalan-jalan yang mengelilingi pulau, sehingga bersepeda sudah bukan kegiatan yang menyenangkan lagi. Berjalan mengelilingi pulau kurang menyenangkan bagi sebagian pengunjung domestik karena tidak dapat menikmati keteduhan rindangnya pepohonan yang sudah digantikan dengan lokasi toko, bangunan, maupun warung-warung. Siapa pun seakan bisa berbuat seenaknya, seperti memarkir perahu di sembarang lokasi, membangun gedung tanpa pertimbangan arsitektural dan konstruksi yang baik, atau membuang sampah sembarangan.

Gili Trawangan masih menjadi destinasi wisata yang sudah dikenal di dunia. Namun, sayang sekali apabila pulau yang indah tersebut rusak karena pengelolaan kawasan yang tidak baik. Konsep diminishing marginal utility menyadarkan kita tentang pengelolaan destinasi wisata yang memperhatikan keseimbangan antara konservasi lingkungan dan pemanfaatan ekonomis atas suatu eksploitasi daya tarik wisata. Dengan demikian, daya tarik dan rasa penasaran pengunjung dapat dipertahankan sepanjang masa.

Meningkatkan Luasan RTH Privat melalui Insentif

Gambar taman ini diambil di University of Stockholm, Swedia. Alangkah menariknya dan besar manfaatnya apabila tiap komunitas maupun pihak swasta dapat mengalokasikan ruang terbuka hijau (RTH) seperti ini. Dan betapa idealnya, RTH tersebut tetap terpelihara dan menjadi daya tarik rekreasi. Selain itu, RTH ini bermanfaat bagi kawasan melalui pengurangan dampak lingkungan akibat polusi udara.

Sejak diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tiap daerah mulai didorong untuk mengalokasikannya dengan luasan 30% dari luas wilayah. Rinciannya adalah minimal 20% yang dikelola oleh publik dan 10% yang dikelola oleh privat. Dengan demikian, pemerintah daerah setidaknya mengamankan RTH yang dikelolanya saat ini dan meningkatkan luasan sesuai dengan ketentuan.

Bagaimana dengan yang dikelola oleh privat? Peran swasta, masyarakat, dan individu telah ditetapkan dalam peraturan yang ada. Saat ini insentif yang diberikan bagi peran individu, komunitas, dan swasta yang mengalokasikan RTH dalam lingkungannya masih dikembangkan. Beberapa instrumen insentif yang mungkin, antara lain: keringanan biaya pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan, keringanan besaran Pajak Bumi dan Bangunan, sampai dengan dukungan infrastruktur dasar yang memadai. Kita tunggu implementasi dari instrumen yang akan dikembangkan.